Bikin Macet Kebebasan Berekspresi, Aktivis: Tolak Permenkominfo PSE

Para aktivis melakukan penolakan pada Peraturan Menteri Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) 5/ 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik atau PSE Lingkup Privat, karena pemerintah akan mencampuri urusan privasi, berhak memblokir secara sepihak dan mengancam kebebasan pers

Bukan cuma sekadar soal blokir-memblokir, tapi di luar itu ada potensi pelanggaran privasi digital, semua bisa kena pasal karet akibat multitafsir, sampai ancaman penyalahgunaan wewenang, pembunuhan kekebasan pers

Munculnya Peraturan Menteri Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) 5/ 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik atau PSE Lingkup Privat menimbulkan polemik dahsyat di tengah masyarakat.

Aksi penolakan terhadap Permenkominfo PSE ini dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil dilakukan di depan Kantor Menkominfo Minggu lalu. Remotivi misalnya menyerukan untuk menolak Permenkominfo ini karena media sosial, game online bisa kena blokir. Lalu platform digital juga bisa kena tak down jika menurut pemerintah dianggap meresahkan

Hashtag #ProtesNetizen yang diinisiasikan Safenet, organisasi regional untuk memperjuangkan hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara, meramaikan gerakan mendukung protes Permenkominfo 5/2020 tersebut di sosial media.  

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Alia Yofira, menyatakan Permenkominfo 5/2020 berpotensi memang bakal berdampak terhadap hak atas privasi akibat pemberian akses terhadap sistem elektronik (SE) dan/atau data elektronik. Salah satunya fungsi pengawasan, PSE lingkup privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 21 ayat 1). 

Menurutnya, definisi ‘pengawasan’ dalam Permenkominfo 5/2020 ini masih sangat luas. Pasal 21 ayat (1) menjelaskan bahwa ‘pengawasan’ dilakukan sesuai dengan per-Undang-undangan.

“Sayangnya, saat ini legislasi utama terkait perlindungan data pribadi (PDP) yang komprehensif yakni RUU PDP belum disahkan,” ujar Alia dalam media briefing yang diikuti Konde.co secara online, Kamis (21/7).

Selain itu, kata Alia, minimnya regulasi dan mekanisme pengawasan PDP menyebabkan potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi. Jika nantinya, Otoritas PDP yang didirikan berdasarkan RUU PDP disematkan sebagai bagian dari Kementerian/Lembaga (K/L) atau Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK).

“Otomatis Pemerintah akan mengawasi dirinya sendiri sehingga potensi abuse of power akan sangat tinggi,” lanjutnya.  

Tidak hanya K/L, Aparat Penegak Hukum menurutnya juga bisa minta akses terhadap sistem elektronik untuk ‘pengawasan’. Ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) 3 malah mengatur bahwa pemberian akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik untuk kepentingan pengawasan, tidak hanya diberikan kepada K/L namun juga untuk Aparat Penegak Hukum. 

Tidak ada kewajiban untuk meminta surat penetapan dari pengadilan negeri. Pasal 23 ayat (1) mengatur bahwa akses terhadap sistem elektronik untuk ‘pengawasan’ disampaikan secara tertulis berdasarkan pada penilaian atas kepentingan pengawasan dan proporsionalitas serta legalitas. 

Dirinya juga menyayangkan, jangka waktu yang sempit untuk memenuhi permintaan akses dalam Permenkominfo ini. Pasal 27 dan 31 mengatur bahwa PSE Privat harus memenuhi permintaan akses dalam 5 hari kalender. 

“Jangka waktu yang sangat sempit ini tidak memberikan waktu yang cukup bagi PSE Privat untuk menganalisa secara seksama apakah permintaan akses tersebut sudah sesuai dengan per- UU,” kata dia. 

Di samping itu, tidak pula ada mekanisme banding (appeal) dan hak subjek data untuk menerima notifikasi. Permenkominfo 5/2020 tidak membuka ruang bagi PSE Privat untuk melakukan banding atas permintaan akses yang masuk, pun hak-hak subjek data khususnya terkait hak atas notifikasi ketika datanya diminta untuk diakses oleh K/L dan/atau APH juga nihil. 

