Bicara soal diskriminasi berbasis gender yang menimpa jurnalis perempuan, saya sebetulnya tak begitu kaget. Sebab kondisi seperti ini nyata dan ada.
Bertahun-tahun bekerja di media, sudah tak terhitung berapa banyak saya mendapatkan curhatan teman sesama jurnalis perempuan yang mengalami diskriminasi atas gendernya.
Salah satu diskriminasi berbasis gender yang pernah saya alami misalnya, adanya stereotip dan prasangka bahwa saya sebagai jurnalis perempuan semestinya yang memegang desk Parenting—yang dianggap untuk perempuan karena dianggap desk feminin. Sementara, reporter laki-laki bisa mengambil desk-desk yang terkesan maskulin seperti megapolitan ataupun kebencanaan.
Kaitannya itu, saya tak pernah memiliki kesempatan untuk mendapatkan penilaian objektif. Bagaimanakah minat dan bakat saya. Tau-tau, redaktur pelaksana sudah membagi peliputan yang seringnya hanya berbasiskan stereotip gender, bahwa yang selalu bisa diandalkan di lapangan itu jurnalis laki-laki.
Pengalaman diskriminasi gender lainnya, bisa juga sebaliknya: jurnalis perempuan diidentikkan sebagai ‘umpan’ narasumber di beberapa tempat yang selama ini begitu maskulin. Misalnya saja, kepolisian, perkumpulan partai politik atau bahkan narasumber perseorangan yang dianggap bisa ‘meluluhkan’ narasumber laki-laki tertentu.
Riset AJI dan PR2Media: Jurnalis Perempuan Masih Didiskriminasi Gender
Apa yang saya alami dan amati, bukanlah omong kosong. Riset terbaru yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) tahun 2022 menemukan bahwa diskriminasi gender di media banyak terjadi
Survei ini melibatkan 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi di Indonesia per tanggal 4-18 April 2022. Setidaknya ada 12 pertanyaan kunci yang menyangkut 6 aspek kesetaraan gender. Sebagaimana prinsip kesetaraan dalam konvensi ILO, aspek-aspek itu merujuk bahwa setiap pekerja berhak memperoleh upah adil, kesempatan kerja yang sama, serta bebas mengembangkan diri tanpa dibatasi stereotip dan prasangka tentang gender.
Peneliti PR2Media, Engelbertus Wendratama, mengungkap sebanyak 68 jurnalis perempuan (16,8%) menyatakan terdapat diskriminasi gender dalam hal remunerasi di tempat mereka bekerja. Ini mencakup pemberian gaji pokok, bonus, dan tunjangan.
“Angka 16,8% tidak bisa disebut kecil dan diabaikan, karena survei ini melibatkan jumlah responden yang terbatas dan sebagai organisasi yang banyak mengawal kebijakan dan pelayanan publik, media semestinya menargetkan zero tolerance terhadap diskriminasi gender di lingkungan kerjanya,” ujar Wendra dalam pemaparan riset, Senin (6/6).
Aspek lain yang ditanyakan, tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga. Sebanyak 58% responden menyatakan jurnalis perempuan tidak bisa mendapatkan tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga mereka. Padahal, karena kepala keluarga tidak selalu laki-laki, ada banyak jurnalis perempuan yang juga menjadi kepala keluarga atau suaminya bekerja di sektor informal.
Dalam hal tugas peliputan, 29,6% jurnalis perempuan mengatakan bahwa masih ada diskriminasi gender. Contohnya, jurnalis perempuan hanya mendapat tugas peliputan yang secara tradisional dianggap ranah perempuan (hiburan, isu domestik, dan lainnya).
“Mereka tidak mendapat tugas yang lebih menantang padahal mereka mampu, adanya pekerjaan ekstra bagi jurnalis perempuan tanpa adanya insentif, dan eksploitasi tubuh jurnalis perempuan oleh redaksi supaya mendapatkan wawancara dengan narasumber tertentu,” lanjutnya.
Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, 25,4% responden dalam penelitian ini menyampaikan bahwa masih ada diskriminasi dalam hal promosi atau kenaikan jabatan di organisasi tempat mereka bekerja.
