BTS ke Gedung Putih: Kampanyekan Isu Inklusi dan Stop Sentimen Anti-Asia di Amerika

Grup musik asal Korea, BTS kampanyekan perlawanan terhadap sentiment anti Asia di Amerika. Ini dilakukan karena banyaknya warga keturunan Asia di Amerika yang mendapat ancaman maupun serangan bermotif rasial

Riuh rendah kedatangan boyband K-Pop BTS ke Gedung Putih sempat merajai ruang perbincangan Twitter pekan lalu. Ketujuh anggota BTS bertemu dengan Presiden AS Joe Biden untuk mendiskusikan isu representasi Asia hingga sentimen kebencian anti-Asia di Amerika yang meningkat sejak pandemi COVID-19.

Pertanyaannya: relevankah mengundang grup musik asal Korea Selatan untuk membahas isu domestik AS?

Pekan lalu (31/5), menutup peringatan bulan warisan warga Amerika keturunan Asia, penduduk asli Hawaii dan Kepulauan Pasifik (AANHPI), boyband K-Pop peraih dua kali nominasi Grammy Awards BTS mengunjungi Gedung Putih untuk mendiskusikan isu inklusi dan representasi Asia. BTS dan Presiden AS Joe Biden juga membahas masalah diskriminasi dan kejahatan bermotif kebencian anti-Asia yang meningkat tajam semenjak pandemi COVID-19 di Amerika.

Kehadiran BTS di Gedung Putih disambut meriah warganet, khususnya Army – sebutan bagi penggemar BTS, yang membanjiri Twitter dengan jutaan tweet, termasuk tagar #BTSattheWhiteHouse yang ditulis dalam lebih dari 900 ribu cuitan.

Dalam pertemuan itu, Biden berterima kasih kepada ketujuh anggota BTS.

“Orang-orang sangat mendengarkan apa yang kalian katakan, dan apa yang kalian lakukan membawa manfaat bagi mereka. Bukan hanya melalui bakat kalian yang luar biasa, tetapi juga pesan yang kalian sampaikan. Itu penting,” ungkap Biden.

Dalam konferensi pers sebelum pertemuan dilangsungkan, Park Ji-min, salah satu anggota BTS, menyampaikan keprihatinannya terhadap sentimen anti-Asia di Amerika.

“Hati kami hancur melihat lonjakan kasus kejahatan bermotif kebencian belakangan ini, termasuk kejahatan bermotif kebencian terhadap warga Amerika keturunan Asia,” tuturnya dalam bahasa Korea. “Untuk menghentikannya dan mendukung kampanye ini, kami ingin menggunakan kesempatan ini untuk kembali bersuara,” tukasnya.

Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak untuk menanggapi lonjakan sentimen anti-Asia selama pandemi COVID-19, Stop AAPI Hate, mencatat 10.905 insiden kebencian terhadap warga keturunan Asia dan Kepulauan Pasifik dalam rentang 19 Maret 2020 hingga 31 Desember 2021. Serangan verbal (63%) mendominasi insiden tersebut, disusul oleh serangan fisik (16,2%).

Menurut jajak pendapat lembaga survei Gallup yang dilakukan pertengahan tahun lalu, tingkat kepuasan warga Amerika terkait perlakuan masyarakat terhadap warga Asia pun menurun tajam, dari 75% pada tahun 2016, menjadi 46% pada tahun 2021 – penurunan sebesar 14% terjadi dalam setahun, dari 2020 ke 2021.

Dalam survei Pew Research pada April 2022 lalu, 63% warga Amerika keturunan Asia mengatakan kekerasan terhadap mereka meningkat. Sepertiga responden pun mengaku mengubah rutinitas mereka sehari-hari karena khawatir mendapat ancaman maupun serangan bermotif rasial.

Sementara itu, Biden sendiri telah menelurkan sejumlah kebijakan untuk memerangi rasisme, xenophobia dan intoleransi terhadap warga Amerika keturunan Asia, di antaranya berupa arahan presiden yang memberi wewenang pada lembaga federal Amerika untuk memerangi sentimen kebencian anti-Asia, penandatanganan Undang-Undang Tindak Kejahatan Bermotif Kebencian Terkait COVID-19, hingga penandatanganan perintah eksekutif untuk membentuk kembali Inisiatif Gedung Putih mengenai Warga Amerika Keturunan Asia, Asli Hawaii dan Kepulauan Pasifik.

