6 Hal Yang Tidak Boleh Kamu Lakukan Dalam Menangani Pelecehan Seksual

Mempertemukan korban dengan pelaku atau menganggap pelecehan seksual adalah masalah sepele adalah hal yang harus kamu buang dari pikiranmu ketika kamu menyelesaikan persoalan korban. Jika kamu melakukan seperti ini, maka ada yang salah dengan otakmu.

Menjadi korban pelecehan seksual dan diabaikan? Ini kondisi yang pasti sulit untuk kamu terima. 

Setelah menerima pelecehan seksual, perempuan juga sering mendapat respon sinis dari orang sekitar, sehingga makin menambah trauma dan kekecewaan. Seperti yang banyak dialami para perempuan. Kurangnya empati terhadap perasaan dan pengalaman perempuan merupakan salah satu alasan dari penanganan yang salah terhadap kasus pelecehan. 

Sebagai manusia, sebenarnya kita memiliki kemampuan tanpa batas untuk merasakan empati terhadap orang lain. Empati erat kaitannya dengan kecerdasan, wawasan, dan kemampuan mendengarkan orang lain dengan kepekaan. Karena kekhawatiran akan mendapatkan respon yang buruk ketika mengadu, banyak perempuan kemudian memilih diam dan membiarkan pelecehan terus terjadi kepadanya. 

Idealnya perusahaan atau lingkungan kerja sudah memiliki kebijakan anti pelecehan dan anti diskriminasi yang dirancang dengan cermat. Kasus pelecehan yang tidak ditangani dengan baik dan serius mungkin saja akan membuat lembaga atau perusahaan mendapat masalah yang lebih besar lagi, yaitu sanksi sosial dan penolakan dari masyarakat yang menganggap lembaga atau perusahaan tersebut tidak peduli akan keselamatan anggotanya.

Diperlukan penanganan yang cermat apalagi jika berhadapan dengan pelaku yang arogan dan manipulatif. 

Berkaca dari pengalaman ini, sangat penting bagaimana menghadapi respon yang tidak berpihak pada korban, berikut hal yang sebaiknya tidak Anda lakukan kepada korban yang mengalami pelecehan seksual:

1.      Menunggu Laporan dari Banyak Korban? Kuno, Ini Kelamaan

Menerima laporan korban namun sambil berkata bahwa akan kami proses setelah ada laporan yang sama dari korban lain tentu akan menambah panjang masa trauma korban. Korban tidak dapat menjalankan aktivitas normalnya karena pikirannya selalu merasa gelisah, marah dan lelah akibat proses yang lama, seperti yang saya rasakan sendiri.

Perusahaan harusnya segera menyelidiki laporan. Apakah laporan  dari satu orang saja tidak cukup berharga? Bukankah setiap manusia berhak untuk mendapat rasa aman. Kenapa harus menunggu korban-korban lainnya dan baru menjadikan aduan itu valid untuk mendapat perhatian? Jika pun ada orang yang mengalami pelecehan yang sama, belum tentu ia mau melaporkannya.

2.      Mempertemukan pelaku dengan korban dan menyuruh berdamai? Ini Membuat Trauma 

Korban yang disuruh berdamai dengan pihak yang bersengketa sebaiknya tidak diterapkan dalam permasalahan pelecehan. Mempertemukan pelaku dengan korban sama saja dengan menambah penderitaan korban.

Perlu diketahui, bahwa dalam kasus pelecehan, korban dilarang dipertemukan dengan pelaku, karena ini bukanlah seperti mendamaikan anak-anak yang bertengkar, atau dua orang dewasa yang berselisih paham. Kasus pelecehan sangat berbahaya jika selama dalam proses investigasi, korban dan pelaku masih berada di lingkungan yang sama. Apalagi sengaja dipertemukan untuk alasan untuk mediasi atau investigasi. Perusahaan wajib melakukan penyelidikan secara terpisah dan rahasia. Pelaku juga jangan sampai memperoleh informasi kronologi yang diberikan korban.

Perusahaan harus meyakinkan korban sejak awal bahwa pengaduan akan ditangani dengan serius, dan korban berada dalam lindungan selama proses dilaksanakan. Instruksikan pelaku untuk tidak menghubungi korban terkait pengaduan, dan tidak melakukan tindakan mengancam atau membalas korban karena telah berani mengadukan dirinya.

 3.      Menyebut bahwa pelecehan hanya persepsi yang berlebihan? Ini Melanggar Aturan

Masih saja orang-orang banyak bertahan dengan pengetahuan lama bahwa suatu kasus disebut pelecehan ketika terjadi sentuhan fisik atau kata-kata yang berbau seksual saja. Padahal Komnas Perempuan menyebutkan,pelecehan dapat berupa mengajak pergi dengan cara yang memaksa, mengirimkan pesan dan telepon yang mengganggu, menyampaikan lelucon dan kata-kata yang tidak pantas, memaksa seseorang melakukan hal yang tidak diinginkannya seperti meminta rekan kerja perempuan untuk tersenyum tanpa alasan. 

