Riset Jakarta Feminist: Perempuan Paling Banyak Jadi Korban Femisida di Rumah

Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta atau Jakarta Feminist baru saja mengeluarkan kajian analisa pemberitaan online terkait femisida. Ironisnya, mayoritas kasus femisida ini justru terjadi di dalam rumah, tempat yang semestinya menjadi ‘ruang aman’ bagi perempuan.

Femisida merupakan pembunuhan terhadap perempuan yang menekankan adanya elemen ketidaksetaraan gender, penaklukan, opresi, dan kekerasan sistematis terhadap perempuan, termasuk transpuan. Kasus femisida termasuk baik yang terjadi dalam ranah personal, seperti hubungan keluarga dan intim/romantis, maupun ranah publik, seperti di tempat kerja. 

Femisida ini memiliki dimensi yang berbeda dengan pembunuhan ‘biasa’, karena memiliki unsur kekerasan berbasis gender dan seksual (KBGS) serta penindasan terhadap perempuan yang terjadi secara masif. 

“Mayoritasnya yaitu 49 persen dari total kasus dilakukan di area rumah. Kaitannya itu, 37 persen dari korban yang dapat diidentifikasikan memiliki hubungan intim dengan pelaku,” tulis hasil laporan Jakarta Feminist yang diterima Konde.co.

Secara umum, riset ini menemukan sebanyak 256 kasus pembunuhan perempuan di Indonesia pada tahun 2021, dengan total korban 289 jiwa perempuan dan total pelaku 309 orang. 

Dari jumlah itu, ditemukan sebanyak 217 kasus femisida, 17 kasus pembunuhan akibat tindak kriminal, 4 kasus pembunuhan transpuan, dan 18 kasus pembunuhan bayi, balita, dan anak perempuan. 

Kasus femisida paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur, dengan masing-masing 35 kasus. Provinsi Jawa Barat menempati peringkat ketiga (29 kasus), sementara Provinsi Sulawesi Utara (19 kasus) dan Provinsi Aceh (16 kasus) duduk di peringkat ke-empat dan ke-lima. 

“Hal unik terjadi ketika kami mengkalkulasikan kontribusi kasus pembunuhan perempuan di suatu daerah dengan tingkat kerentanan per 100.000 perempuan di daerah tersebut,” ujar Fatima Gita Elhasni, Research Officer Jakarta Feminist. 

Tingkat kerentanan perempuan, menurut Fatima, menjadi lebih tinggi di daerah-daerah yang jumlah kasusnya lebih rendah, seperti Sulawesi Utara dan Aceh dibandingkan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Kata lainnya, perempuan lebih rentan atas pembunuhan di wilayah-wilayah tersebut. “Ini bisa kita tanyakan kembali, apakah ada konteks lokal di dimensi sosial-kultural pada daerah tersebut yang mempengaruhi perbedaan angka ini?.” 

Berdasarkan analisis pemberitaan kasus, ‘motif’ pelaku femisida yang paling sering ditemukan adalah masalah komunikasi antara pelaku dan korban (75 kasus), diikuti problem asmara (36 kasus), penyerangan seksual (22 kasus), dan kehamilan (18 kasus). Permasalahan komunikasi ini kebanyakan terjadi pada relasi-relasi intim, khususnya di ranah rumah tangga. 

Sejalan dengan itu, Siti Mazuma selaku Direktur LBH Apik Jakarta mencatat, LBH Apik Jakarta sudah melakukan pendampingan pada 1.512 korban kekerasan terhadap perempuan di tahun 2022. 

“Kami menemukan bahwa KDRT memang menjadi motif kekerasan terbanyak,” ungkapnya. 

Melihat femisida ini dari perspektif transpuan, Khanza Vinaa dari Sanggar Swara menyayangkan sedikitnya pemberitaan media untuk kasus pembunuhan perempuan transgender. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena letak geografis peristiwanya hingga adanya anggapan bahwa peristiwa tersebut tidak dianggap penting. 

“Kerap kali bahkan ada anggapan bahwa kelompok trans pantas dibunuh karena dianggap menyimpang,” kata Khanza. 

