Kaleidoskop Perempuan 2021: Hidup Di Negeri Darurat Kekerasan Seksual (1)

Semua orang pasti setuju jika tahun 2021 kita sebut sebagai tahun dengan darurat kekerasan seksual. Hal ini ditandai dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang bertubi-tubi terungkap, baik secara offline maupun korban speak up melalui media sosial. Tulisan ini mengawali “Kaleidoskop Perempuan 2021” yang ditayangkan Redaksi Konde.co dari tanggal 28-30 Desember 2021 sebagai penutup tahun catatan perempuan 2021

“Mau menunggu berapa banyak lagi korban jatuh?” 

Sepertinya kita akan menutup tahun ini dengan catatan kekerasan seksual yang sangat pilu dengan kematian NWR, perempuan yang ‘dibunuh’ dan dipaksa aborsi oleh pacarnya, seorang polisi di Mojokerto

Mau menunggu berapa banyak lagi korban yang jatuh? Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan maraknya kekerasan seksual yang hingga kini korbannya belum mendapatkan keadilan. 

Sulit mendapat keadilan, dan korban mesti berhadapan dengan masalah sistematis: minimnya upaya pencegahan, belum memadainya penanganan yang berperspektif korban dan pemulihan yang belum dipikirkan secara serius

Tahun 2021, satu per satu kasus muncul di permukaan. Namun sayangnya, masih banyak kasus itu yang tidak berpihak bagi korban bahkan berakhir tragis. 

Kita semua tentu sepakat, Indonesia membutuhkan sistem hukum yang bisa berpihak memperjuangkan hak bagi korban. Selain itu, penting juga untuk digaungkan upaya-upaya pencegahan kekerasan seksual lebih masif. Sebab, kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. 

Sederet kasus kekerasan seksual yang paling banyak muncul dalam pemberitaan tahun ini, salah satunya kekerasan seksual di dunia pendidikan dan lingkungan mahasiswi. 

Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan

NWR, bunuh diri di dekat makam ayahnya di Mojokerto, pada 2 Desember 2021. Korban diduga depresi karena mendapatkan kekerasan seksual dari pelaku yang merupakan pacarnya. Pacarnya ini disebut sebagai anggota polisi berinisial R.

Tak hanya depresi atas kasus kekerasan seksual yang dialaminya, NWR juga tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat yang semestinya menjadi ‘ruang aman’. Bahkan, malah menjadi korban yang kedua kali atas celaan hingga teror.  

Sebagaimana masyarakat patriarki umumnya, NWR menjadi seorang korban dengan berbagai stigma.Sementara, pelaku selalu berada di atas angin dan seolah kebal terhadap hukum. Maka banyak pelaku seolah didukung oleh lingkungannya, didukung pemerintah yang tak memberikan sanksi hukum. 

Masih kita ingat, kasus mahasiswi korban pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya (Unsri), Palembang yang disekap di toilet dan namanya dicoret dari daftar yudisium kampus. 

Sebelumnya, korban yang telah didampingi oleh BEM Fakultas di Unsri, telah melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang dosen berinisial RG ini ke pihak kampus, namun kampus seperti melindungi pelaku dan memperlakukan korban secara intimidatif.

Semua ini terjadi karena relasi yang kuat, power yang kuat dari dosen. Jika mahasiswi tidak melapor karena rata-rata takut akan menjadi victim blaming, malah disalahkan, dianggap mencemarkan nama baik kampus. Kuasa hukum korban menyatakan bahwa dari kasus ini, keberanian korban ternyata bisa membuka pelecehan seksual lain yang diduga sudah dilakukan oknum yang sama pada mahasiswi sebelumnya yang sudah lulus.

