Terduga Pelaku Pelecehan Jadi Juri Festival Film Indonesia, Aktivis Perempuan Desak Ada Kode Etik Film

Terduga pelaku pelecehan seksual menjadi juri Festival Film Indonesia (FFI) 2022, protes atas kondisi ini dilakukan di media sosial, aktivis perempuan desak FFI tegas tegakkan kode etik.

Platform petisi online Change.org belum lama ini mengunggah ajakan publik untuk menyuarakan pendapat, sekaligus mengumpulkan dukungan memulai petisi soal “Terduga Kasus Kekerasan Seksual Jadi Juri Piala Citra”

Ajakan memulai petisi itu, berkaitan dengan munculnya nama kru film Penyalin Cahaya yang jadi pelaku dugaan pelecehan seksual, masuk jadi juri Piala Citra FFI 2022. 

Padahal usai kasus dugaan kekerasan seksual tersebut viral pada Januari tahun 2022 lalu, Rekata Studio dan Kaninga Pictures selaku rumah produksi Penyalin Cahaya telah memutuskan untuk menghapus nama kru film terduga pelaku pelecehan seksual berinisial HP itu dari kredit dan materi-materi publikasi film yang dibintangi Shenina Cinnamon tersebut.  

“Bukannya perfilman Indonesia seharusnya aktif menyuarakan anti kekerasan seksual di industri dan seluruh ekosistem perfilman? Lantas mengapa memberikan ruang kepada terduga pelaku?” tulis Change.org, beberapa hari lalu. 

Ratusan orang menyukai unggahan itu dan tak sedikit yang berkomentar di postingan di laman instagram itu. Banyak yang menyayangkan dan mengkritik pihak penyelenggara FFI 2022 sebagai ajang penghargaan nomor satu di bidang perfilman Indonesia, namun masih mempercayakan HP sebagai juri. 

Konde.co kemudian melihat situs resmi Instagram Festival Film Indonesia (@festivalfilmid), lalu menemukan salah satu postingan yang memuat daftar nama akademi citra juri nominasi FFI 2022. Di deret nama itu ada nama kru film Penyalin Cahaya yang jadi terlapor dugaan pelecehan seksual yang ramai setahunan lalu, HP, yang masuk di antara 89 orang. 

“Mereka adalah para peraih Piala Citra, yang berperan aktif dalam menentukan Nominasi sesuai dengan kategori yang pernah diraihnya. Saat ini, tercatat ada 89 anggota Akademi Citra yang turut memberikan hak suaranya dalam penjurian,” tulis FFI dalam caption unggahan di @festivalfilmid.

Sampai sekarang, nama HP masih bertengger dalam barisan nama juri Piala Citra dalam FFI 2022. Tak ada unggahan klarifikasi atau apapun yang menyinggung soal terduga pelaku pelecehan seksual yang jadi juri pada acara yang bakal digelar pada pertengahan November 2022 mendatang itu.

Aktivis perempuan dan pembuat film dokumenter, Olin Monteiro, berpendapat soal itu bahwa dirinya tak setuju jika ada salah satu terduga pelaku pelecehan seksual bisa menjadi juri di Piala Citra. 

“Tentu tidak setuju ada juri yang tertuduh kasus (pelecehan seksual–red). Katanya, alasannya karena kasus tidak dilaporkan dan korban belum setuju kasus ini diramaikan. Yang betul adalah, FFI ada kode etik terkait juri yang ikut. Sekarang belum sepertinya,” kata Olin dihubungi Konde.co, Kamis (27/10). 

Olin menyambut baik adanya inisiasi ajakan memulai petisi tersebut. Namun menurutnya, persoalan yang menyangkut isu pelecehan dan kekerasan seksual di dunia perfilman ini memang tak mudah mengurainya. Sebab, ini juga menyangkut soal konstruksi sosial. 

