Survei Konde.co: Apa Peran Ayah Dalam Imunisasi Anak? Imunisasi Bukan Hanya Urusan Ibu Tapi Juga Ayah

Bagaimana peran para ayah dalam imunisasi anak? Konde.co melakukan survei pada para ayah, karena imunisasi anak bukan hanya urusan ibu, tapi juga para ayah. Salah satu temuan survei menyebut, yang membuat para ayah kurang berperan dalam urusan imunisasi anak adalah karena imunisasi dilakukan di jam kerja dan adanya pandangan yang menstigma para ayah dalam menjalankan perannya.

Dear para ayah, imunisasi anak tidak hanya jadi urusan ibu, tapi juga ayah yang harus ikut mengurus dan bertanggungjawab

Karena sejatinya di dunia ini tidak ada kalimat yang menyatakan bahwa: ini anaknya ayah, atau: ini anaknya ibu. Yang ada, ini adalah anak ayah dan ibu. Itu sebabnya, pengasuhan terhadap anak, segala tindakan asah, asih, asuh untuk tumbuh kembang  anak harus melibatkan kedua orangtua, ayah dan ibunya. 

Bram Setiawan, laki-laki yang berdomisili di Jakarta yang selama 2 tahun belakangan sedang menikmati peran barunya sebagai seorang ayah, punya pendapat demikian, bahwa imunisasi itu urusan kedua pasangan.

“Aku sih sederhana aja cara berpikirnya. Itu kan anak bersama, bukan hanya anak istriku atau hanya anakku. Jadi aku pikir kalau kebutuhan (imunisasi-red) itu ada, seharusnya ya dilakukan bersama,”  ujar laki-laki yang berprofesi sebagai ayah rumah tangga dan pekerja lepas ini saat berbincang dengan Konde pada Kamis (24/3/2022).

Bram mengaku bahwa ia dan istrinya berupaya untuk saling mengingatkan dan terlibat agar anaknya mendapat imunisasi secara tepat waktu dan rutin. Sebagai pekerja lepas, Bram kemudian juga banyak mengambil pekerjaan di rumah.

“Saling mengingatkan sama istri karena kan berhubungan dengan waktu kerja kita berdua juga,” imbuhnya.

Hal ini juga dialami Ubaidillah, seorang ayah di Purwokerto. Dalam wawancara virtual yang dilakukan Konde pada Minggu (27/3/2022), ia menceritakan perannya dalam imunisasi anaknya, yaitu mengantar jemput dan mengecek informasi pemberian imunisasi yang tertera di buku panduan kesehatan ibu dan anak yang diberikan oleh dokter mereka. 

Ubaidilah juga mengambil antrian dokter dan antar jemput istri dan anaknya setelah ke dokter

“Saya lebih ke istri yang ngingetin ya, misalkan ‘Yah, besok jadwalnya imunisasi’, jadi saya yang bertugas ambil nomor antrian di rumah sakit, kira-kira jam berapa saya antar jemput. Memang waktu istri hamil dan melahirkan dapat bukunya sih, ada petunjuk di bukunya bahwa di usia sekian harus imunisasi apa, itu yang kita ikuti panduannya. Pokoknya saya hanya bisa memastikan bahwa semua kolom yang ada di buku panduan itu sudah donetidak boleh ada yang kelewat,” terangnya.

Hasil Survei Konde: Dimana Peran Ayah dalam Imunisasi Anak?

Untuk mengetahui lebih detail dan aktual terkait bagaimana peran para ayah dalam imunisasi anak, Konde melakukan sebuah survei sederhana dengan target responden para ayah 

Dalam survei tersebut, Konde mencoba menggali pengetahuan para ayah terkait imunisasi rutin lengkap, bagaimana peran para ayah dalam memastikan anak mereka mendapat hak imunisasi rutin lengkap selama ini, dan apa saja hambatan dan tantangan yang mereka alami dalam melakukannya. 

Survey menggunakan platform Google Form, disebarkan selama 13 hari dari kurun waktu 15-28 Maret 2022. Survei ini menerapkan metode snowballing, bergulir dari 1 orang ke orang lainnya, dan berupaya menemukan responden sebanyak-banyaknya. Survey ini tentu tidak menggambarkan pandangan dan sikap ayah secara keseluruhan di Indonesia, tetapi bisa menjadi bagian gambaran ihwal peran ayah dalam pemberian imunisasi anak. 

