Produksi Pengetahuan di Indonesia Minim Perjuangkan Feminisme

Produksi pengetahuan di Indonesia dibanjiri teks patriarki dan seperti sengaja menghilangkan keberadaan perempuan. Ini sangat jauh dari perjuangan feminisme.

Jika kamu memasuki Sekolah Dasar (SD) di era tahun 80-an, pada buku pelajaran Bahasa Indonesia, disana perempuan digambarkan sebagai seorang ibu yang menggunakan kebaya. Tugasnya memasak di dapur dan menyajikan makanan untuk suami dan anaknya.

Gambaran perempuan tersebut identik dengan perempuan Jawa, tampilan itu juga yang dilihat oleh para anak perempuan yang berada di timur Indonesia. Begitulah gagasan visual tentang perempuan Indonesia terinternalisasi selama ini, di bagian barat hingga timur Indonesia

Sekolah merupakan bagian penting dari produksi pengetahuan, namun sayangnya selama ini tidak dapat memberikan produksi pengetahuan feminis.

Dalam pelajaran sejarah misalnya, negara melakukan upaya menistakan dan menghilangkan organisasi perempuan, Gerwani. Ini menunjukkan bahwa negara tidak seharusnya berpolitik. Di masyarakat, saat ini contohnya ada all male panels yang tidak menyertakan narasumber perempuan yang jumlahnya masih sangat banyak. Maka jika hal seperti ini dibiarkan, jejak perjuangan perempuan akan hilang begitu saja.

Untuk itu di Indonesia kita harus meretas, memetakan produksi pengetahuan yang ada, bukan hanya dari tulisan tetapi dari yang lain. Penting bagi kita belajar dari perempuan yang melawan dari daerah lain, melihat feminisme dari Aceh sampai Papua karena kondisi yang mereka alami berbeda.

Hal ini diungkapkan Intan Paramaditha penulis dan Senior Lecturer Kajian Media dan Film dari Macquarie University saat menyampaikan pandangannya tentang: bagaimana pengetahuan diproduksi dan berjalan feminis?. Intan menyatakan ini dalam diskusi memperingati ulang tahun LETSS TALK pada Sabtu, 24 September 2022 secara online.

Martha Hebi penulis buku “Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998” bercerita bagaimana sejarah kemudian meminggirkan para perempuan di Indonesia Timur.

Ini berawal dari ia yang menyadari bahwa potret pahlawan perempuan Indonesia hanya ada beberapa orang saja. Lalu Martha Hebi mulai bertanya-tanya.

“Siapakah perempuan yang dipilih oleh negara di Sumba sebagai pahlawan? Jikapun terpilih oleh negara, biasanya perempuan itu dari kelas atas, punya strata sosial tinggi, baik dari orang tua atau suaminya.”

Sebuah program yang digelar Wikimedia bertajuk Cipta Media Ekspresi yang ia ikuti kemudian membuka peluang untuk membebaskan siapapun untuk bekerja. Martha Hebi menelusuri dan mencatat tentang kondisi perempuan “biasa” yang menurutnya setara kerja kerasnya dengan perempuan yang dipampangkan sebagai pahlawan nasional.

Ia menuliskan tentang Tamu Rambu Margaretha, seorang bangsawan yang melawan praktik perbudakan tradisional dengan membebaskan masyarakat melalui pendidikan.

“Walau berasal dari bangsawan mengapa saya pilih dia, karena dia menggunakan kuasanya sebagai bangsawan untuk memerdekakan hambanya. Karena hamba selama ini dijadikan trah ketetapan turun-temurun sebagai keluarga hamba atau budak.”

Martha saat itu belum terlalu jauh mempelajari teori-teori feminisme. Namun ia mencatat perjuangan para perempuan ini berdasarkan kerja nyata mereka tanpa mengaitkan dengan teori feminisme yang ada. Martha juga melakukan penelusuran dengan mendatangi acara mete-mete, yaitu acara berkumpul bersama untuk melepas kepergian keluarga atau tetangga yang meninggal.

Dalam kesempatan itulah masyarakat saling bercerita dan Martha dapat menggali informasi tentang mama-mama atau ibu-ibu sebagai perempuan yang tidak biasa di Sumba. Martha menemukan para perempuan ini menggunakan siasat dalam perjuangannya, bagaimana mereka menggunakan ketertindasan mereka untuk mempengaruhi kebijakan.

Contohnya yang dilakukan oleh Kati Hary Radjah, beliau mendobrak dominasi patriarki dalam tubuh gereja tentang pendeta perempuan. Mama Kati berjuang dari rumah yang jauhnya 60 km menunggangi kuda dan tanpa alat komunikasi mendulang dukungan untuk perempuan agar dapat menjadi pendeta. Hal ini kemudian menjadi inspirasi Gereja Protestan di Belanda.

Martha Hebi menuliskan kisah 15 perempuan mewakili berbagai isu seperti kawin tangkap, janda yang harus menikah lagi dengan saudara dari almarhum suaminya, kepercayaan Marapu yang disingkirkan, dan isu-isu lainnya dalam buku tersebut.

Produksi Pengetahuan Feminis Muslim dan Penyandang Disabilitas

Aktivis dan akademisi, Profesor Nina Nurmila, Ph.D dalam diskusi ini juga menjabarkan bagaimana produksi pengetahuan Feminis Muslim di Indonesia. Menurutnya feminisme itu sejalan dengan Islam.

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, demikian juga dengan feminisme yang berusaha mencapai keadilan gender.