Dampak Penegakan Hukum Pidana hingga Pers

Poin kedua yang semestinya jadi sorotan adalah dampak akses untuk penegakan Hukum Pidana. PSE lingkup privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Aparat Penegak Hukum dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 21 ayat 2).

Menurut Alia, Permenkominfo ini akan berpotensi menjadikan tidak adanya kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri untuk akses terhadap ‘data elektronik’. 

“Pasal 32 hanya mengatur bahwa akses terhadap ‘data elektronik’ oleh APH untuk tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 2 tahun, tidak ada prasyarat untuk mendapatkan penetapan pengadilan terlebih dahulu,” terangnya.  

Sedangkan untuk akses terhadap ‘sistem elektronik’, dia melanjutkan, kewajiban untuk mendapatkan surat penetapan dari pengadilan negeri hanya berlaku bagi tindak pidana dengan ancaman pidana 2-5 tahun. 

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin menambahkan, penerapan Permenkominfo juga dikhawatirkan bisa berdampak pada keberlangsungan pers. Bahkan, menjadikan ancaman ruang demokrasi digital semakin menyempit. 

“Potensi sensor sangat besar,” kata Ade di kesempatan sama. 

Ade mencontohkan, Permenkominfo itu justru tidak sejalan dengan semangat perjuangan UU Pers. Misalnya saja kaitannya dengan mekanisme komplain pada media komunitas terkait pemberitaan yang dianggap “merugikan suatu pihak” dan “meresahkan” maka bisa meminta Kominfo untuk memutus. Menurutnya itu sangat mungkin terjadi penyalahgunaan wewenang terlebih apalagi digunakan oleh para pihak-pihak yang memiliki kuasa. 

“Potensi kesewenang-wenangan sangat besar. Membungkam ekspresi. Potensi abusenya tinggi,” ujarnya. 

Terkait proses pemeriksaan PSE, Ade juga menilai adanya tidak transparan. Tidak ada mekanisme pembelaan diri. Jika dalam konteks pers, tentu saja berbeda dengan peraturan yang berlaku yang memberikan mekanisme pers untuk memberikan hak jawab. Aturan ini selanjutnya bisa berpotensi untuk “membungkam” media-media yang kritis alternatif namun tak memiliki syarat tertentu sebagai media yang “dianggap kredibel”.

“Media yang misalnya belum terdaftar badan hukum, tidak terdaftar dewan pers, dia bisa kena,” pungkasnya. 

AJI Indonesia mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membatalkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat. AJI menilai aturan tersebut menjadi ancaman baru bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.

Sejak regulasi tersebut terbit pada 2020, Koalisi Advokasi Permenkominfo 5/2020 telah meminta agar Kominfo membatalkan aturan tersebut. Pada 21 Mei 2021 misalnya, 25 organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengirim surat terbuka agar Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G.Plate mencabut beleid itu.

“Tapi ternyata Kominfo tidak mau mendengarkan aspirasi publik. Padahal Permenkominfo 5/2020 akan berdampak luas pada publik, termasuk komunitas pers,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, Kamis 21 Juli 2022.

Sebelumnya, Kominfo memberi batas waktu pada seluruh PSE agar mendaftar paling lambat 20 Juli 2022. Jika tidak, Kominfo mengancam akan memberikan sanksi administratif hingga pemutusan akses atau pemblokiran terhadap platform maupun situs.

Ketentuan PSE tersebut tidak hanya untuk platform media sosial besar seperti Google, Meta Group, Tiktok,  tapi juga berlaku untuk situs-situs berita. AJI menilai beleid tersebut tidak hanya persoalan administratif semata, melainkan sebagai upaya agar PSE tunduk pada ketentuan Permenkominfo 5/2020. “Penundukan ini artinya memberikan pintu bagi Kominfo dan institusi pemerintah lainnya untuk mengawasi dan menyensor,” kata Sasmito.

