31 Maret Adalah International Transgender Day of Visibility, Komunitas Transpuan Hadapi Krisis Iklim

31 Maret 2022 merupakan Internasional Transgender Day of Visibility (TDOV). Para transgender masih alami krisis iklim yang sangat berdampak nyata bagi kehidupan para transgender.

31 Maret 2022 merupakan Internasional Transgender Day of Visibility (TDOV) yang merupakan perayaan tahunan untuk meningkatkan kepedulian publik terhadap komunitas transgender yang kerap kali mengalami diskriminasi di lingkungannya.

Salah satu hal yang jarang mendapat perhatian publik yakni dampak krisis iklim bagi kehidupan transgender. Sebagaimana artikel yang ditulis oleh Konde.co sebelumnya, pada Jumat, 25 Maret 2022, Komunitas transpuan Sanggar Seroja turut berpartisipasi dalam aksi jeda iklim. Aksi ini merupakan bentuk kepedulian komunitas transgender terhadap perubahan iklim di Indonesia.

Dalam berbagai studi yang pernah dilakukan oleh berbagai lembaga dunia, Asia merupakan benua yang paling terdampak atas terjadinya krisis iklim, bahkan dalam survey yang dilakukan oleh Uswitch.com yang dipublikasi pada awal tahun 2022, Indonesia termasuk dalam 10 besar negara yang paling terdampak dari pemanasan global.

Studi tersebut dilakukan dengan memperhitungkan frekuensi bencana alam yang terjadi, dampak kerusakan termasuk di antaranya jumlah penduduk yang terimbas, serta jumlah korban jiwa. 

Mama Pandan, dalam wawancara dengan Konde.co, Sabtu, 26 Maret 2022, mengatakan bahwa perubahan iklim yang terjadi di Indonesia berdampak pada aspek kesehatan dan ekonomi dari komunitas transpuan. Kondisi cuaca yang tak menentu dan tak dapat diprediksi belakangan ini mengakibatkan komunitas transgender yang hidup di wilayahnya mengalami penurunan pendapatan.

“Kawan-kawan itu kan banyak yang bekerja menjadi pengamen. Nah, mereka bisa mengamen ketika cuaca cerah, tapi belakangan ini kan sering tiba-tiba hujan besar. Kalau sudah begini, biasanya penghasilan kawan-kawan hanya cukup untuk hari ini,” ujar Mama Pandan.

Penurunan pendapatan ini menjadikan komunitas transgender tak bisa menabung dan berimbas pada kesulitan membayar uang kontrakan. Mama Pandan menceritakan, dalam situasi cuaca yang ekstrem seperti sekarang ini menjadikan seorang transpuan terpaksa menunggak kontrakan hingga enam bulan.

“Jadi kalau hujan deras terus, mereka enggak bisa membayar kontrakan sama sekali. Kadang sampai yang punya kontrakan mengirim Whatsapp ke Mama, mereka bertanya kenapa si ini belum membayar kontrakan. Ya Mama hanya bilang, sabar saja, kalau belum bayar, berarti memang mereka sedang tidak ada uang, kalau ada mereka akan nyicil,” kata Mama Pandan.

Terkadang, kata Mama Pandan, cuaca yang tak menentu membuat pendapatan para transpuan yang bekerja sebagai pengamen dan pekerja seks hanya cukup untuk ongkos pulang pergi, sekitar Rp15 ribu.

“Mama ceritain ya, waktu itu mama pernah nyamperin teman-teman yang sedang bekerja karena hujan. Pas sampai sana, mama lihat teman-teman ini, ‘ih kasihan amat anak-anak, hujan gedhe dan petir kencang’. Jadi akhirnya mereka hanya nongkrong (diam di tempat karena terjebak hujan). Mereka bilang, ‘ya begini kalau hujan’. Lalu setelah hujan reda, mereka baru pulang, kalau masih hujan, mereka pulang menggunakan bajaj, tapi ya kalau naik bajaj harganya lebih mahal, sampai di tempat tinggal mereka bisa menghabiskan Rp20-25 ribu. Makanya dapat duit enggak, eh harus keluar duit,” ungkap Mama Pandan menceritakan pengalamannya.

