Problem Gender di Industri Film: Minim Jumlah Perempuan, Minim Yang Terima Penghargaan

Banyak perempuan yang masuk di sekolah film, namun sedikit yang terjun di industri film. Data Lembaga KAFEIN menunjukkan, keterlibatan perempuan pada 9 profesi kunci dalam produksi film, jumlahnya tidak lebih dari 20%. Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 juga tercatat hanya sekitar 8%

Siapa yang gak kenal Christine Hakim, Mira Lesmana, Lola Amaria, Kamila Andini, Nia Dinata atau Dian Sastro? 

Ya, industri film Indonesia memang tampak tidak kekurangan kiprah dan nama besar artis perempuan. Baik yang berprofesi sebagai artis, sutradara, penulis skenario, make up artis, penata busana, atau lainnya.  

Kondisi ini kemudian memunculkan asumsi bahwa representasi perempuan dalam dunia perfilman Indonesia seolah sudah cukup banyak. Padahal, belum ada juga data statistik yang valid untuk mendukung klaim itu. 

Per tahun 2020, Asosiasi Pengkaji Film (KAFEIN)  berupaya melakukan pengumpulan dan analisis data terpilah-gender dalam industri film Indonesia. Ini dilakukan  untuk melihat keseimbangan kesempatan bagi pembuat film perempuan dan akibat keseimbangan itu pada karya-karya film yang dihasilkan. 

Sekilas, perfilman Indonesia terlihat ramah gender: produser-produser perempuan berkibar dan menjadi orang-orang yang mempengaruhi opini publik, tapi dalam angka statistik, jumlah pembuat film perempuan dan karya mereka tidak sebanding dengan pembuat film dan film karya laki-laki. Hal lain adalah kepercayaan diri isi film yang ramah perempuan harusnya dibentuk oleh para kreator film perempuan dan ini penting untuk menunjukkan tren yang lebih baik akan kesetaraan gender. 

Namun apakah memang seperti itu kenyataannya di lapangan? Seberapa besar otoritas pembuat film perempuan? Seberapa besar kesempatan perempuan untuk memegang posisi-posisi penting seperti sutradara, produser, dan penulis naskah, penata kamera, suara, artistik, atau editor? Bagaimana kesempatan perempuan untuk mendapat dukungan berupa penghargaan, investasi dan funding, atau beasiswa film? Bagaimana kemungkinan-kemungkinan dan kesempatan yang terbuka di sekolah film? Bagaimana perbedaan kesempatan di sekolah dan di dunia kerja? Apakah kesempatan bagi dosen film sudah setara untuk semua gender?

Tak hanya menyajikan data, KAFEIN kemudian dalam pemetaan ini  juga merekomendasikan berbagai tindakan lanjutan untuk menciptakan kebijakan industri perfilman yang lebih setara dan inklusif. Harapannya, industri film Indonesia memiliki database yang dipilah berdasarkan gender untuk pertimbangan pengambilan keputusan yang mengutamakan kesetaraan gender.

Dalam proyek yang didukung pemerintah Jepang dan UNESCO ini, Lembaga KAFEIN merekrut  tim ahli yang terdiri dari pakar gender dan film, Evi Eliyanah, serta pembuat dan pendidik film yaitu Panji Wibowo. Mereka juga didukung oleh anggota tim dengan studi dan minat sejenis yakni Novi Kurnia, IGAK dan Eric Sasono untuk melihat kondisi gender dan perfilman di Indonesia .

Peneliti utama sekaligus penulis laporan, Sazkia Noor Anggraini mempresentasikan temuan bahwa jumlah perempuan di level pendidikan perfilman relatif menunjukkan angka yang berimbang. Artinya, tak ada perbedaan mencolok dari jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan di perguruan tinggi dengan program studi atau minat utama film. 

Jumlah perempuan yang menyelesaikan studi dan menerima beasiswa pun juga lebih banyak dibandingkan laki-laki.  

Namun ternyata, saat masuk dunia industri, jumlah perempuan semakin menyusut dibandingkan jumlah saat menempuh perkuliahan. 