Setelah ditelusuri, ternyata korbannya tak hanya satu, tapi ada tiga lagi korban lainnya yang diduga dengan modus yang sama ketika menjadi mahasiswi bimbingan skripsi RG. Ini artinya, peristiwa pelecehan seksual ini sudah lama terjadi

Ada lagi, kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) belum lama ini. Data Space UNJ mencatat, sebagian besar pengaduan yang masuk terkait kasus yang melibatkan dosen Fakultas Teknik dengan inisial DA. Di mana ada setidaknya 10 mahasiswi yang telah mengadukan pelecehan yang dilakukan DA ke Space UNJ.

Para mahasiswa bilang, dosen DA mengirim teks bernada merayu, ngajak nikah dan memaksa datang ke rumahnya untuk bimbingan skripsi.

DA tak segan memberikan nilai jelek bagi mahasiswi yang tak bersedia menuruti kemauannya. Dengan kuasa yang dimilikinya DA juga mempengaruhi agar mahasiswi yang ‘diincarnya’ bisa masuk dalam bimbingannya. Dengan cara itu ia lantas melakukan aksinya dengan mengancam tidak akan meluluskan mahasiswi yang tidak bersedia mengikuti perintahnya.

Kasus pemerkosaan, pemaksaan aborsi hingga berakhir dengan korban yang meninggal dunia juga terjadi pada salah satu mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur. 

Kasus kekerasan seksual di dunia kampus memang tak terelakkan. Mengutip data Komnas Perempuan sepanjang 2015-2020 menunjukkan 77% dosen yang disurvei menyatakan pernah terjadi di kampus dan 63% tidak melaporkan kasus yang diketahui yang mayoritas korbannya perempuan ini ke pihak kampus.

Alerta! Kekerasan Seksual Banyak Terjadi di Lembaga Keagamaan

Salah besar jika lingkungan keagamaan terbebas dari adanya kekerasan seksual. Satu kasus tragis yang terjadi di penghujung tahun 2021 ini adalah mencuatnya kasus pemerkosaan puluhan santriwati di Bandung, hingga para korbannya ini hamil dan melahirkan. 

Setidaknya 21 santri perempuan menjadi korban kasus dugaan kekerasan seksual yang dilakukan HW, pengampu sebuah pondok pesantren di kawasan Cibiru Bandung, Jawa Barat. Kekerasan seksual yang dilakukan HW ini terjadi sejak 2016 hingga 2021. Para santri yang menjadi korban kekerasan seksual rata-rata berusia 13-16 tahun, dengan tujuh santri di antaranya telah melahirkan bayi. Bahkan, salah satu korban telah melahirkan dua anak.

Kasus itu pertama kali dilaporkan ke pihak kepolisian Mei silam, namun publik baru mengetahuinya saat sidang ketujuh dengan agenda mendengar keterangan saksi digelar di  Pengadilan Negeri (PN) Kota Bandung, Selasa (07/12/2021).

HW, pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Bandung Jawa Barat dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan pemerkosaan terhadap anak-anak di bawah umur.

Dari data yang dihimpun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban/ LPSK, dalam melakukan aksinya pelaku mengumpulkan para korban di sebuah rumah yang dijadikan asrama Ponpes Manarul Huda. Pelaku kemudian membujuk rayu anak didiknya hingga menjanjikan para korban akan disekolahkan hingga ke tingkat universitas.

Dari keterangan saksi, juga terungkap adanya dugaan penyalahgunaan dana bantuan. LPSK berharap pihak kepolisian dalam hal ini Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat mengungkap dugaan eksploitasi dan kekerasan kepada para korban. Dan menelusuri kejelasan perihal aliran dana bantuan yang diduga telah disalahgunakan oleh pelaku.

Fakta di persidangan mengungkap bahwa anak-anak yang dilahirkan oleh para korban diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat oleh Pelaku untuk meminta dana kepada sejumlah pihak. Dana Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil Pelaku.

Salah satu saksi bahkan memberikan keterangan bahwa Ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunaannya tidak jelas. Tak hanya itu para korban juga dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru.