“Petisi ini hanya bisa mengingatkan tapi aku tidak yakin bisa mengubah budaya yang ada. Tidak segampang itu untuk kamu membatalkan juri,” imbuhnya. 

Olin lantas mendesakkan mesti adanya kode etik yang diterapkan oleh panitia Piala Citra FFI 2022 ini untuk memastikan juri yang dipilih agar tidak ada pelaku kekerasan seksual di dalamnya. Tak kalah penting, kode etik itu juga harus disosialisasikan di seluruh insan perfilman. 

“Baik juga dikontrak kerja filmmaker atau pekerja film mengenai hal ini. Jadi dari awal sudah jelas tidak boleh pekerja film melakukan kekerasan seksual. Itu baru bisa mengubah kondisi industri,” ucapnya. 

Sampai berita ini tayangkan, Konde.co sudah menghubungi pihak sekretariat dan tim penjurian Piala Citra FFI 2022. Namun, hingga kini belum ada respons menanggapi isu terduga pelaku pelecehan seksual yang masuk sebagai juri Piala Citra 2022. 

Sulitnya Bicara Isu Pelecehan dan Kekerasan Seksual di Perfilman

Dalam talkshow berjudul Wajah Kekerasan Seksual dalam Industri Film Indonesia yang diadakan Konde.co dan LETSS TALK (16/10) lalu, Olin menyebut memiliki banyak data soal kekerasan dan pelecehan seksual yang selama ini terjadi di industri film Indonesia. Namun, tak banyak yang mau bersuara.

Selama ini, Olin telah banyak melakukan survei soal ini di industri film. Saat bekerja di Yayasan SET di awal-awal tahun 2000 an misalnya, Olin juga melihat banyak aktris, pekerja film yang mengalami pelecehan seperti catcalling.

Survei yang pernah Olin Monteiro lakukan terhadap 120 orang baru-baru ini, dari yang mengisi form, ada setidaknya 98 orang yang mengaku mengalami kekerasan seksual. Kekerasan seksual ini mereka alami mulai dari saat casting, misalnya disuruh buka baju, diraba, mendapat body shaming. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat fantastis karena banyaknya jumlah korban.

“Seperti dikatain, kamu gemuk ya, ini yang termasuk pelecehan verbal. Mereka melapor kepada produser atau sutradara baik film atau sinetron, namun mereka tidak mendapat perlindungan. Kamu jangan ribut-ribut deh, masak karena gitu aja kamu bawel.”

Pelecehan seksual di perfilman ini memang seolah dianggap biasa, dianggap bercandaan saja di industri film ini. 

Olin menjelaskan, baru beberapa organisasi atau perusahaan film yang sudah memiliki kebijakan untuk mencegah kekerasan seksual. Dari kasus kekerasan seksual yang melibatkan salah satu kru film Penyalin Cahaya juga menjadi contoh fakta bahwa ada iklim yang tidak kondusif dalam dunia film. Sementara itu, ada 2 (dua) Production House yang mensosialisasikan tentang penanganan kekerasan seksual, agar pemain atau kru yang mengalami segera melapor kepada produser atau sutradara yang kedepannya mungkin dapat dijadikan model bagi PH-PH yang lain.

Namun situasinya, biasanya korban pelecehan dan kekerasan seksual di film ini masih “sulit” untuk bicara. Mereka hanya sekadar berani membicarakan pelecehan yang dialaminya kepada teman dekatnya saja karena mungkin takut tidak lagi mendapatkan job di film atau kontraknya tidak diperpanjang.

Olin tetap menghormati keputusan korban untuk tidak menyebarkan hal tersebut karena tidak mengenakkan yang mereka alami. 

Di satu sisi, hal yang menggembirakan baginya, generasi sekarang sebetulnya sudah lebih terbuka untuk bicara dan progresif.

