Ketum PBNU Menolak Feminisme? Melihat Teks dan Konteks Pernyataan Ini

Potongan video berisi ajakan untuk menjauhi feminisme yang diucapkan Ketua PBNU, Yahya Cholil viral di media sosial. Bagaimana sebenarnya isi dan konteks pernyataan tersebut?

Belum lama ini, sebuah video berisi pernyataan Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil soal feminisme viral di lini masa Twitter.

Dalam potongan video berdurasi 1 menit 21 detik itu, KH Yahya Cholil atau akrab disapa Gus Yahya menyampaikan pesan kepada kader Nahdlatul Ulama/ NU perempuan untuk tidak ikut dalam gerakan feminisme. Kira-kira pernyataan yang tersebar seperti ini:

“Saya sejak kemarin, Saya tegaskan, NU ini gak usah ikutan macam-macam, ideologi gender yang dikembangkan dari ranah budaya yang lain, Ndak usah. Ini saya ingatkan Fatayat dan Muslimat, jangan ikut-ikutan feminisme,” ujar Yahya Cholil dalam video yang diunggah akun Ahmad Jilul @jilulisme, Selasa (17/1). 

Video yang kini sudah disukai oleh ribuan warganet Twitter itu pun menjadi perbincangan. Bahkan, banyak yang menuliskan bahwa pesan Ketum PBNU pada Fatayat dan Muslimat ini memang bertujuan untuk mengajak mereka agar jangan ikut feminisme. Namun ada juga yang menyatakan bahwa video tersebut dipotong yang membuat pernyataan tersebut jadi disalahartikan oleh banyak orang.

Konde.co kemudian menelusuri video asli dari potongan pernyataan Yahya Cholil. Kami menemukan sebuah video youtube yang ditayangkan TV NU yang berjudul ‘Pembukaan Rakornas Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU), Bergerak Bersama untuk Kemaslahatan Keluarga, Bangsa dan Dunia’ pada Sabtu (10/12/2022). 

Dalam video berdurasi berdurasi 1 jam 27 menit itu, Yahya Cholil menyampaikan pidato pembukaannya mulai pada menit ke-23.

Dalam pidato pembukaan itu, Yahya Cholil menyampaikan beberapa poin seperti nalar dan logika struktural yang harus tertata di internal organisasi NU dan meminimalisasi inisiatif-inisiatif atas nama NU yang tidak terorganisir dengan induk organisasi. Ataupun juga munculnya entitas-entitas baru yang berpotensi justru ‘memecah belah’ organisasi. 

Ia juga menyoroti peran Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) untuk mendorong transformasi di tengah-tengah masyarakat. Dirinya juga berharap LKKNU nantinya bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan nasional terkait lembaga kemaslahatan keluarga yang secara konkret. 

“Idenya untuk membuka lapak-lapak di tingkat grassroot sebagai ‘warung’ yang menjajakan agenda NU ke masyarakat, di tingkat desa. Yang menyangkut kemaslahatan keluarga, memang tidak langsung lengkap, tapi ‘warungnya’ sudah harus ada dulu,” terang anak dari salah satu pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Cholil Bisri itu.  

Setelah pembahasan itulah, Yahya Cholil menyampaikan bahwa walaupun manajemen program kemaslahatan keluarga tadi melibatkan laki-laki (bapak-bapak), tapi titik strateginya adalah para perempuan (ibu-ibu). Menurutnya, soal transformasi nilai-nilai, mengubah mindset masyarakat, mengubah wawasan nilai-nilai masyarakat itu tidak bisa tidak dimulai dari ibu-ibu. 

“Ini bukan soal feminisme, ini bukan soal kesetaraan gender. Ini soal kebutuhan fungsional,” tegas Yahya Cholil, di perkataan inilah Ia kemudian menyinggung soal feminisme. 

“NU ini ndak usah ikutan macem-macem, ideologi gender yang dikembangkan dari ranah budaya yang lain, ndak usah. Ini saya ingatkan Fatayat dan Muslimat, jangan ikut-ikutan feminisme,” ucapnya. 