“Feminis muslim seperti saya percaya bahwa Allah Maha Adil, sehingga tidak mungkin Allah mendukung ketidakadilan. Feminis muslim berutang pada critical thinking, ditemukannya istilah gender yang membedakan sesuatu yang kodrati dan bukan kodrat, dalam hal ini apakah kita dapat menganggapnya sebagai produk kolonisasi? Produksi pengetahuan feminis Muslim berfokus pada reinterpretasi sumber ajaran Islam yang sering ditafsirkan dalam senter patriarki.”

Dr. Ishak Salim, MA pendiri Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) dalam kesempatan di diskusi kali ini menyampaikan jika terkait nasib penyandang difabel, cara pandang yang harusnya digunakan adalah dengan disabilitas kritis, di mana dalam masyarakat kita hidup disebut ableisme atau abelisme dalam bahasa Indonesia.

Ableisme mengutamakan kelompok yang sehat jasmani dan rohani, ketimbang masyarakat yang dikategorikan sebagai sakit, abnormal, dan memiliki gangguan kejiwaan. Abelisme ini akan berdampak pada kelompok yang tidak diutamakan menjadi marginal dan miskin.

JIka bertanya pada produk pengetahuan tentang disabilitas, di buku pelajaran sangat minim, bahkan jika ada orang dengan disabilitas digambarkan sebagai penderitaan.

“Tidak ada gambaran seorang Ayah yang bekerja dengan menggunakan kursi roda, misalnya. Sistem pendidikan Indonesia bahkan segregatif dengan memisahkan anak normal bersekolah di sekolah reguler, dan yang mengalami kecacatan di Sekolah Luar Biasa (SLB), pemisahan ini membuat orang disabilitas tidak hidup bersama orang tanpa disabilitas.”

Dalam media, film misalnya jika ada aktor yang memerankan disabilitas, tidak mencerminkan keseharian sesungguhnya dari orang disabilitas. Aktor yang memerankan tokoh buta tidak merepresentasikan cara hidup orang buta. Atau aktor Bolot, tidak merepresentasikan orang tuli yang sesungguhnya.

“Akibatnya orang dengan disabilitas harus berdamai dengan infrastruktur yang abelis, seperti trotoar atau lampu lalu lintas yang tidak berbunyi bagi orang buta misalnya.”

Dr. Ishak Salim menjelaskan bahwa di PerDik, mereka telah mempertemukan disability and sexuality yang menjelaskan kerentanan perempuan disabilitas untuk menerima kekerasan seksual. Penting bagi kita semua untuk memahami abelisme untuk memutus perilaku tersebut dimanapun kita temui. Jika Anda seorang feminis, namun abai terhadap disabilitas, maka Anda disebut Feminis Abelis, bebernya.

Representasi Perempuan dan LGBT

Abby Gina Boangmanalu, Direktur Eksekutif dan Pemimpin Redaksi Jurnal perempuan turut hadir dalam acara Letss Talk ini juga memaparkan bahwa Jurnal Perempuan hadir sebagai respons atas kegelisahan diskursus tentang feminisme yang masih jarang dan asing baik di kalangan umum maupun akademik.

Berfokus pada riset publikasi dan pendidikan publik, riset aktif artinya bertujuan untuk melakukan perubahan sosial. Sebagai alat advokasi, alat untuk mendesak sebuah kebijakan. Dalam prosesnya sering menemui anggapan sebagai produk akademik yang bersifat eksklusif, namun Abby menjelaskan perjuangan dari akademik maupun aksi harus saling beriringan bukan bernegasi. Produk Jurnal perempuan berupa kajian, sahabat jurnal perempuan, diskusi publik, dokumenter, radio jurnal perempuan mengusahakan perempuan yang berjuang di akar rumput untuk hadir dalam diskusi publik.

Hendri Yulius Wijaya penulis dan Co-editor Queer Southeast Asia juga berbicara tentang queer Indonesia, siapa yang direpresentasikan? Ketika misalnya gay dan lesbian sudah dianggap sebagai masyarakat normatif, maka definisi queer akan mencari lagi mana yang anti normatifitas. Karena definisi queer adalah anti normatifitas.

Hendri memaparkan untuk produk pengetahuan queer, siapa yang bisa melegitimasi pengetahuan queer.

“Apakah harus mengutip queer yang lebih mapan di Amerika misalnya. Apakah universitas kita sudah menerima kajian queer, diskusi queer, ada memang beberapa kampus yang sudah membuka diri terhadap queer. Siapa yang bisa mengakses teks atau ilmu pengetahuan terhadap literatur perkembangan queer di luar negeri, karena literatur tersebut kebanyakan dalam bahasa Inggris, masih jarang dan harga yang tinggi?”

Paparan di atas disajikan sebagai bagian dari acara perayaan ulang tahun yang kedua LETSS TALK. Diah Irawaty, Founder LETSS TALK menjelaskan jika LETSS TALK memang didirikan dari keresahan bersama tentang isu di Indonesia yang masih dianggap sensitif dan tabu, seperti kekerasan seksual, membuka ruang aman untuk saling berbagi tentang feminisme, interseksional, opresif dan ketidakadilan lainnya bagi kelompok marginal.

Menggunakan pendekatan feminis interseksionalitas untuk menyuarakan di ruang publik, aktivisme akademik untuk mengembangkan gerakan feminisme diharapkan membangun tradisi akademik yaitu kebebasan berpikir dan critical thinking.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!