Mbak Rara Pawang Hujan: Jangan Anggap Remeh Spiritualis Perempuan

Kemunculan Mbak Rara si pawang hujan Mandalika menuai dukungan dan hujatan, bahkan dituduh musyrik.  Apakah laki-laki pawang hujan juga mengalami ini: dijadikan rumor, dianggap sensasional dan dipandang sebelah mata?

Kemunculan Rara Istiati Wulandari sebagai pawang hujan di GP Mandalika banyak menuai pro-kontra usai video ritual pengusiran hujannya viral di media sosial. Ada yang mendukung, banyak pula yang mengomentari bahkan menghujat Rara. 

Ada yang nyeletuk, “Kok Indonesia percaya dengan praktik magis yang dilakukan Mbak Rara (perempuan)? Bukankah praktik itu musyrik?”

Hingga hal itu dianggap sebagai praktik ritual yang mempermalukan Indonesia di mata dunia. 

Bisa kita lihat, komentar terakhir itu seperti menunjukkan kita tentang adanya proses modernisasi yang kuat di Indonesia hingga mendiskreditkan ritual yang dilakukan pawang hujan, dalam hal ini perempuan. Anggapan itu menyebar ke berbagai kalangan mulai dari warganet hingga tokoh agama. 

Polemik selanjutnya dihubung-hubungkan begitu saja oleh warganet dengan “konteks Eropa” yang menyebut praktik ritual yang dilakukan perempuan seringkali disamakan dengan “penyihir” yang dicap negatif. 

Tentu kita belum lupa peristiwa kelam yang terjadi pada Abad Pertengahan di Eropa kala itu. Salah satu praktik perburuan penyihir (witch hunt) terbesar dalam sejarah terjadi di Skotlandia dalam kurun 1661-1662. Saat itu, ratusan orang -mayoritas perempuan- mati akibat amuk massa. Sebelum dihabisi nyawanya, mereka digiring ke lapangan dengan tuduhan telah melakukan berbagai ritual sihir.

Nachman Ben-Yehuda dalam “The European Witch Craze of the 14th to 17th Centuries: A Sociologist’s Perspective” bahkan mengungkapkan angka yang lebih mencengangkan lagi, bahwa kurun abad ke-14 hingga 1650 ada sekitar 200-500 ribu penyihir mati, dan sebanyak 85 persen adalah perempuan. 

Banyak cerita kelam tentang tuduhan pada perempuan dalam konteks ritual ini

Pawang Hujan dan Spiritualitas Perempuan 

Di tengah masyarakat kita, praktik pawang hujan memang banyak terjadi. Masyarakat meminta bantuan para pawang hujan ketika hendak mengadakan hajatan atau acara besar. Pawang hujan ini diharapkan bisa menahan atau memindahkan hujan supaya acara bisa tetap berlangsung tanpa gangguan. 

Meski tampak lazim, keberadaan pawang hujan nyatanya masih menimbulkan perbincangan. Terlebih, pawangnya adalah seorang perempuan yang selama ini memang tak banyak jumlahnya. Muncul pula komentar-komentar bahwa ritual pawang hujan di acara balapan motor tingkat dunia di Mandalika bahkan sebagai hal musyrik. 

Sejak ramainya pemberitaan Rara Pawang Hujan itu, muncul pandangan KH Ahmad Muwafiq atau yang biasa dipanggil Gus Muwafiq yang menyebut Mbak Rara tidak sedang melakukan perbuatan musyrik. Muwafiq yang pernah menjabat sebagai asisten pribadi Gus Dur ini pun mengatakan tindakan mbak Rara adalah ilmu spiritual yang diupayakan dengan doa.

Dalam sebuah channel Youtube BBS Kemranjen (24/3), Muwafiq juga menceritakan bahwa Syaikhona Muhammad Kholil (Mbah Kholil Bangkalan) juga pernah melakukan hal serupa. Mbah Kholil kala itu, dengan ilmu spiritualnya menuliskan sesuatu lalu dipaku di atas pintu. Sedangkan Mbak Rara pun mempunyai metodenya sendiri untuk melakukan doa-doa. 

Kondisi itu serupa dengan pengakuan sesama pawang hujan dalam sebuah acara pernikahan yang diupload dari feed Instagram Mbak Rara mengatakan “Saya kalah dengan pawang hujan di Mandalika.” Dari semua hal yang terjadi membuktikan bahwa Mbak Rara sebagai perempuan yang kadar spiritualitasnya tidak bisa dianggap remeh. Mengapa begitu? 

Dan perempuan pawang hujan mesti berjuang untuk ini. Perempuan seringkali dirumorkan, dianggap sensasional dan dipandang tak pantas karena dianggap “kelas kedua”. Perempuan senantiasa diposisikan di lapisan inferior di bawah laki-laki. Seperti, spiritualis itu ya hanya laki-laki saja. 

Padahal, perempuan dengan kapasitasnya juga bisa menjalankan laku spiritual yang harus hargai dan apresiasi. Terlebih untuk hal-hal baik yang telah dia lakukan dan berikan bagi masyarakat. 

Penelitian yang dilakukan Fatimatuz Zahro, 2832133011 (2018) tentang Perempuan spiritualis dalam tradisi Jawa (Studi Kasus di Kabupaten Tulungagung) dari UIN Tulungangung wajib kita baca. Fatimatuz meneliti tentang posisi perempuan dalam tradisi spiritualitas Jawa. Riset ini  dinilai mengembangkan khazanah keilmuan mengenai kearifan lokal (local genuine) yang memang pada kenyataannya tidak bisa terlepaskan dari masyarakat.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan jenis penelitian etno-feminism. Lebih spesifiknya adalah penelitian etnografi dengan menggunakan perspektif feminisme. Etnografi menggunakan analisis kualitatif dalam rangka mendapatkan native’s point of view (memunculkan pandangan suatu kebudayaan dari penduduk aslinya sendiri).

Hasil penelitian membuktikan bahwa dalam tradisi Jawa, seorang spiritualis dalam meningkatkan spiritualitasnya selalu menjalankan laku tertentu agar tercapai apa yang menjadi tujuannya, dimensi transenden. Dan hal tersebut berhubungan erat dengan tradisi Islam Jawa dan mistik, yang masih terkait erat dengan tasawuf dan eskatologi Jawa yang tergambarkan pada pantheisme.

Paham dan kultur agama di dunia, juga pola hierarki ternyata tidak berlaku dalam tradisi jawa. Tradisi Jawa sendiri lebih menerapkan kehidupan yang mengagungkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jika kita memahami kultur Jawa itu sendiri, memang perempuan ditempatkan dalam posisi yang tinggi. Sebagai simbol moralitas, perempuan digambarkan sebagai sosok ibu atau ratu. Begitu juga dalam hal spiritualitas.

Dalam sejarahnya, spiritualis perempuan direpresentasikan pada ibu Tribuwana Tungga Dewi, Ratu Sima, Ratu Kalinyamat, dan ibu Dewi Gayatri Rajapatni. Hal ini menunjukkan bahwa seorang spiritualis perempuan bukanlah hal yang baru. Terbukti kemunculan sosok perempuan-perempuan diatas membuktikan spiritualis perempuan sudah kita kenal sejak berabad-abad silam.

Dan saat ini, perempuan spiritualis turut mewarnai spiritualitas dalam tradisi Jawa, yang direpresentasikan sebagai dukun, dalang maupun juru kunci, juga pawang hujan seperti Rara

(Foto: Suara.com)

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!