Survei ini diisi oleh 70 orang responden. Dalam tahap pengolahan data, 1 orang responden dikeluarkan dari data mentah karena responden tersebut belum menjadi seorang ayah. Sehingga, jumlah total responden sebanyak 69 orang. 

Untuk kategori umur, sebanyak 33 orang berusia 30-40 tahun, 24 orang berusia lebih dari 40 tahun, dan 12 orang berusia sekitar 20-30 tahun. Untuk kategori lama menjadi ayah, sebanyak 39 orang telah lebih dari 4 tahun, 15 orang sekitar 1-2 tahun, 11 orang sekitar 3-4 tahun, dan 4 orang selama kurang dari satu tahun. Untuk kategori jumlah anak, 34 orang memiliki 1 orang anak, 21 orang memiliki 2 orang anak, 13 orang memiliki 3 orang anak, dan 1 orang memiliki lebih dari 4 anak. 

Untuk kategori pekerjaan, lima pekerjaan terbanyak yakni 45 orang karyawan swasta, 8 orang pegawai negeri sipil, 4 orang jurnalis, 3 orang pengusaha, 2 orang pegawai BUMN. Selebihnya, mengaku sebagai ayah rumah tangga, tenaga pengajar, fotografer, pekerja lepas, pedagang, dan seniman. Sementara, untuk kategori pekerjaan istri, tiga pekerjaan terbanyak yakni 34 orang ibu rumah tangga, 22 orang karyawan swasta, 6 orang pegawai negeri sipil, dan sisanya pengusaha, pegawai BUMN, akademisi, dan pekerja lepas.

Secara khusus mengenai imunisasi, hasil survei Konde menemukan, dari seluruh responden, terdapat 60 orang atau 87 persen mengaku mengetahui apa itu imunisasi rutin lengkap untuk anak, dan 9 orang lainnya atau 13%  mengaku tidak mengetahuinya. Konde kemudian mengelaborasi dengan pertanyaan terbuka untuk responden yang menjawab ‘ya’, dan hasilnya menunjukkan bahwa secara umum jawaban para ayah mengenai imunisasi rutin lengkap adalah benar.

Imunisasi rutin lengkap merupakan salah satu cara untuk mencegah penyebaran penyakit. Imunisasi ini terdiri dari imunisasi dasar rutin dan lanjutan yang diberikan sejak bayi lahir dan dilanjutkan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

Lihat grafik interaktif di sini 

Dalam hal pengetahuan manfaat imunisasi bagi anak, sebanyak 65 orang (94,2 persen) responden para ayah pengisi survei ini mengaku mengetahui apa itu manfaat imunisasi rutin lengkap bagi anak. Sisanya, sebanyak 4 orang (5,8 persen) mengaku tidak mengetahuinya. Dalam pertanyaan elaborasi, jawaban para ayah yang menjawab ‘ya’, juga menunjukkan rata-rata jawaban benar. 

Lihat grafik interaktif di sini 

Banyak jenis gangguan kesehatan atau penyakit berbahaya yang bisa dicegah dengan imunisasi (PD3I) seperti: TBC, campak, pneumonia, kegagalan fungsi hati dan kanker hati, lumpuh layu, difteri, pertussis, tetanus, Hepatitis B dan meningitis. Penyakit-penyakit tersebut dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Imunisasi menjadi salah satu metode pencegahan penyakit paling efektif, terlebih dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita.  Ironisnya, dalam laporan terbaru UNICEF, angka anak Indonesia yang tidak menerima imunisasi, adalah ketiga tertinggi di dunia, di bawah  India dan Pakistan. 

Padahal, jika imunisasi rutin lengkap dilakukan merata di semua wilayah, Indonesia akan dapat mencegah wabah PD3I menjadi bencana besar bagi masyarakat lebih luas. Imunisasi yang juga dapat membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) akan mencegah penyakit pada orang yang tidak bisa mendapat imunisasi, seperti penderita autoimun atau kanker. Sederhananya, semakin banyak anak yang diimunisasi, maka semakin sedikit pula yang akan terinfeksi penyakit.