Atas perbuatannya itu, pelaku didakwa telah melanggar pasal 81 ayat 1 dan 3 UU Perlindungan Anak dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Merujuk data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kekerasan seksual di lingkungan pesantren tergolong tinggi. Dari total 51 pengaduan kekerasan di lembaga pendidikan yang diterima Komnas Perempuan dari 2015 hingga Agustus 2020, kasus kekerasan di pesantren menempati posisi terbanyak kedua (19% dari total 51 pengaduan) di bawah kekerasan di universitas (27%).

Bentuk kekerasan seksual yang diadukan antara lain meliputi perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual. Sementara kekerasan seksual di lingkungan pesantren antara lain berupa manipulasi santriwati sehingga terjadi perkawinan antara korban dengan pelaku; atau dengan kata lain terjadi pemaksaan perkawinan. Ada pula yang dimanipulasi dengan alasan memindahkan ilmu, ancaman akan terkena azab atau tidak akan lulus dan hafalan akan hilang.

Pelaku kekerasan terbanyak adalah guru/ustadz. Sedangkan para korban umumnya adalah peserta didik yang berada dalam kondisi tidak berdaya (powerless) karena relasi kuasa korban dengan guru/ustadz, atau kepala sekolah yang dipandang  memiliki kuasa otoritas keilmuan dan juga termasuk tokoh masyarakat.

Sedangkan hambatan yang dihadapi dalam pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual adalah impunitas terhadap pelaku, lingkungan pendidikan sendiri yang lebih memberikan perlindungan terhadap pelaku dengan alasan demi menjaga nama baik institusi.

Tak hanya pesantren, gereja di Depok Jawa Barat, juga banyak disorot akibat kasus pelecehan anak oleh biarawan hingga pengurus gereja. Pelaku bernama SPM pada Januari 2021 lalu menerima vonis hukuman penjara selama 15 tahun. 

Mantan pembimbing salah satu kegiatan di gereja Herkulanus, Depok, ini telah melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah anak bimbingnya dalam kurun waktu 20 tahun. Ada setidaknya 20 anak korban kekerasan seksual SPM di gereja. 

Salah satu modus pelaku ialah pada awal 2020 lalu, SPM memanggil seorang anak didiknya yang berusia 12 tahun ke ruangan perpustakaan hingga kemudian dia kunci. Di sanalah, SPM memperkosa anak. Tidak hanya sekali, pelaku bahkan sampai tiga kali memperkosa satu anak yang sama. 

Pelecehan lain oleh sosok yang sangat dekat dengan gereja yaitu Bruder di Depok. Biarawan yang mengelola Panti Asuhan Kencana Bejana Rohani di Depok ini banyak dikenal dengan sebutan bruder Angelo. 

Pelecehan bruder Angelo ini sudah terjadi bertahun-tahun dan banyak dilakukan di malam hari saat anak-anak sudah tidur. 

Hingga September 2021, bruder Angelo dilaporkan oleh seorang korban yang mengalami pelecehan ke polisi. Meski sempat ditangkap, namun setelah tiga bulan mendekam di penjara dia dibebaskan polisi karena dianggap korban tidak mampu melengkapi bukti dan berkas perkara untuk diteruskan ke pengadilan. Bahkan, dia sempat membuat panti asuhan baru pasca keluarnya dari penjara. 

Kekerasan di Dunia Kerja

Tak hanya di lembaga pendidikan, kasus kekerasan seksual juga bisa terjadi pada siapapun dan dimanapun. Salah satunya, terjadi di dunia kerja, yaitu kasus pelecehan seksual yang juga cukup membelalakkan mata publik yang terjadi pada salah seorang laki-laki karyawan di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Dalam pernyataannya pada 1 September 2021, korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja berinisial MS, telah mengalami berbagai bentuk pelecehan yang tak terhitung jumlah frekuensinya karena sering kali antara lain, para pelaku melecehkan, memukul, memaki, dan merundung tanpa bisa melawan. MS hanya seorang diri sendiri dan pelakunya banyak. 