Tantangan lain yang dihadapi jurnalis perempuan di dunia kerja yakni sulitnya mendapatkan hak cuti. Dalam survei ini, 11,6% jurnalis perempuan mengatakan tempat mereka bekerja tidak memberikan hak cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan dan 67,9% jurnalis perempuan mengatakan bahwa tempat mereka bekerja tidak memberikan cuti haid.
“Bahkan masih ada perusahaan media yang menganggap bahwa perempuan yang mengambil cuti menstruasi tidak produktif,” kata dia.
Dalam hal pengurangan jumlah karyawan, 14,3% responden mengatakan, masih terjadi diskriminasi gender di perusahaan tempat mereka bekerja. Perempuan masih menjadi target ‘dirumahkan’ oleh perusahaan karena dianggap sebagai beban perusahaan. Diskriminasi jenis ini seringkali dialami oleh perempuan yang telah menikah.
“Stereotype peran perempuan yang dianggap sebagai manusia yang tidak wajib mencari nafkah juga kadang menjadi alasan jurnalis perempuan menjadi sasaran “dirumahkan” oleh perusahaan,” ungkapnya.
Perusahaan media pun masih melakukan diskriminasi kepada perempuan dalam hal kontribusi terhadap pengambilan kebijakan. Hal ini terlihat dari 11,4% responden mengatakan, ruang redaksi mereka tidak mengakomodasi ide/saran dari jurnalis perempuan terkait liputan dan 14,8% responden mengatakan bahwa ruang redaksi tidak mengakomodasi ide/saran dari jurnalis perempuan terkait kebijakan perusahaan.
Media Harus Punya SOP Hapus Diskriminasi Gender
Para responden dalam riset AJI dan PR2Media itu memberikan beberapa rekomendasi penting dalam upaya mengikis dan menghapus diskriminasi gender di tempat kerja mereka. Sebagian besar responden (29,9%) memilih rekomendasi “kebijakan perusahaan yang lebih ramah gender” untuk mengurangi atau menghapus diskriminasi gender di tempat mereka bekerja.
Sementara rekomendasi “pimpinan yang memiliki kepekaan terhadap gender” merupakan jawaban terbanyak kedua yang dipilih responden (25,7%). Pilihan rekomendasi berikutnya adalah “transparansi dari manajemen atau HRD tentang jumlah gaji, bonus dan tunjangan yang diberikan kepada karyawan” (22,2%), kemudian “regulasi pemerintah yang lebih ramah gender” (19,8%).
Widia Primastika dari Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marginal AJI mengatakan, diskriminasi terhadap perempuan di media merupakan masalah serius karena berpotensi mengurangi partisipasi perempuan di perusahaan. Maka dari itu, guna mendorong terwujudnya kesetaraan gender di dunia kerja, survei yang dilakukan AJI dan PR2Media ini bisa menjadi dasar penting bagi Dewan Pers dan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Agar lebih aktif melakukan pengawasan kepada perusahaan pers terkait praktik kesetaraan gender di tempat kerja,” kata Widia di kesempatan sama.
Ketua Dewan Pers, Azyumardi mendorong media-media di Indonesia untuk bisa menerapkan sensitivitas gender baik dalam proses jurnalisme hingga budaya di tempat kerja (workplace).
“Saya termasuk yang lama sekali berkecimpung menulis berita, tidak ada pertimbangan gender. Ini harus lebih sensitif terhadap gender. Kita harus membangun itu di pendidikan jurnalis,” ujar Azyumardi.
Selama periode kepemimpinannya tahun 2022-2025, Azyumardi bilang, dirinya berkomitmen untuk menjadikan sensitivitas gender di media sebagai konsentrasi.
“Kawan-kawan AJI usulkan dan kita bahas,” katanya.
Di level pemangku kebijakan, Nurwidiati dari Kemnaker RI mengatakan perlindungan terkait diskriminasi berbasis gender sebenarnya telah ada dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Beberapa poin itu seperti kebijakan untuk perempuan dalam hal istirahat cuti haid, melahirkan, keguguran, menyusui, fasilitas menyusui, larangan PHK ketika hamil, pulang malam, hingga kekerasan dan pelecehan.
(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari “VOICE”)