Selanjutnya, terkait apa saja peran ayah dalam memastikan hak imunisasi anaknya terpenuhi, sebanyak 32 responden (46,4 persen) mengaku mengantarkan anak ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk imunisasi, 15 responden (21,7 persen) mengaku mencatat jadwal imunisasi anak dan memastikan agar anak diimunisasi tepat waktu, 15 responden (21,7 persen) mengaku mencari informasi detail terkait imunisasi rutin lengkap, dan sisanya memberi jawaban bervariasi seperti melakukan ketiga hal di atas, membeli asuransi, dan lainnya.

Lihat grafik interaktif di sini 

Stigma pada Peran Ayah

Ternyata cerita tentang stigma pada ayah yang berperan pada anak ini dialami oleh Bram maupun Ubaidillah. Mereka sama-sama menyatakan bahwa tidak semua ayah bisa menjalankan seperti yang mereka lakukan dalam proses imunisasi anak. 

Menurut mereka, salah satu hal yang membuat para ayah kurang berperan atau terlibat penuh dalam urusan imunisasi anak adalah karena adanya pandangan yang secara tidak langsung menstigma dan membatasi kemampuan para ayah dalam menjalankan perannya. 

“Terkadang, ada kan ya yang mikir ah udahlah urusan imunisasi itu urusan istri, urusan suami ya cukup urusan kerja,” kata Bram. 

Ubaidillah pun berujar, “Mindset (cara berpikir-red) masyarakat bahwa urusan anak itu urusan ibu, urusan cari duit itu ayah, di Indonesia ini kan sulit diubah.”

Perspektif yang membagi peran suami dan istri secara dikotomis ini telah mengakar kuat di masyarakat Indonesia. Ubaidillah mengaku, secara pribadi ia pun terkadang masih terjebak dalam cara pandang tersebut. Sehingga, ia harus secara berkala mengingatkan dirinya agar berani mengubah cara pandang tersebut dalam dirinya. 

“Aku pun juga sampai sekarang masih sama, urusan posyandu, urusan imunisasi detailnya segala macam, udah urusan istri semua, aku urusan cari duit dan nganter imunisasi udah itu aja. Masih terus berusaha untuk ubah pemikiran itu. Kita harus berani mengubah mindset itu, bahwa urus anak-anak itu harusnya sama-sama.”

Studi akademik oleh Hilda Yani (2013) yang meneliti peran ayah dalam kelengkapan pemberian imunisasi di Deli Serdang, Sumatera Utara, menemukan ada banyak faktor yang mengakibatkan masih rendahnya peran ayah dalam upaya pemberian imunisasi, yakni: motivasi, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan sumber informasi yang diperoleh mengenai pemberian imunisasi. 

Faktor kesibukan dan kelelahan ayah selama beraktivitas menjadi alasan yang paling banyak dalam temuan. Ini membuat ayah jadi kurang berperan aktif dalam pemberian imunisasi pada bayinya. Ayah, secara sosial, dituntut untuk bekerja keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga, yang akhirnya membuat ayah merasa selalu sibuk dan lelah. Ini berakibat pada kurangnya motivasi ayah untuk mendampingi bayinya dalam pemberian imunisasi.     

Ini senada seperti pernyataan Bram, “Masih ada pandangan kalau laki-laki kurang lelah cari duitnya, itu dianggap gak serius jadi suami.”

Dalam survei, Konde kemudian mengeksplorasi hambatan yang biasanya dialami para ayah saat berupaya memastikan pemenuhan hak imunisasi anaknya. Hasilnya, sebanyak 23 responden atau 33,3 persen menyatakan karena imunisasi dilakukan pada jam kerja, 11 orang atau 15,9 persen menyatakan tidak punya waktu karena terlalu banyak pekerjaan di kantor, 18 responden atau 26,1 persen menyatakan tidak ada hambatan, 4 responden atau 5,8 persen menyatakan tidak ada role model sosok ayah yang peduli soal imunisasi anak yang bisa dicontoh dalam kehidupan pribadi.

