Fenomena generasi sandwich semakin santer diperbincangkan oleh generasi milennial di Indonesia saat ini.
Generasi sandwich, atau generasi terhimpit, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut mereka yang memiliki tanggung jawab ganda, yakni kepada anaknya dan orang tua atau mertuanya. Ini bisa berupa secara finansial, alokasi waktu, sampai perawatan fisik jika orang tua sudah dalam kondisi kesehatan tertentu, misalnya kondisi lumpuh.
Orang yang termasuk generasi sandwich biasanya dianggap sebagai aktor utama penyedia sumber daya keluarga.
Meskipun menjadi generasi sandwich memberikan beban tanggung jawab ganda, nyatanya banyak yang memutuskan (atau terpaksa) menjadi bagian dari kelompok ini.
Beban hutang budi
Hutang budi terhadap jasa orang tua diyakini menjadi alasan utama mengapa seseorang mau merawat orang tuanya.
Secara sosiologis, hutang budi ini merupakan wujud konsep resiprositas, yakni sikap untuk memberi bantuan kembali kepada siapapun yang telah memberikan bantuan sebelumnya.
Dalam hubungan antara anak dengan orang tua, hutang budi ini muncul dari kesadaran bahwa anak pernah dibesarkan dan dirawat sebelumnya. Merawat orang tua yang sudah lansia dianggap sebagai timbal balik atas jasa orang tua yang sudah merawat mereka.
Merawat orang tua sebenarnya tidak selalu dimaknai sebagai upaya untuk merawat setiap hari seperti memasak, menyiapkan makan, maupun memandikan mereka. Tetapi, ini juga dapat dilakukan dengan memberi sejumlah uang setiap bulan supaya mereka dapat memenuhi kebutuhannya atau sekadar mengunjungi mereka secara berkala.
Timbal balik keuntungan
Tidak sedikit pula generasi sandwich yang sudah menikah dan berumah tangga namun memutuskan untuk tetap tinggal dalam satu rumah dengan orang tua atau mertuanya. Situasi ini biasanya merupakan hasil kesepakatan yang didasari adanya manfaat timbal balik antara anak dengan orang tuanya tersebut.
Sebuah penelitian terhadap 18 orang yang dapat dianggap generasi sandwich di Indonesia menunjukkan bahwa umumnya, orang tua akan mencoba menawarkan bantuan seperti merawat cucu sehingga anak dapat bekerja dengan tenang di luar rumah.
Atau, pada beberapa kasus, orang tua akan melimpahkan hak waris rumah sepenuhnya kepada anak yang mau tinggal dan merawat mereka saat mereka sudah memasuki masa tua. Negosiasi terkait rumah ini biasanya dilakukan dengan anak yang belum memiliki rumah.
Anak yang menjadi generasi sandwich, menurut penelitian, juga mengaku mendapatkan beberapa keuntungan, antara lain: adanya bantuan untuk merawat anak mereka (cucu dari orang tuanya) dan adanya kemungkinan untuk mendapatkan rumah.
Seperti yang kita ketahui, fasilitas penitipan anak (daycare) saat ini masih minim. Kalaupun ada, harganya masih cukup mahal. Sementara itu, sebagian besar generasi milenial memilih bekerja sehingga terpaksa harus meninggalkan anak mereka di rumah.
Banyaknya anak yang pada akhirnya mau tinggal bersama dengan orang tuanya guna mendapatkan hak waris rumah pun merupakan hal yang dapat dipahami. Harga tanah dan rumah yang semakin mahal membuat generasi usia produktif kesulitan membeli rumah.
Dengan demikian, eksistensi generasi sandwich merefleksikan terjadinya hubungan timbal balik secara terus menerus dalam kurun waktu yang lama antara anak dengan orang tua.
Beban ganda generasi sandwich
Bagi mereka yang masuk dalam kategori generasi sandwich, situasi akan terasa semakin sulit jika orang tua semakin bergantung kepada anak. Sementara, orang tersebut memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi, misalnya kebutuhan untuk membiayai anak, pasangannya, atau pendidikannya.
Bagi generasi sandwich yang sudah berumah tangga, dampak yang paling terasa adalah dampak ekonomi. Hal ini karena seiring bertambahnya usia dan kebutuhan perawatan, orang tua harus berkompetisi dengan kebutuhan cucunya, seperti biaya pendidikan. Padahal, sumber daya yang dimiliki anak mereka dalam rumah tangga dapat dibilang masih terbatas.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa generasi sandwich juga dapat menderita konsekuensi psikologis. Dampaknya antara lain adalah stres, depresi, minim pola hidup sehat, bahkan sampai meningkatnya ketidakpuasan pada hubungan pernikahan.
Situasi stres ini biasanya dipicu oleh adanya tuntutan peran antara menjadi ‘perawat’ orang tua, menjadi orang tua, dan tuntutan untuk bekerja membiayai seluruh anggota keluarga.
Negara bisa turun tangan melalui perbaikan sistem pensiun
Masalah generasi sandwich sebenarnya bukan hanya perihal hubungan pribadi antar anggota keluarga (anak dengan orang tua), namun dapat menjadi masalah sosial juga.
Lansia di Indonesia sulit untuk mendapatkan kemandirian secara finansial. Indikator kemandirian ini terukur dari tiga hal yang dapat digunakan sebagai sumber pendapatan kelompok lansia saat mereka sudah tidak dapat bekerja lagi, yakni: kepemilikan jaminan pensiun, tabungan hari tua, dan aset pribadi.
Nyatanya, hanya 20% dari seluruh populasi lansia di Indonesia yang memiliki jaminan pensiun/ sumber pendapatan tetap lainnya saat lansia. Separuh jumlah lansia hanya memiliki aset rumah untuk ditempati, yang minim kemungkinannya untuk dijual guna memenuhi kebutuhan mereka di usia lanjut.
Terkait masalah ini, negara seharusnya bisa turun tangan memberikan solusi. Masalah pokoknya, orang lanjut usia sebenarnya hanya memerlukan sumber daya untuk menjamin kesejahteraan mereka di hari tua.
Dalam hal ini, salah satu yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah memperbaiki kualitas jaminan pensiun kepada para lansia.
Ada dua alasan mengapa pensiun penting untuk meringankan beban generasi sandwich:
Pertama, memberikan jaminan pensiun dalam jumlah yang layak berarti memberikan sumber daya kepada orang tua untuk meningkatkan kemandirian mereka. Lebih jauh lagi, ini dapat meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Kedua, jaminan pensiun dapat meningkatkan sumber daya keluarga. Hal ini dapat membantu mereka mengantisipasi adanya kompetisi atas sumber daya keluarga yang sepenuhnya dilimpahkan kepada anak.
Memang benar bahwa salah satu fungsi anggota keluarga adalah saling membantu dan melindungi satu sama lain. Hanya saja, seorang anggota keluarga tidak bisa dibiarkan menanggung tanggung jawab dan beban seluruh anggota keluarga seorang diri. Melalui perbaikan skema pensiun maupun terobosan lain terkait jaminan kesejahteraan hari tua, negara bisa berperan dalam memutus rantai generasi sandwich.
Darmawan Prasetya, Social Policy Officer, The Prakarsa
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.