Diundangnya BTS ke Gedung Putih oleh Biden, dipandang peneliti kebijakan publik dan sejarah Korea dari Wilson Center, Jean Lee, relevan dengan kampanye melawan sentimen anti-Asia yang dicanangkan AS.

“Baik Anda orang Amerika keturunan Asia atau orang Korea Selatan, jika Anda berada di AS, Anda sering menjadi sasaran tindak kejahatan bermotif kebencian anti-Asia, atau rasisme, diskriminasi, maupun ketidakpedulian,” jelas Lee. “Meskipun mereka bukan warga Amerika, mereka punya platform yang sangat besar. Mereka orang Asia, dan mereka sudah bilang sendiri bahwa ketika mereka datang ke AS, mereka pernah mengalami diskriminasi.”

Lee berpendapat, BTS memiliki pengaruh besar yang dapat digunakan untuk mengedepankan isu-isu sosial yang berdampak luas, terutama isu diskriminasi yang dekat dengan mereka. Ia mencontohkan, BTS mendonasikan uang senilai $1 juta untuk gerakan Black Lives Matter setelah pembunuhan George Floyd pada tahun 2020. Aksi para idola itu pun diikuti penggemar mereka, Army, yang mengoordinasikan penggalangan dana hingga sama-sama mencapai $1 juta sebelum akhirnya didonasikan.

“Tentu saja mereka akan meminjamkan suara mereka untuk melawan sentiment kebencian anti-Asia, yang mereka sendiri sudah alami, yang mereka lihat terjadi pada orang-orang yang seperti mereka,” kata Lee.

Pengaruh positif BTS sendiri sudah lebih dulu dirasakan oleh para penggemar yang berkerumun di luar kompleks Gedung Putih pekan lalu.

Ryle, warga Amerika keturunan Asia yang datang untuk melihat langsung kelompok musik itu, menilai popularitas BTS adalah ‘senjata’ ampuh untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melawan sentimen kebencian anti-Asia.

“Musik mereka menyentuh semua orang dari Amerika ke hampir semua tempat, Anda bisa melihatnya dari begitu banyaknya orang yang datang ke Gedung Putih hari ini,” ungkap Ryle sambil menunjuk para Army yang ada di sekitarnya.

Sementara bagi Hera, warga Mongolia yang besar di Inggris dan sudah tinggal di Amerika selama setahun terakhir, citra BTS dan industri K-Pop saat ini membantunya bangkit dari luka akibat diskriminasi yang kerap ia terima sejak kecil.

“Mereka dulu bilang, ‘oh, kamu Tionghoa ya, pasti kamu begini-begitu,’ lalu mereka pura-pura berbicara dengan bahasa asing. Saat itu saya masih kecil, saya marah diperlakukan demikian,” tuturnya.

Ia menambahkan, “Tapi setelah dewasa, ketika saya pindah ke sini, saya rasa semua orang semakin mengenal K-Pop, dan mereka justru bilang, ‘kamu orang Korea ya? Beruntung banget kamu jadi orang Asia.’ Jadi semenjak setelah pandemi COVID-19, saya merasa jadi orang Asia itu keren. Saya senang jadi orang Asia sekarang.”

Sedangkan bagi Ari, warga Amerika keturunan Asia yang menjadi fan BTS sejak 2014, apa yang dilakoni BTS di Gedung Putih sudah sepatutnya dilakukan. “Mereka adalah simbol yang sangat besar, bukan cuma di Korea, tapi di seluruh dunia. Sebagai tokoh dengan kekuatan atau suara sebesar itu, meminjamkan platform mereka untuk kebaikan adalah sesuatu yang setidaknya bisa mereka lakukan untuk membantum,” kata gadis muda itu, yang datang bersama dua temannya sesama Army.

Lee menilai apa yang dilakukan BTS dengan platform yang mereka miliki – bersikap proaktif dan politis – merupakan sebuah contoh positif.

“Entah itu isu diplomasi, perubahan iklim, kesehatan emosional, mental, isu LGBTQ atau rasisme, saya rasa mereka mulai menyadari bahwa mereka punya tanggung jawab, dan menurut saya itu luar biasa,” pungkasnya.

Sebelum di Gedung Putih, BTS juga pernah berbicara di Sidang Majelis Umum PBB, berkampanye dengan UNICEF untuk mengatasi isu kepercayaan diri pada generasi muda, hingga menjadi utusan khusus presiden Korea Selatan untuk kebudayaan dan generasi mendatang. [rd/em]

(Foto: Wikipedia)

(Sumber: Voice of America)

Rivan Dwiastono

Jurnalis Voice of America/ VOA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!