Aku Memilih childfree dan Tak Peduli Komentarmu

Sejak sebelum ada ramai-ramai tentang isu childfree, dari dulu saya sudah memutuskan untuk childfree atau tidak mau memiliki anak. Ada berbagai alasan untuk itu, salah satunya karena saya tidak siap menanggung kehamilan selama sembilan bulan.

Seminggu ini, dunia maya riuh sekali membincangkan soal childfree. Childfree merupakan sebuah keputusan personal atau kesepakatan dengan pasangan untuk tidak memiliki anak.

Setelah chef Juna dalam podcast Deddy Corbuzier menegaskan bahwa tak semua perempuan harus punya anak dan jawaban ini mendapatkan banyak dukungan di media sosial: “jika istriku mau, kami akan punya anak. Tapi jika istriku tidak mau, kami tidak harus punya anak,’ kata chef Juna.

Lalu ada juga pernyataan Youtuber, Gita Savitri yang tak mau punya anak. Beberapa orang mengartikan ini sebagai sebuah keputusan untuk tidak memiliki anak secara biologis, beberapa sisanya mengartikan ini sebagai keputusan untuk tidak memiliki anak sama sekali.

Saya sendiri, hingga saat ini memilih untuk childfree secara biologis atau tidak memiliki anak secara biologis. Salah satu alasan saya memilih untuk tidak memiliki anak secara biologis karena saya tidak siap menanggung kehamilan selama sembilan bulan. Tak sedikit teman saya yang membagikan pengalamannya ketika sedang hamil. Ada yang kehamilannya baik-baik saja, tapi ada juga yang harus beristirahat total selama kehamilan. Hal ini tentu menjadi bahan pertimbangan besar bagi saya karena saya merupakan perempuan aktif dan tidak bisa “diam”.

Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa: 9 bulan hamil itu menyenangkan, saya juga melihat sebaliknya: 9 bulan hamil yang tidak menyenangkan yang banyak dialami teman-teman saya lainnya.

Memiliki anak tentu harus disertai kesiapan, termasuk membesarkan seorang anak. Hamil sembilan bulan belum tentu menjadi hal yang mudah bagi perempuan dan saya tak siap untuk itu. Namun, saya tetap bisa menjadi seorang ibu tanpa harus melewati proses melahirkan, misalnya dengan mengadopsi anak atau menjadi orang tua asuh.

Tentu saja, saat saya menyampaikan pilihan ini, tak sedikit cibiran yang saya terima dan begini jawaban saya:

Ya kan kamu belum menikah, nanti kalau sudah menikah pasti beda cerita.”

Komentar itu pernah saya dapat dari teman, yang tak hanya sekali dua kali. Saya perempuan dan saya single, tapi bukan berarti saya tidak memiliki hak atas keputusan ini. Apabila di kemudian hari saya memutuskan untuk menikah, saya pun masih berhak atas keputusan ini, yang membedakan hanyalah saya harus berkomunikasi dengan pasangan saya sebelum memutuskan untuk menikah tentang keputusan saya ini.

Hati-hati kalau bicara, nanti doamu didengar Tuhan dan kamu enggak bisa punya anak, loh!”

Saya juga pernah mendapatkan komentar seperti ini dan saya pun bingung memahaminya. Bagi saya, ini merupakan komentar yang jahat. Mengapa saya tidak boleh membuat keputusan untuk tidak memiliki anak secara biologis? Pun apabila biologis seorang perempuan tidak bisa memiliki anak, apakah itu salah dia? Tidak! Saya tidak merasa salah dengan keputusan saya ini dan tidak ada orang yang berhak melabeli keputusan saya ini sebagai keputusan yang salah karena keputusan ini adalah buah dari pertimbangan pribadi saya dan saya memiliki otonomi atas tubuh saya sendiri.

Salah satu ciri makhluk hidup kan berkembang biak dan tujuan orang menikah kan memiliki keturunan.”

Ini adalah salah satu komentar yang pernah saya dapatkan karena kesalahan dia mencerna pelajaran biologi semasa SD ditambah konstruksi sosial dan stigma tentang fertilitas atau kemampuan seseorang dalam menghasilkan keturunan.

Para feminis melihat, menjadi ibu atau peribuan (motherhood) seolah menjadi sesuatu yang harus terlembagakan. Charlotte Perkins Gilman menulis dalam novelnya berjudul Herland (1915) menggambarkan tentang: bagaimana sebuah dunia dimana keibuan bisa memuaskan, namun tidak menindas dalam konsep masyarakat, yaitu tidak harus diberikan atribut ini itu: harus punya anak, harus mempunyai keturunan, dll.

Dari sini kita bisa bertanya secara lebih sederhana: benarkah semua perempuan harus punya anak? Apakah hidupnya menjadi tidak lengkap jika ia tidak menjadi ibu dan punya anak?

Feminis liberal punya jawabannya. Jika ini terus dibiarkan, maka peran ‘keibuan’ ini terus menerus dikonstruksi sebagai peran yang kemudian bisa diberikan sanksi secara sosial. Jika tak menjadi ibu dan tak punya anak, maka perempuan harus menerima sanksi sosial. Pertanyannya, apakah ini justru tidak menjerumuskan perempuan masuk ke dalam depresi baru, ke dalam hal-hal yang membuat tidak nyaman hidupnya dan menindas perempuan?

Saya tetaplah makhluk hidup meskipun saya memilih untuk tidak memiliki anak dan saya berhak atas itu karena setiap individua tau pasangan memiliki tujuan pernikahan yang berbeda-beda.

Dan terakhir, ini adalah pilihan personal saya. Apabila Anda memilih untuk memiliki anak, itu adalah pilihan personal kalian masing-masing dan saya tak punya hak untuk mencampuri keputusan Anda. Namun, Anda tak perlu memaksa saya untuk mengikuti pilihan Anda.

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!