“Generasi sekarang lebih outspoken dan progresif. Lisa Bona Rahman dan Jonatan Pasaribu melakukan gerakan dalam Kampanye Sinematik Gak Harus Toxic, melakukan gerakan ketika ada volunteer yang dianggap cantik mendapat ajakan kencan dengan iming-iming menjadi moderator misalnya, dan lumayan banyak yang bersuara dan membela korban,” kata Olin Monteiro.

Menurut Olin, sudah banyak kerjasama gerakan perempuan dan industri film. Olin menyarankan dibentuk komisi khusus atau dewan etik untuk mengawasi kasus kekerasan seksual, abuse, bullying di dunia seni untuk menciptakan ekosistem bebas dari kekerasan seksual.

Jaminan Perlindungan bagi Korban, Jangan Gentar Bersuara! 

Koordinator Advokasi Nasional LBH Apik, Ratna Batara Munti, menyampaikan dalam konteks sulitnya speak up korban pelecehan dan kekerasan seksual di perfilman, maka sebetulnya diperlukannya solidaritas insan perfilman untuk membentuk komunitas film yang saling peduli terkait kasus ini. 

Mereka bisa mendorong institusi terkait di perfilman untuk bikin kode etik atau SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. 

“Ini bagian dari implementasi UU TPKS oleh sektor pemerintah maupun swasta atau korporasi,” kata Ratna kepada Konde.co, Rabu (26/10). 

Ratna menjelaskan, UU TPKS (Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) No 12/2022 yang sudah ditetapkan kini, diharapkan bisa memberikan para korban untuk mendapatkan hak-haknya. 

Kasus pelecehan dan kekerasan seksual tersebut harus diproses hukum, supaya pelaku mendapatkan sanksi hukum sesuai perbuatannya, disamping itu hakim bisa menjatuhkan pemberian tindakan, berupa  rehabilitasi  bagi pelaku. Ini semua sudah diatur dalam UU TPKS tersebut. 

“Oleh sebab itu, saya berharap masyarakat yang mengetahui, bisa membantu korban agar bisa melaporkan kasusnya, dan mendapatkan hak-haknya atas  perlindungan dan pemulihan,” katanya. 

Dia menambahkan, UU TPKS juga menegaskan tidak akan ada penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali pelaku adalah Anak (pasal 23). Apalagi diselesaikan dengan menikahkan pelaku dengan korban. Ini bisa masuk kategori tindak pidana KS berupa pemaksaan perkawinan. 

“Karena korban jelas trauma dan tidak mungkin ingin bersatu dalam satu rumah dengan pelaku yang sudah membuat dia akan semakin trauma,” imbuhnya. 

Lalu, bagaimana jika korban pelecehan atau kekerasan seksual speak up di medsos? 

Untuk menjaga keamanan korban, Ratna mengingatkan untuk tidak speak up dengan menyebutkan nama pelaku dengan terang. Cukup inisialnya saja. 

Dia bilang, jika korban curhat di medsos dalam rangka pembelaan atau kepentingan umum, maka tidak dapat dipidana berdasarkan pasal ayat 4 UU TPKS.

Aktivis perempuan itu menyampaikan, agar siapapun yang mengetahui, melihat dan/atau menyaksikan  kasus kekerasan seksual dapat melaporkan ke UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), Kepolisian atau ke Lembaga layanan berbasis masyarakat. Jadi tidak harus menunggu korban yang melapor (pasal 39 UU TPKS)

Maka siapapun yang mengetahui ada korban sedapatnya membantu korban untuk mendapatkan informasi mengenai hak-haknya, membantu mendapatkan pendampingan ke lembaga-lembaga layanan yang dibutuhkan. Korban berhak didampingi. 

Saat ini, sudah hampir semua provinsi telah ada layanan UPTD PPA untuk korban kekerasan seksual. UPTD PPA ini memiliki tugas untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional di wilayah kerjanya dalam memberikan layanan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus dan lainnya. 
“Idealnya lapor dulu ke kepolisian, baru speak up di medsos terkait laporan yang sudah disampaikan,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!