Perendahan martabat korban ini diduga telah dilakukan bertahun-tahun dan terus-menerus serta berulang sehingga korban tertekan dan mengalami trauma, dan secara medis termasuk dalam PTSD (Post Trauma Stress Disorder). Trauma akibat kekerasan seksual para pelaku menelanjangi dan memegangi dan mencoret-coret dengan spidol kemaluan korban, yang tak bisa dilawannya.

Solidaritas pun bermunculan, termasuk Masyarakat Peduli Korban Kekerasan Seksual dalam Lembaga Negara, yang terdiri dari 250 organisasi dan individu mendorong adanya penuntasan kasus ini dan agar hak-hak korban dipenuhi.

Koalisi ini melakukan audiensi ke Komnas Perempuan dan selanjutnya akan melakukan audiensi ke Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK),  Kepolisian RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak serta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo). Terbaru, dibentuklah tim independen untuk mengawal kasus ini agar korban mendapatkan keadilan. 

Walau Tak Mudah, Korban Berani Speak Up 

Tahun 2021 juga mencatatkan sejumlah hal tentang korban yang melaporkan kasusnya di media sosial. Media sosial menjadi teman bagi para korban pelecehan yang merasa tidak berdaya dan dapat stigma masyarakat yang memandangnya sebelah mata.

Dulu, ketika belum banyak gerakan untuk ‘bersuara’ melantangkan haknya untuk mendapat keadilan secara hukum dan sanksi moral, para korban seringkali memendam perasaan sendiri seperti merasa jijik terhadap sendiri, takut dipandang sebelah mata oleh keluarga dan lingkungan, merasa sudah tidak berharga lagi, dan merasa tidak pantas mendapatkan cinta. Kini korban berani bersuara di media sosial. 

Sebut saja kasus begal payudara, atau kasus lain yaitu  public figure yang melakukan pelecehan terhadap fansnya, dan korban/ fans nya ini lalu berani speak up di media sosial

Selain di media sosial, salah satu ibu korban di Luwu, juga berani bersuara untuk 3 anaknya yang diduga diperkosa ayah mereka. Walau ini sangat tidak mudah, korban yang berani bersuara lalu dikriminalkan.

Ini merupakan jalan panjang perjuangan korban dalam menuntaskan kekerasan seksual yang tak mudah dengan adanya UU ITE yang bisa mengkriminalisasi para korban yang berjuang atas ketidakadilan yang mereka terima

Lambannya Negara terhadap Kasus Kekerasan Seksual

Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, telah mendapatkan laporan sebanyak 1.321 kekerasan seksual perempuan dan anak terjadi sepanjang 1 November 2020 sampai 30 Oktober 2021. Selama tiga tahun terakhir, kasus kekerasan seksual tersebut tercatat meningkat, yaitu dari tahun 2019, angkanya berkisar 794 kasus. 

Jika pada tahun-tahun sebelumnya, kekerasan dalam rumah tangga menjadi kasus yang banyak dilaporkan, namun pada 2021 ini kasus yang banyak dilaporkan adalah kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Selama tiga tahun terakhir, laporan KBGO yang diterima LBH Apik Jakarta meningkat dari hanya 17 kasus di 2019, menjadi 307 pada 2020 dan 489 kasus di 2021. 

Aliansi Perempuan Bangkit (APB), networking individu dan organisasi perempuan, di Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember 2021 mengeluarkan sejumlah catatan penting tentang kondisi buruk yang menimpa perempuan di Indonesia.

Belajar dari hampir 2 tahun situasi pandemi dan meningkatnya angka kekerasan perempuan Indonesia termasuk di kampus dan dunia pendidikan yang terus-menerus, aliansi meminta semua pihak untuk hentikan kekerasan seksual di Indonesia.

Aliansi Perempuan Bangkit dalam statemennya yang diterima Konde.co, melihat masih melihat lambannya penegakan hukum bahkan mengarah pada impunitas yang dilakukan dalam menangani berbagai kasus kekerasan berbasis gender serta masih kosongnya hukum akibat macetnya pembahasan berbagai RUU berbasis gender di tingkat nasional maupun daerah.