Beberapa pelaku mungkin menganggap bahwa apa yang mereka lakukan tidak salah, karena mereka cuma berupaya mengajak dan menggoda korban, serta menganggap itu hal yang wajar dilakukan sebagai laki-laki sebagai pihak yang dilabeli pengejar perempuan contohnya. Mereka tidak dapat menangkap sinyal penolakan halus sampai tegas dari korban. Dan masih terus meneruskan aksinya yang tidak sopan dan keterlaluan sehingga membuat korban ketakutan dan tidak nyaman. Didukung pula oleh nilai sosial yang menganggap bahwa hal tersebut wajar dan biasa saja, dan korbanlah yang berlebihan menanggapinya, alias kegeeran.

4.      Menyuruh korban diam dan melupakan kejadian yang dialami? Tidak Bisa

Mengabaikan aduan korban dengan komentar seperti, “Oh, ayolah. Saya yakin dia tidak bermaksud apa-apa,” 

Menganggap tindakan pelaku hanya candaan, atau harusnya korban senang karena pelaku naksir korban, serta respon lain yang membuat korban merasa kecil dan harus mengalah. 

Hargai korban yang telah berani mengadu karena artinya ia telah melakukan hal yang benar. Tidak heran jika seseorang memilih untuk tidak mengadukan pelecehan di tempat kerja karena mereka tidak mempercayai akan mendapat respon proses yang tepat.

Buatlah situasi yang nyaman untuk korban menceritakan kejadiannya. Meskipun penting untuk mendapatkan semua detail, jangan mendesak korban dengan pertanyaan yang tidak perlu atau berulang. Cara terbaik untuk menerima aduan adalah dengan membiarkan korban menjelaskannya dengan kata-katanya sendiri. Atau memberi pilihan kepada korban untuk menulis kronologinya jika ia merasa lebih nyaman demikian.

5.      Meragukan Cerita Korban dan Menganggap Korban Tidak Good Looking? Artinya Kamu Tidak Paham Pendampingan Korban

Menyebut korban mengarang cerita karena mungkin ia tidak dianggap sebagai standar rupawan adalah hal bodoh. Preferensi bahkan fetish setiap orang itu berbeda-beda, dan semua orang berhak melapor atas tindakan tidak mengenakkan yang dialaminya. Jangan malah menghinanya tidak mungkin menerima pelecehan dan menganggapnya berbohong untuk mencari perhatian saja.

Atau menganggap seseorang berbohong karena setelah bertahun-tahun baru sekarang melaporkan kasus pelecehannya. Menilai dengan asumsi sendiri karena seharusnya korban langsung bereaksi dan melapor begitu dilecehkan. Justru hal ini menjadi bukti bahwa trauma korban tidak mudah hilang bahkan setelah bertahun-tahun.

6.      Keengganan untuk menghukum pelaku

Hal ini bisa saja disebabkan karena posisi pelaku lebih tinggi daripada korban, pelaku memiliki nama dan citra yang baik, atau organisasi takut dengan pelaku.

Perusahaan malah menawarkan solusi untuk memutasi korban ke cabang atau divisi lain, bukannya menurunkan jabatan atau memecat pelaku, karena mereka khawatir pelaku akan menuntut. Dan akhirnya korban masih melihat pelaku pelecehan bebas berkeliaran dengan ceria, sementara korban harus menutup diri dan menghindari pelaku.  Korbanpun menyadari bahwa ia telah kalah, lalu menjadi putus asa atau frustrasi  dan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya.

Korban hanya menginginkan pekerjaan mereka kembali seperti sediakala sebelum mengalami pelecehan, pelaku dihukum, atau memperbaiki kondisi kerja dengan kebijakan penanganan pelecehan yang lebih baik dari tempat kerja, agar kejadian seperti itu tidak pernah terulang lagi. Korban hanya ingin belajar dengan tenang (jika di sekolah), bekerja dengan tenang (jika di tempat kerja), dan berkarya dengan tenang (jika di organisasi atau komunitas).

Sungguh sangat berisiko apabila organisasi atau perusahaan tetap memelihara dan melindungi predator berbahaya dalam lembaganya.

Mari Ciptakan Lingkungan Yang Aman

Jika hal-hal di atas masih terjadi dalam memberikan respon dan solusi kepada korban, maka banyak dampak bukan hanya kepada korban, tapi juga lingkungan internal dan citra organisasi atau perusahaan yang tidak memiliki kapabilitas untuk bersikap tegas terhadap predator dalam lingkungannya. Setiap orang harus dapat hidup dan bekerja tanpa takut menghadapi kekerasan atau pelecehan.

Ika Ariyani

Kontributor Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!