“Ketika para korban ini meninggal, kita berpikir bahwa haknya sudah selesai. Padahal, mereka juga masih memiliki hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan baik untuk korban maupun keluarga dan relasi yang ditinggalkan,” jelas Siti Aminah Tardi selaku Komisioner Komnas Perempuan.

Rekomendasi: Serius Cegah KBGS hingga Cabut Perda Diskriminatif

Lintas Feminis Jakarta mengajukan berbagai rekomendasi agar femisida dapat dicegah serta kasus femisida dapat ditangani dengan layak. Di antaranya sebagai berikut:

1.Bagi Pemerintah

Pemerintah harus serius dalam upaya penyusunan, pelaksanaan, dan pemantauan strategi jangka menengah dan panjang terkait pencegahan KBGS di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah.  

Selain itu, mendesak pula pencabutan atau revisi peraturan perundang-undangan dan peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi yang komprehensif serta pendidikan hubungan sehat (healthy relationships) dilaksanakan di semua tingkat sekolah di seluruh Indonesia, disesuaikan dengan tingkat usia dan gender. 

Tak kalah penting, ketersediaan hotline telepon bagi korban KBGS yang responsif, berpihak kepada korban, dan memiliki SDM yang terlatih dan mencukupi. Perlu juga, penguatan tata kelola layanan bantuan bagi korban KBGS, baik dari aspek peraturan maupun dari aspek kapasitas. 

Pelatihan dan pendidikan gender dan HAM bagi petugas layanan yang berkaitan dengan korban KBGS, termasuk di bidang kesehatan, juga harus jadi perhatian. Maka penting sekali adanya penjaminan ketersediaan akses layanan bagi korban KBGS di seluruh Indonesia, serta peningkatan kuantitas dan kualitas lembaga layanan tersebut, serta pendanaan lembaga layanan yang terjamin hingga adanya pemantauan penanganan kasus KBGS secara berkala. 

2.Bagi Institusi Penegak Hukum

Jakarta Feminist mendorong agar institusi penegak hukum juga mendapat pendidikan dan pelatihan gender, hak asasi manusia, dan KBGS yang memadai. Termasuk petugas polisi, jaksa, dan hakim, sesuai dengan kewajiban yang telah disahkan melalui UU TPKS 2022.

Penting juga adanya penyusunan atau revisi serta pelaksanaan panduan/SOP/alur layanan penerimaan pelaporan kasus KBGS. Di samping, mesti adanya penyusunan alur rujukan bagi korban KBGS yang melibatkan pihak rumah aman, lembaga bantuan hukum, layanan medis, layanan konseling, dan layanan lain. 

Aparat penegak hukum juga mesti memiliki ketersediaan kanal pelaporan KBGS yang responsif dan berpihak kepada korban dan pengolahan data kasus pembunuhan berdasarkan gender korban.

Penyusunan atau revisi serta pelaksanaan panduan/SOP terkait penulisan kasus KBGS secara umum dan kasus femisida secara khusus, yang memastikan wartawan dan redaksi tidak menyalahkan korban, tidak objektifikasikan korban, dan tidak melanggar 

3.Bagi Insan Pers

Rekomendasi riset ini juga ‘menyentil’ outlet media, Dewan Pers serta organisasi profesi seperti Aliansi Jurnalis Independen. Yaitu, mesti memperhatikan privasi korban dan keluarga, termasuk tidak menggunakan nama dan foto korban kecuali sudah diizinkan oleh keluarga.

Pemberian pendidikan dan pelatihan gender, HAM, dan KBGS kepada jurnalis dan redaksi juga jadi hal yang tak boleh diabaikan. Selain juga perlunya menambahkan pencatatan informasi bantuan bagi korban di ujung tiap pemberitaan kasus KBGS, seperti Cari Layanan (www.carilayanan.com). 

“Penulisan berita yang berlensa gender agar menempatkan kasus KBGS dalam konteks lebih besar, bukan hanya sebagai sebuah kasus begitu saja, yaitu permasalahan struktural dan pola pembunuhan perempuan yang telah mengakar dalam budaya dan masyarakat,” pungkas laporan riset Jakarta Feminist.

(Ilustrasi/foto: Freepik)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!