“Keterlibatan terbanyak perempuan pada sembilan profesi kunci dalam produksi film tidak lebih dari 20%. Perempuan penerima penghargaan dalam ajang Festival Film Indonesia sejak tahun 1955 tercatat hanya 8%,” ujar Sazkia dalam peluncuran buku bertajuk “Menuju Kesetaraan Gender Perfilman Indonesia” yang dirilis secara daring dan luring pada Senin (13/12/2021) lalu.

Persoalan penting ini, yaitu minimnya keterlibatan perempuan termasuk jumlahnya yang menyusut sejak tahun 1955 membuat perjuangan di perfilman butuh waktu panjang

Menuju Perfilman Ramah Gender dan Inklusif

Apa yang bisa dilakukan dalam kondisi ini? Tak hanya berupaya meningkatkan minat perempuan lulusan perfilman di dunia industri karya film, KAFEIN juga melakukan langkah strategis untuk edukasi ramah gender dan inklusivitas. Termasuk, menerbitkan modul pengetahuan dasar film berbasis gender dan inklusi sosial. 

Panduan ini, ditujukan untuk pemangku kebijakan dan dosen yang mengajar utamanya pada program studi sarjana (S1) film untuk menghasilkan lebih banyak lulusan utamanya para perempuan yang berpeluang menjadi pekerja film. Sehingga ketimpangan yang terjadi bisa diminimalisir. 

Tak hanya secara jumlah angka, KAFEIN juga tengah berusaha mendorong adanya  kurikulum yang lebih peka dan responsif terhadap ketimpangan relasi gender serta mengutamakan inklusi sosial. Tak hanya mencakup konsep dalam perfilman namun juga praktik pembuatan filmnya. 

Proses pembuatan film  ini tentu saja juga termasuk menciptakan ruang aman bagi insan perfilman dari kekerasan berbasis gender. Seperti pelecehan dan kekerasan seksual yang tak dipungkiri banyak terjadi di industri perfilman namun belum banyak yang berani speak up. Pun tidak adanya payung hukum yang melindungi. 

Panduan ini, diharapkan dapat mulai diimplementasikan pada tahun depan dengan kolaborasi bersama Perkumpulan Prodi Film dan Televisi (PROSFISI) di seluruh Indonesia. 

“Penyusunan modul ini merupakan respon dari penelitian sebelumnya yang menggaris bawahi minimnya partisipasi perempuan dalam industri perfilman Indonesia. Modul ini disusun sebagai bekal dasar pengetahuan sebelum mengikuti pelatihan pembuatan film yang lebih spesifik,” terang Evi, pakar gender dan film. 

Modul ini akan diimplementasikan dalam pelatihan bersama komunitas pembuat film dengan dukungan asosiasi-asosiasi profesi perfilman. Pada tahun depan, Paguyuban Perfilman Yogyakarta misalnya, telah bersedia untuk terlibat dalam mewujudkan kesetaraan dan inklusivitas dalam perfilman.   

Menurutnya, sensitivitas gender dalam sekolah kejuruan dan perguruan tinggi bidang film tentu saja masih perlu ditingkatkan. Kesetaraan gender pada komposisi pengajar film di sekolah-sekolah ini juga perlu ditingkatkan.

Zaskia yang dalam kesempatan itu didampingi konsultan perubahan sosial Rahayu Harjanthi, dan ketua KAFEIN, Tito Imanda mengharapkan penerbitan buku ini menjadi langkah awal pengamatan situasi ketimpangan gender dalam industri film Indonesia.

Perilisan buku ini juga diikuti acara talk show guna mengajak para pihak terkait dan publik yang peduli dengan isu kesetaraan untuk terlibat dalam inisiasi ini.

Di kesempatan itu, ada pula sekelompok pelaku pendidikan tinggi film, komunitas film, dan profesional film yang ditargetkan, dipandu untuk mengadopsi panduan kurikulum dan modul pelatihan responsif GIS guna mencapai lingkungan perfilman yang sensitif gender dan inklusif melalui beberapa pilot dan lokakarya.

Nah, buat kamu yang tertarik lebih dalam bagaimana kesetaraan di industri  film Indonesia, buku ini dapat diakses secara digital dan dapat diunduh bebas melalui situs web www.kafein.or.id.   


Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!