Menurut Yahya Cholil, feminisme dinilai tidak tepat bagi masyarakat Indonesia khususnya kader perempuan NU. Ia mengatakan bahwa masyarakat harus mulai dengan wawasan keagamaan yang dimiliki. 

“Saya selalu tegaskan bahwa ini bukan soal perempuan berhadap-hadapan sebagai satu kelompok identitas berhadap-hadapan sebagai satu kelompok identitas berhadapan dengan laki-laki sebagai satu kelompok, ini bukan soal identitas, ini soal kapasitas,” kata kakak kandung Menteri Agama RI, Yaqut Cholil tersebut. 

Dia menekankan, hadirnya perempuan di kepengurusan organisasi PBNU itu karena adanya kualitas, bukan sebatas karena identitasnya perempuan atau ‘biar ada perempuan’. 

“Maka saya bilang, kalau sekarang PBNU itu ada perempuan-perempuan, soal kapasitas, bukan karena perempuan. Walaupun perempuan kalau goblok, ya ndak kita pakek. Itu soal kapasitas. Walaupun laki-laki kalau goblok ya ga kita pakek,” ucap dia. 

Tulisan ini kemudian viral dan menimbulkan pertanyaan: benarkah PBNU tidak berpihak pada perempuan dan tidak memperbolehkan para perempuan disana untuk ikut dalam gerakan feminisme?

Karena pada tahun 2022, pertama dalam sejarah, yaitu pada kurun waktu 100 tahun, banyak perempuan yang masuk dalam kepengurusan Pengurus Besar Nadatul Ulama (PB NU). Ada 11 perempuan yang masuk dalam kepengurusan periode 2022-2027. Peluang baru ini sangat menjanjikan bagi perjuangan perempuan.

Sejumlah perempuan yang masuk dalam kepengurusan PBNU seperti dikutip dari VOA antaralaian, istri mendiang Presiden Gus Dur, Sinta Nuriyah, aktivis perempuan Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, hingga Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, adalah sebagian tokoh perempuan yang masuk dalam kepengurusan PBNU kali ini. Selain itu ada pula nama Nafisah Sahal Mahfud, Maryati Solihah dan Mahfudoh.

Yahya Cholil ketika itu menegaskan tidak pernah ada larangan bagi NU untuk menempatkan perempuan dalam jajaran kepengurusannya. Meski harus diakui, dalam seratus tahun kiprah organisasi tersebut, ini adalah yang pertama.

“Ini hanya soal waktu sebenarnya, karena sejak awal, sejak pertama, memang tidak pernah ada pembatasan bahwa PBNU tidak boleh ada perempuan,” ujar Yahya Cholil dalam konferensi pers di Kantor PB NU, Jakarta, Rabu (12/1/ 2022).

Dia juga mengatakan, keputusan memasukkan perempuan dalam struktur baru adalah karena NU melihat kebutuhan untuk itu cukup mendesak.

“Bahwa harus ada perempuan-perempuan yang ikut serta mengelola PBNU ini, karena ada masalah-masalah besar terkait dengan perempuan,” tegasnya.

Untuk itu, maka Konde.co mencoba melakukan wawancara pada sejumlah pengurus PBNU termasuk pada Yahya Cholil. Namun hingga tulisan ini tayang, Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil belum merespons konfirmasi yang dilakukan Konde.co 

Mendukung Perempuan Berdaya Itu Feminisme

Konde.co kemudian menghubungi aktivis Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sekaligus dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan Institut Studi Islam Fahmina (ISIF), Faqih Abdul Kodir yang hadir dalam acara saat Yahya Cholil menyampaikan pidatonya itu.

Faqih Abdul Kodir menyampaikan tentang pentingnya pemahaman kontekstual dalam pidato ini, termasuk kaitannya dengan pernyataan Yahya Cholil soal feminisme ini. Faqih Abdul Kodir menyatakan, yang jelas Yahya Cholil tidak misoginis atau membenci perempuan.

