Ukhti Sekaligus Army: Negosiasi Antara Agama dan Hiburan Generasi Muda Muslim Indonesia

Narasi dominan yang selama ini berkembang, menganggap anak muda religius menentang kesenangan – padahal kenyataannya tidak. Sebagai manusia biasa mereka juga bisa menjadi pelaku utama kesenangan. Meski ada yang menerapkan norma kesenangan yang bisa ditoleransi.

Efek globalisasi dan demokrasi pasca Reformasi 1998 di Indonesia telah membuka lebar ekspresi sosial keagamaan menjadi lebih longgar, leluasa, dan semarak.

Hasilnya, corak sosial dan keagamaan di tengah masyarakat jadi lebih beragam dan menonjol. Ini bisa berwujud pada kehadiran kelompok yang cukup frontal seperti Front Pembela Islam (FPI) sampai menguatnya arus konservatisme dan gerakan hijrah anak muda muslim di Indonesia.

Tapi di sisi lain, fenomena yang juga menarik adalah adanya kecenderungan anak muda muslim dalam menegosiasikan antara aspek kesalehan (piety) dan kesenangan (fun).

Belakangan, misalnya, media sosial ramai karena pertikaian antara seorang warganet dengan NCTzen (kelompok penggemar grup K-Pop, NCT Dream), hingga viral di Twitter. Tidak sedikit perempuan muslim Indonesia yang menggemari grup tersebut – termasuk juga penggemar grup K-Pop lainnya seperti Army (BTS) dan Blink (Blackpink) – dan getol menunjukkannya secara militan di media sosial.

Riset saya di Yogyakarta menawarkan jendela untuk memahami negosiasi tersebut, bahwa menjadi anak muda religius tidak melulu berarti anti-kesenangan.

Ini juga dibahas dalam tesis Aflahal Misbah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta. Ia secara khusus menelaah negosiasi semacam itu dalam komunitas anak muda Salafi – kelompok muslim yang dinilai puritan – di Yogyakarta.

Misbah menggunakan gagasan dari sosiolog Mark Blythe, Marc Hassenzahl, hingga Ben Fincham untuk memetakan kesenangan anak muda Salafi di ruang sosial. Ia menampik narasi dominan yang selama ini menganggap anak muda Salafi menentang kesenangan – padahal kenyataannya tidak. Sebagai manusia biasa mereka juga pelaku utama kesenangan.

Senada dengan semangat tersebut, saya tergerak untuk membaca fenomena sosial pada kasus para ukhti (sapaan pada perempuan dalam bahasa Arab) yang merupakan pecinta K-Pop.

Corak kesenangan generasi muda muslim

Membaca watak sosio-antropologis generasi terkini tidak lepas dari pengaruh iklim sosial-politik, pergulatan budaya populer di masyarakat, dan pola konsumsi keagamaan di Indonesia.

Pengamat dampak teknologi, Don Tapscott, menyajikan beberapa perbedaan sikap antara generasi Baby Boomer (lahir sekitar 1946-1964) dengan generasi muda yang lahir seputar bangkitnya internet (Milenial dan Generasi Z). Di antaranya aspek kebebasan, kustomisasi, integritas, kolaborasi, hiburan, kecepatan, dan inovasi.

Generasi muda muslim masa kini menunjukkan karakteristik tersebut, terutama dalam aspek “kustomisasi” dan penikmat “hiburan”.

Artinya, mereka menunjukkan identitas yang personal namun bercampur – biasanya kita sebut (hybridisation of identity) – sebagai hasil dari ‘negosiasi’ atau perpaduan berbagai budaya pasca globalisasi.

Potret kecilnya adalah munculnya ukhti-ukhti yang berpakaian tertutup, bahkan bercadar, taat secara religius dan tergabung ke kelompok hijrah, namun pada saat yang sama, mereka doyan menikmati drama Korea yang penuh adegan romantis dan bahkan menjadi penggemar K-Pop.

Ukhti sekaligus Army dan NCTzen

Salah satu responden dalam studi saya, misalnya, menjelaskan proses negosiasi internal yang terjadi dalam dirinya saat mengkonsumsi konten Korea. Sebut saja EAJ, seorang ukhti NCTzen di Banten, dan alumni UIN.

“Awalnya aku liat salah satu video musik, terus suka dengar musiknya, sama lihat orangnya,” ujarnya sembari tertawa kecil.

Kemudian ia melanjutkan, “Habis itu kenal member NCT Dream, Jeno sama Jaemin. Mereka ada acara gitu ‘survival’ ke Indonesia, jadi tukang mungut sampah, nyuci baju, kek yang keren gitu lho.”

“Kebanyakan orang mikirnya karna visual mereka yang ganteng-ganteng, tapi kalau udah kenal lebih dalem, bukan cuma itu yang bikin kita kagum.”

Ketika ditanya sebagai seorang perempuan Muslim yang mengagumi NCT Dream, EAJ merespons, “Kalau as muslimah sendiri, aku ngerasa fine aja sih. Yang penting jangan sampai berlebihan, tau waktu, tau batas lah ya.”

“Memang banyak ditemui fans yang kek ngabisin uang sama waktu buat idol. Beli album, merchandise, tiket konser [berharga] jutaan, dll. Jatuhnya impulsif dan nggak baik,” ujarnya.

Berkaca dari situ, ada beberapa motif yang melatari ukhti penggemar K-Pop mengaku dirinya sebagai Army atau NCTzen. Dua di antaranya adalah hiburan dan keteladanan.

Yang pertama, hiburan, meliputi unsur moodbooster (membuat suasana hati senang) dari segi produk musiknya, sampai ‘penyegaran visual’ dalam bentuk ketampanan para personel boyband.

Yang kedua, keteladanan, meliputi aspek kegiatan sosial yang dilakukan dan diperlihatkan oleh para idolanya. Membaca jawaban EAJ, hal ini sangat tampak dan dominan dalam proses negosiasi unik antara kesalehan dan kesenangannya.

Kajian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) terhadap penggemar BTS (Army) di Yogyakarta, menggambarkan bahwa pada kondisi tertentu, para penggemar K-Pop juga dapat beralih dari hura-hura seremonial menuju aktualisasi diri.

Sebagai suatu komunitas berbasis fandom (dunia penggemar), mereka dapat menjadikannya sebagai ruang temu untuk memperkaya pengetahuan, koneksi, dan pertukaran gaya hidup sampai bahkan produk ekonomi, seni, dan kegiatan filantropis.

Sebagai suatu wadah, komunitas penggemar K-Pop telah bertransformasi menjadi sejenis ‘fiksi’ (kalau meminjam istilah sejarawan Yuval Harari) atau ‘realitas intersubjektif baru’. Ia telah berfungsi sebagai sebuah realitas yang diakui ada, mampu menghubungkan banyak individu, dan membentuk ikatan – bahkan hingga para ukhti yang religius. Realitas ini lalu dihayati, dinikmati, dan memfasilitasi diskursus antaranggota dengan gaya yang unik.

Psikologi fandom, dengan demikian, secara positif dapat berfungsi sebagai perekat sosial, ajang aktualisasi diri, pemantik kesadaran sosial dan kepedulian kolektif.

Ke depannya, kita belum tahu evolusi kaum muda religius di Indonesia akan seperti apa – apakah semakin beragam dan menarik dalam mengadopsi budaya populer, atau justru semakin homogen dalam menafsirkan agama? Negosiasi antara kesalehan dan kesenangan ini patut untuk terus kita amati.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Muhammad Naufal Waliyuddin

Peneliti Youth and Religious Studies, kandidat Doktor Kajian Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!