Aliansi Jurnalis Independen/ AJI Indonesia mengidentifikasi 4 (empat) pasal krusial di dalam Permenkominfo 5/2020 yang berisiko mengancam kebebasan pers secara langsung di Indonesia. Pertama, Pasal 9 ayat (3) dan (4) yang memuat ketentuan PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang. Kriteria informasi dilarang tersebut meliputi yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.

Kriteria “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” tersebut cukup lentur atau karet karena membuka ruang perdebatan, terlebih lagi jika menyangkut konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum. Apalagi di dalam Permenkominfo tersebut tidak diatur klausul yang ketat mengenai standar, tidak melibatkan pihak independen yang berwenang untuk menilai konten, dan tidak memuat klausul soal mekanisme keberatan dari publik.

Dampaknya, bisa jadi berita dan konten yang mengungkap soal isu pelanggaran HAM seperti di Papua, pada kelompok LGBTQ atau liputan investigasi yang membongkar kejahatan, bisa dianggap meresahkan, mengganggu, atau dinilai hoaks oleh pihak-pihak tertentu, bahkan oleh pemerintah dan lembaga penegak hukum. Pengaturan yang karet/lentur dalam Permenkominfo 5/2020 justru menjadi pintu masuk penyalahgunaan kekuasaan atau kesewenang-wenangan.

Kedua, Pasal 14 mengatur permohonan pemutusan akses atau blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat, kementerian/lembaga, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Ketentuan ini berisiko membuka pintu bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki agenda politik, dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang sebenarnya memuat kepentingan publik, tapi dinilai sepihak meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum.

Ketiga, Pasal 21 dan Pasal 36 memuat ketentuan PSE wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke APH untuk penegakan hukum. AJI menilai ketentuan ini berisiko menjadi pintu bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media. Pemerintah dan aparat dengan mudah bisa mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk pada jurnalis-jurnalis yang menjadi target.

Ketua Bidang Internet AJI Indonesia, Adi Marsiela mendesak agar Dewan Pers menolak beleid ini karena meningkatkan risiko serius pada jurnalis dan media. “Dewan Pers harus ikut turun tangan meminta Kominfo membatalkan Permenkominfo 5/2020,” kata dia.

Selain itu, Adi mengimbau jurnalis mulai meningkatan kesadaran terkait privasi dan keamanan digital. Salah satunya dengan mempelajari kerentanan penggunaan platform atau aplikasi sejak awal. Karena sebelum Permenkominfo 5/2020 berlaku, kerentanan dan risiko itu sudah ada. Risiko tersebut semakin besar saat ini, karena Permenkominfo tersebut mewajibkan seluruh PSE memberikan akses ke lembaga dan kementerian untuk pengawasan.

Menyoal dampak luas #semuabisakena, sebelumnya, Remotivi juga sempat menyoroti beberapa hal soal Permenkominfo 5/2020 di antaranya, dampak aturan itu bukan cuma medsos yang kena. Pasal 1 ayat 5-7 definisi PSE bukan cuma aplikasi medsos saja, tapi juga game online, situs belajar, dan lainnya. Entah milik perorangan, badan usaha atau masyarakat. 

Platform digital juga bakal sering dihapus konten. Pasal 11 poin c: platform digital tidak akan dikenai sanksi pemutusan akses kalau sudah melakukan pemutusan akses pada konten yang dilarang. Aturan ini akan mendorong platform digital rajin menghapus konten2nya agar tak kena semprit. 

Platform digital wajib hapus konten dalam 1×24 jam. Pasal 14: platform digital wajib hapus konten dalam 1×24 jam sejak dikontak Menkominfo. Untuk konten mendesak, harus dihapus dalam tempo 4 jam.

Kalau tidak, Menkominfo akan meminta provider untuk memblokir akses ke platform digital tersebut. Kalau platform digital tidak menghapus, akan kena sanksi denda (diatur dlm peraturan terpisah).

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!