“Kalau dari potongan itu saja, dan secara literal-tekstual ya bener, tetapi kalau kita dengar utuh, dari awal sampai akhir, dan kita pahami secara kontekstual, aku kira perlu ada penjelasan lebih lengkap. Yang jelas, Gus Yahya tidak misoginis, atau tidak membenci perempuan, Misoginisme adalah sesuatu yang dilawan oleh feminisme itu sendiri,” tulis Faqih. 

Dia juga menyoroti bahwa sebetulnya Yahya Cholil di pidato itu justru memandang perempuan sebagai manusia utuh, dengan kapasitasnya dari sisi intelektual, sosial, dan manajerial. Yahya Cholil mengangkat banyak perempuan dalam jajaran PBNU karena kapasitas mereka, bukan karena keperempuanan mereka. 

“Sebagaimana juga mengangkat laki-laki, bukan karena kelelakian mereka, melainkan kapasitas intelektual, sosial, dan atau manajerial. Karena itu, penting menguatkan kapasitas perempuan, agar bisa berkhidmat di NU secara maksimal. Nah, bukankah ini juga salah satu agenda feminisme?,” lanjutnya. 

Faqih menyatakan, jika ditelusuri, feminisme itu memang mengacu pada sebuah gerakan kesadaran kolektif yang diawali dari kesadaran individu sebagai feminis. Yaitu seseorang yang menyadari adanya pembatasan dan penindasan bagi perempuan di masyarakat, baik di ranah publik maupun domestik/ keluarga dengan aksi nyata untuk mengubah situasi. 

Konteks yang juga perlu dipahami dari pernyataan Yahya Cholil menurutnya, tentang pentingnya memiliki akar kultural sendiri dalam menerima isme-isme apapun dari luar, termasuk feminisme. Dia berpandangan, Yahya Cholil ingin menegaskan pentingnya akar Aswaja an-Nahdliyah dalam menerima, mengimplementasikan, dan kemudian mendakwahkan segala pemikiran yang datang meringsek masuk pada kebudayaan yang berkembang. 

“Pada konteks inilah mengapa aku juga menggulirkan konsep mubadalah, tidak langsung menggunakan feminisme. Tapi bukan berarti menolak feminisme juga. Secara pribadi, aku berhutang dari analisis feminisme, tetapi aku membangunnya dari akar Islam sendiri, yaitu tauhid, visi Islam rahmatan lil ‘alamin,  dan misi Nabi Saw akhlaq al-karimah. Tentu ini juga sudah banyak ditegaskan para feminis Muslim dunia dan Indonesia,” kata laki-laki yang juga aktif di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu.  

Faqih lantas menjelaskan, titik tekan mubadalah adalah pada relasi kesalingan dan kerjasama, atas dasar cara pandang dan sikap yang bermartabat, adil, dan maslahah pada perempuan dan laki-laki. Prasyaratnya adalah tauhid. Yaitu memandang hanya Allah SWT yang Tuhan dan mutlak ditaati. 

Saat akal perempuan tidak dianggap, pengalaman perempuan tidak diperhitungkan, dan kiprah perempuan sama sekali tidak dihargai. Pada sisi inilah, menurut Faqih, pentingnya memiliki analisis feminis, untuk mengenali, menemukan dan mengungkapkan akal dan pengalaman perempuan, sebagai manusia utuh dan menjadi otoritas pengetahuan dalam kehidupan. 

“Dari sinilah, kemudian, mubadalah berangkat untuk membangun relasi yang bermartabat, adil, dan maslahat, antar manusia, perempuan dan laki-laki,” pungkasnya.

Konde.co kemudian juga mencoba melakukan wawancara untuk melakukan konfirmasi atas ini pada aktivis perempuan Muslim untuk menelusuri lebih dalam makna dari pernyataan di kalangan perempuan Muslim untuk melihat teks dan konteksnya, namun hingga berita ini diturunkan belum mendapatkan jawaban.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!