Perubahan cuaca yang tak menentu ini menjadikan transpuan harus bekerja lebih keras ketika cuaca cerah, sebab ketika cuaca cerah, pendapatan mereka berkisar antara Rp100 sampai 150 ribu. Hal ini dilakukan untuk menutup kebutuhan hidup atau tunggakan kontrakan. Tentu saja hal ini membuat mereka hanya memiliki waktu istirahat yang lebih sedikit.

Melihat kondisi ini, Mama Pandan pun menceritakan bahwa tak jarang Sanggar Seroja turut memberikan bantuan bagi transpuan yang mengalami kesulitan.

“Kalau lagi cuaca bagus, mereka jalan (berangkat kerja) dari pagi, lalu siang hari mereka pulang untuk istirahat 1 sampai 2 jam, lalu mereka jalan (kerja) lagi untuk ngejar target. Padahal tempat bekerja mereka itu jauh-jauh, terkadang sampai Bekasi atau Tangerang.” tutur Mama Pandan.

Gambaran ini kata Mama Pandan, pernah Ia pentaskan dalam lewat sebuah monolog berjudul Eka dan Hujan yang dipentaskan oleh Sanggar Seroja. 

Kondisi seperti ini semakin menyulitkan komunitas Transpuan ketika awal pandemi Lalu. Mama Pandan menceritakan, ketika pemerintah menerapkan aturan ketat PPKM level 4, kawan-kawan Transpuan tidak bisa bepergian menggunakan KRL karena kewajiban membawa surat tugas. Pendapatan mereka yang sudah menipis akibat PPKM, belum lagi ditambah cuaca yang tak dapat diprediksi, menjadikan mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk patungan sewa mobil sekitar Rp60 ribu.

Masalah perubahan cuaca pun bertambah runyam ketika hujan deras disertai banjir. Meskipun di Kampung Duri, tempat Mama Pandan bermukim tidak pernah mengalami banjir, tetapi wilayah tempat Ia tinggal dikepung oleh wilayah yang terkena banjir. Kondisi ini otomatis berimbas pada mereka, tidak bisa pergi bekerja. Apalagi jika banjir sampai ke lokasi-lokasi di sekitar stasiun. Para transpuan yang rumahnya tak kena banjir pun terpaksa berdiam di rumah hingga banjir surut.

Ini baru kondisi di satu tempat, di kampung Mama Pandan. Bagi komunitas transgender, bencana banjir tak hanya mempengaruhi akses kerja mereka, tetapi juga akses terhadap bantuan sosial. Stigma dan diskriminasi struktural terhadap komunitas transgender menjadikan mereka lebih sulit untuk mengakses bantuan ketika menghadapi bencana.

Belum lagi ketika komunitas Transgender mengalami gangguan kesehatan. Mama Pandan mengatakan bahwa meskipun saat ini komunitas transgender sudah bisa mengurus KTP, tapi tak semua dari mereka bisa mengakses layanan BPJS Kesehatan, sebab bagi transgender yang memiliki KTP di luar Jakarta, mereka tidak bisa mendapatkan BPJS Kesehatan dan layanannya di Jakarta.

“Kalau sakit, ya harus mengeluarkan uang untuk berobat. Di sini memang ada pengobatan gratis kalau punya KTP seperti di Puskesmas Tambora, kalau tidak punya KTP bayar Rp5 sampai 10 ribu udah sama obat. Namun untuk menuju ke Puskesmas, mereka membutuhkan ongkos sekitar Rp30 ribu untuk perjalanan Pulang-Pergi,” pungkas Mama Pandan.

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!