Responden lainnya menjawab dengan jawaban bervariasi seperti sulit dapat izin dari atasan (1,4 persen), imunisasi merupakan tanggung jawab istri (1,4 persen), tidak adanya informasi tempat pelayanan kesehatan yang bagus dan mudah dijangkau dari rumah (1,4 persen), efek setelah imunisasi (1,4 persen), antrian panjang (1,4 persen), lupa jadwal (1,4 persen), pandemi (1,4 persen), tidak tahu harus mulai dari mana menjalankan peran sebagai ayah (1,4 persen), dan lain sebagainya. 

Lihat grafik interaktif di sini

Fleksibilitas waktu kerja di kantor merupakan hal krusial yang diperlukan para ayah. Seperti Bram, yang tidak mengalami hambatan karena jam kerja yang dinamis dan dapat dibicarakan secara terbuka dengan atasannya.

“Ya masih fleksibel lah. Kalau misalnya kita udah tentuin jadwal misalnya imunisasi tanggal 15 ya, nah tanggal 13 aku sudah bilang ke atasan, gak usah tukar libur tapi aku mulai kerjanya jam sekian,” ucap Bram. 

Begitu pun dengan Ubaidillah. “Enggak ada masalah, kebetulan tempat antara rumah sama rumah sakit dan kantor itu gak begitu jauh. Posisi aku kan tidak di operasional, tapi di bisnis. Kalau di bisnis kan waktunya lebih fleksibel karena kita juga ke lapangan jadi bisa sekalian. Jadi biasanya kalau aku sudah antar, ambil nomor antrian, ya ditinggal dulu sebentar, baru nanti dijemput lagi.”

Namun begitu, kedua ayah yang sama-sama memiliki seorang anak ini tak menampik bahwa hingga saat ini masih ada kantor yang tidak memberi keleluasaan dan bahkan menstigma ayah ketika ingin menjalankan perannya dalam imunisasi anak. Ini membuat para ayah jadi enggan untuk sekadar meminta izin menemani anaknya imunisasi.

“Karena kan dikira pemalas, kayak mencari celah untuk mengurangi aktivitas bekerja gitu lho,“ kata Bram.

Padahal, menurut Ubaidillah-laki-laki yang sudah bekerja di bagian manajerial lembaga perbankan selama kurang lebih 10 tahun ini, pemberian izin seperti itu sangat penting bagi ayah karena sangat berhubungan dengan motivasi kerja seorang ayah.

“Kalau saya selama ini sih, kalau ada karyawan yang izin anaknya imunisasi, ya saya suruh antar dulu imunisasi, saya tanya kira-kira berapa lama, yang penting selama waktu dia pergi, back-up nya ada, entah sejawatnya atau atasan langsungnya. Yang penting  operasional kantor bisa tetap berjalan normal. Nah ketika dia diberikan izin seperti itu, dia merasa happy, enjoy, saya yakin hasil kerjanya juga maksimal, daripada ya kita halang-halangi segala macam, kita judge begini begitu, malah jadi demotivasi, jadinya gak produktif bagi karyawan.”

Hambatan-hambatan para ayah ini divalidasi oleh Alifah Davida, relawan Yayasan Orang Tua Peduli (YOP)-sebuah yayasan yang bergerak dalam isu pengasuhan dan kesehatan anak. Namun, menurutnya, masih ada alternatif untuk mengatasi hambatan berupa ketiadaan fleksibilitas waktu kerja ini. 

“Imunisasi itu kan sebenarnya bisa dilakukan during the weekend ya, imunisasi itu something yang tidak harus dikerjakan exactly on the exact date gitu, ada leniency 7 hari sebelum dan 7 hari sesudah, itu masih dihitung tepat waktu. Jadi, terkait bahwa karena gak diizinkan kantor nganterin anak imunisasi, ya kan bisa dianterinnya malem hari, bisa dianterinnya juga during the weekend, itu bisa jadi alternatif,” jelasnya pada Konde melalui pertemuan virtual pada Kamis (31/3/2022).

Pengaruh Persetujuan dan Keterlibatan Ayah dalam Kesuksesan Imunisasi

Survei Konde juga menggali persetujuan ayah terkait imunisasi. Dalam hal persetujuan, sebanyak 98,6 persen atau 68 orang responden survei Konde menjawab setuju anaknya mendapat imunisasi rutin lengkap. Sementara, 1 orang sisanya (1,4%) mengaku tidak menyetujui anaknya mendapat imunisasi rutin lengkap. 