Para aktivis perempuan, aktivis lingkungan dan aktivis buruh mendesak percepatan proses pembahasan serta pengesahan tiga draft Rancangan Undang-Undang/ RUU yang sangat urgen untuk disahkan  pada periode legislasi 2021 dan 2022 yaitu RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), RUU Masyarakat Adat serta RUU Perlindungan pekerja Rumah Tangga. 

Juga mendesak kampus untuk melaksanakan Permendikbud yang dikeluarkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Ristek dan mendorong percepatan implementasi Permendikbud No 30/2021 di setiap Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia. Selain itu juga meminta Mendikbud Ristek serta melakukan pengawasan terhadap penanganan kekerasan seksual yang terjadi di institusi pendidikan, dengan memastikan hak pemulihan bagi korban, serta hak untuk tetap menikmati akses atas pendidikan yang berkualitas.

Persoalan kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual semakin meningkat utamanya di dunia pendidikan, bukan hanya di perguruan tinggi tapi juga di pendidikan dasar menengah maupun sekolah berbasis agama seperti pesantren.

Kasus bunuh diri yang terjadi pada korban NWR di Mojokerto dan terungkapnya pemerkosaan belasan anak pesantren Cibiru di Bandung merupakan gunung es dari ratusan atau ribuan kasus kekerasan seksual di bidang pendidikan.

Tak hanya sistem peradilan hukum yang memadai, penguatan kapasitas pendamping juga perlu menjadi perhatian ke depan.

Yustina dari Lembaga Lambu Ina yang selama ini mengadvokasi kasus kekerasan seksual di Sulawesi menyatakan soal sulitnya akses transportasi bagi korban, akses layanan korban yang sangat terbatas, apalagi jika korban berada di pulau-pulau terpencil yang harus menjangkau kota kabupaten untuk mendapatkan layanan.

Ia sering mengalami ini dalam mendampingi korban, misalnya harus merujuk ke layanan depresi korban, dimana korban harus pergi jauh ke Kendari dan menempuh perjalanan selama 4 jam, ini sangat tak mudah bagi korban. Pendamping korban juga harus bekerja keras dan sedih jika korban tak bisa tertangani dengan cepat.

Ellen Kusuma dari Safenet juga punya cerita soal ini. Sebagai pendamping korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), literasi keamanan digital masih sangat kurang dirasakan bagi perempuan. Untuk menggunakan internet saja masih kurang, banyak hal yang masih menjadi tantangan dan tidak tahu bagaimana menghadapi kasus. Sedangkan untuk menyediakan bukti juga masih sangat sulit.

Sementara, Sierly Anita Gafar, seorang pendamping korban lain menyatakan, selama ini yang membuatnya miris adalah ketika ia dan korban menghadapi Aparat Penegak Hukum (APH) yang tak berpihak pada korban.

Veni Siregar, Koordinator Forum Pengada Layanan/ FPL mengungkap, selama masa pandemi ini, FPL mempunyai banyak sekali kesulitan untuk mendampingi korban kekerasan seksual, antaralain situasi yang berubah dimana model penjangkauan korban yang berubah sulit di masa Covid-19, juga karena tidak adanya dana.

Menurut Veni Siregar, tantangannya ada 3 yaitu pelayanan kasus, pendampingan hukum dan layanan korban. Dan yang harus memastikan adanya pelayanan korban ini adalah negara, Jadi seharusnya korban bisa memanfaatkan layanan P2TP2A agar bisa diakses, namun di beberapa wilayah malah tidak mendampingi secara langsung, hanya secara online, padahal para korban juga membutuhkan pendampingan korban secara langsung. Misalnya para korban kadang tak bisa mengakses teknologi, mereka tidak bisa menulis kronologi, ada korban yang babak belur kemudian ketika diminta untuk menulis kronologi mereka pasti tidak bisa, ini adalah sesuatu yang sulit karena sulitnya mengakses layanan. Mereka harus mendapatkan pendampingan langsung. Perubahan layanan ini yang harus dipikirkan negara

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!