Lihat grafik interaktif di sini

Persetujuan ayah akan berperan dalam kesuksesan capaian imunisasi rutin lengkap bagi anak. RisetKementerian Kesehatan dan UNICEF pada Agustus 2020 menyebut, penolakan para ayah terhadap vaksin bagi anak mereka karena berbagai alasan menjadi  salah satu penyebab rendahnya cakupan imunisasi. Studi tersebut juga mengemukakan, sebagian besar responden menyatakan keputusan pemberian imunisasi bagi anak dipengaruhi oleh pasangan, dan sebagian kecil sekitar 27 persen memutuskan sendiri. 

Vida Parady, relawan YOP mengafirmasi temuan ini. Berdasar pengalamannya saat melakukan sebuah kajian terkait imunisasi di salah satu provinsi di Indonesia, ketidaktahuan yang berujung pada ketidaksetujuan para ayah membuat capaian imunisasi di daerah menjadi rendah.

“Di daerah itu lebih memprihatinkan. Karena bapak-bapaknya kurang paham mengenai manfaat imunisasi dan resiko kalau anaknya tidak diimunisasi itu bisa sampai kecacatan dan kematian gitu ya, jadi mereka tuh seringkali anggap ah udahlah ntar aja, anggap enteng,  anggap ah ini kan gak jelas halal atau haramnya, atau semata-mata waktu saya gali lagi, ada yang benar-benar gak ngebolehin karena perkara anaknya rewel kalau diimunisasi, ‘Saya jadi gak bisa tidur, saya kan capek’,” ungkapnya pada Konde melalui pertemuan virtual pada Kamis (31/3/2022).

Ia menambahkan, pandangan ini membuat para ibu yang tinggal di daerah berada di situasi sulit.

“Kan jadinya susah, ibunya udah mau, bapaknya gak ngebolehin. Meski di posyandu gratis kan gak mengganggu uang, tapi ibunya takut ya kalau anaknya rewel, panas, tangannya bengkak,  jadi ketahuan deh diimunisasi.“

Sementara di sisi lain, sebuah studi kolaborasi Makerere University dan Birmingham City University (2016) yang meneliti imunisasi di Uganda menemukan, keterlibatan penuh ayah dalam imunisasi akan meningkatkan capaian kesuksesan sebuah imunisasi rutin lengkap bagi anak. Namun, rendahnya peran ayah dalam imunisasi anaknya justru jarang ditekankan dalam program atau penelitian imunisasi. 

Konde mencoba meminta tanggapan Kementerian Kesehatan terkait temuan riset tersebut dan mengonfirmasi apa saja intervensi yang sudah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan peran ayah dalam imunisasi ini, tetapi hingga artikel ini diterbitkan, pihak Kementerian Kesehatan belum juga memberikan konfirmasi

Tak Hanya Ibu, Ayah Juga Harus Proaktif

Usaha orangtua dalam hal imunisasi sangat krusial dalam upaya menjaga kesehatan dan kualitas kehidupan anak.  

Survei Konde mencari tahu usaha apa saja yang dilakukan para ayah untuk menambah informasi tentang imunisasi dan kesehatan anak. Hasilnya, sebanyak 28 responden (40,6 persen) mengaku bertanya pada dokter, 13 responden (18,8 persen) membaca buku, 10 responden (14,5 persen) mencari informasi di internet, 10 responden (14,5 persen) bertanya pada istri, 6 responden (8,7 persen) mengikuti seminar kesehatan dan parenting, 1 responden (1,4 persen) bertanya pada teman, dan 1 responden lainnya (1,4 persen) mencari segala informasi tentang perawatan bayi.

Lihat grafik interaktif di sini

Vida Parady menekankan, orangtua sudah seharusnya berinisiatif dan proaktif memperkaya wawasan dan memberdayakan dirinya dengan menggali sebanyak mungkin informasi terkait imunisasi.

“Cukup banyak orangtua tuh seringnya take it for granted ya, atau bisa dibilang jeleknya tuh ignorant. Mereka sangat tergantung dengan tenaga kesehatan untuk kasih tahu ‘Nih anaknya saya kasih ini, nanti 3 bulan lagi datang ya, Pak/Bu’, biasanya kan orang tua itu merasa tidak perlu menghafal misalnya ‘Oh ini di bulan segini bayinya harus dapat imunisasi’, kebanyakan sih yaudah lihat aja di kartu kesehatan, dibawa, nanti dokternya yang ngomong, mereka pasrah gitulah. Nah kalau di YOP, orangtua didorong untuk memahami betul imunisasi itu, jadi mereka mengerti imunisasi apa yang perlu diberikan, kapan diberikannya, trus resikonya apa, manfaatnya apa, penyakit apa yang dicegah dari imunisasi itu. Mereka paham kenapa jadwal itu benar-benar dipatuhi, apalagi masih bayi di bawah 1 tahun itu kan ada alasannya kenapa misalnya bayi itu diberikan pada bulan segini, bulan segitu, semua ada alasan science-nya, itu harus benar-benar diperhatikan.” 

Untuk diketahui, YOP adalah sebuah lembaga yang beranggotakan sekelompok orangtua dan para dokter yang peduli akan kondisi kesehatan dan lingkungan anak-anak di Indonesia. Sejak berdiri pada 2003, YOP aktif mengedukasi para orangtua perihal topik kesehatan anak melalui mailing list dan websitePada 2012, YOP kemudian membentuk sebuah grup di Facebook bernama GESAMUN (Gerakan Sadar Imunisasi). Grup ini menyediakan ruang diskusi terkait imunisasi dalam koridor ilmiah: evidence based medicine dan evidence based practice. Saat ini, grup GESAMUN memiliki hampir 142.000 member.

Ia kemudian menjelaskan, orangtua juga perlu paham akan hak anaknya untuk mendapat imunisasi secara simultan. Artinya, anak dapat memperoleh beberapa jenis vaksin sekaligus dalam satu kunjungan. Imunisasi dengan cara ini dapat mengurangi anak terpapar bakteri dan virus saat berada di luar rumah karena anak tidak bolak-balik harus ke layanan kesehatan, dan menjamin vaksin diberikan tepat waktu.

Selain itu, ia juga mengingatkan agar orangtua melakukan catch up immunization yakni mengejar ketertinggalan vaksin yang belum didapat anak sebelum usia 2 tahun, atau maksimal sebelum anak masuk sekolah.

Jadi kan seringkali orangtua tuh entah karena alasan lalai atau apa, anaknya ketinggalan imunisasinya, khususnya yang lanjutan, yang tidak di-cover atau disubsidi oleh pemerintah, kita harus kejar ketertinggalan itu. Kan ada vaksinasi yang satu dua tiga, itu kan seringkali orangtua tuh tahu-tahu kelupaan, nah itu disarankan untuk catch up, daripada tidak sama sekali mending terlambat,” ujar Vida.

Menurut Kinanti Pinta Karana, Communication Specialist UNICEF Indonesia, untuk meningkatkan keterlibatan aktif orangtua dalam imunisasi, maka edukasi untuk orangtua perlu diperkuat oleh berbagai pihak. 

“Edukasi yang dilakukan sebaiknya berprinsip empatik, transparan dan kredibel. Selain itu, di lapangan, perlu digerakkan kader-kader dan para pemangku kepentingan untuk memberi dukungan pada orangtua,” tuturnya saat dihubungi Konde pada Kamis (31/3/2022).

Regulasi Perlu Lebih Progresif

Pandangan bahwa ayah tak perlu terlalu terlibat mengurus anak masih awet di berbagai kultur di dunia. Segregasi peran antara ayah (laki-laki) dan ibu (perempuan) masih terpatri kuat di masyarakat sehingga hingga hari ini, kita masih menemukan pandangan bahwa perempuan lah yang wajib mengasuh anak termasuk dalam hal ini memastikan segala hal terkait kesehatannya. 

Ini tidak hanya terpatri kuat di benak masyarakat, tetapi sampai mengejawantah dalam regulasi, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Dalam Pasal 31 ayat (3) disebutkan, bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Sementara, dalam Pasal 34 ayat (1) dan (2) disebutkan, suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.  Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. 

Kepala keluarga, dalam hal ini, kerap diasumsikan bahwa tanggung jawab suami hanya sebagai pencari nafkah utama. Sementara, istri disebut sebagai ibu rumah tangga dan diposisikan sebagai orang yang wajib mengasuh anak. Undang-undang ini tidak mengakomodasi secara utuh situasi kekhasan setiap pasangan masa kini di mana peran rumah tangga semakin dinamis dan bahwa tugas pengasuhan anak adalah tugas suami dan istri secara bersama-sama. 

“Ya memang persoalan gender role atau peran baku antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga sedikit banyak dilestarikan oleh undang-undang ya, ditambah lagi dengan nilai-nilai budaya dan nilai-nilai tafsir agama yang turut memperkuat itu. Kemudian, ini juga yang menyulitkan ketika dalam satu keluarga terjadi perpisahan, misal si bapak meninggal, sehingga ibu tidak hanya berperan sebagai ibu tetapi sebagai ayah juga. Namun ironisnya, regulasi ini tadi tidak mengakui peran ibu sebagai kepala keluarga,” ujar Mike Verawati, Sekjend Koalisi Perempuan Indonesia (KPI).   

Pembakuan peran, kata Mike, mengakibatkan beban lebih berat di satu pihak, terlebih perempuan. Perempuan dibuat menjadi lebih tergantung, atau sulit mengambil keputusan karena perannya diperkecil oleh pembakuan peran gender itu.

“Peneguhan atau pengukuhan soal gender role ini eksesnya kemana-mana, bukan hanya soal cari duit, pengasuhan, tetapi berpengaruh ke kebijakan-kebijakan lainnya yang terkait kesejahteraan keluarga,” timpal Mike. 

Dan, persoalan imunisasi, tidak hanya terkait dengan kualitas kehidupan seorang anak, tetapi juga terkait dengan kualitas kesejahteraan keluarga Indonesia. 

Tips untuk Para Ayah

Mengutip UNICEF, ada beberapa cara yang bisa para ayah lakukan untuk memastikan pemenuhan hak sehat anak melalui  imunisasi sehingga ia terhindar dari penyakit berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I):

1.Cari  informasi tentang vaksin. Orangtua dapat menyimak informasi terbaru dari laman Kementerian Kesehatan RIWHO, dan situs UNICEF.

2.Pelajari jadwal imunisasi. Orangtua dapat melihatnya di buku Kesehatan Ibu dan Anak. Atau bisa juga mengaksesnya di laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jika terjadi keterlambatan, segera hubungi Puskesmas, Posyandu atau klinik terdekat dan segera buat janji temu untuk jadwal imunisasi susulan.

3.Bangun kepercayaan diri, berinisiatif, dan menyatakan dukungan terhadap imunisasi. Sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perannya sebagai ayah, kamu bisa turut serta berperan aktif dalam memastikan anak kamu mendapat imunisasi dasar rutin lengkap.

4.Hadir dan terlibat aktif saat anak imunisasi. Meskipun para ayah kerap kesulitan menemani anak imunisasi karena berbagai hal seperti berbarengan dengan waktu kerja, cobalah untuk tetap hadir sesering mungkin. Kehadiran orangtua, ayah dan ibu, akan membuat proses pemberian informasi edukatif dari tenaga kesehatan berjalan optimal. Orangtua akan lebih memahami apa yang terbaik buat anak mereka dan saling mendukung untuk memastikan anak mendapat imunisasi dasar rutin lengkap secara tepat waktu.

5.Dukung imunisasi di lingkungan sekitar. Karena imunisasi dasar bertujuan tidak hanya untuk anak Anda, tetapi juga anak-anak lainnya, maka orangtua disarankan untuk  saling menyebarkan informasi utuh terkait imunisasi kepada orangtua lainnya agar keluarga lain juga mendapat perlindungan optimal dari imunisasi dasar rutin lengkap. Dengan begitu, keluarga dan komunitas kamu bebas dari penyakit berbahaya yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I).

(Artikel ini mendapatkan dukungan dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan UNICEF)

Marina Nasution

Jurnalis televisi yang murtad dan kini mualaf di Konde.co Pengagum paradoks semesta, gemar membeli buku tapi lupa membaca.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!