Apakah Benar Ketua Umum PBNU Memalingkan Wajah Dari Feminisme?

Belum lama ini, sebuah video berisi pernyataan Ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil soal feminisme viral di lini masa. Ia menyampaikan pesan kepada kader Nahdlatul Ulama/NU perempuan untuk tidak ikut dalam gerakan feminisme. Apakah benar Yahya Cholil telah memalingkan wajah dari feminisme?

Tidak jarang di Indonesia orang menentang feminisme. Bahkan, ada gerakan #IndonesiaTanpaFeminis dan #UninstallFeminism yang mulai muncul di tahun 2019. 

Saya juga menemukan foto yang diunggah di InstaStory yang menunjukkan puluhan perempuan berjilbab mengepalkan tangan kanan mereka, disertai keterangan foto: “Perempuan yang ingin generasinya tidak diracuni oleh feminisme.”

Mengamati gejala ini, Anda tidak bisa disalahkan jika mendapat kesan bahwa Islam menentang feminisme. Apakah hal ini benar?

Nahdlatul Ulama (NU) konon ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia. Pada 2019, ia memiliki 91,2 juta anggota. Jadi, bisa dibayangkan apa yang dikatakan Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat NU (PBNU) itu mempunyai dampak yang sangat besar.

Pada Desember 2021, Yahya Cholil Staquf atau yang akrab disapa “Gus Yahya” terpilih menjadi Ketua PBNU, untuk masa jabatan lima tahun (2021-2026). Sekitar pertengahan Januari 2022, dia menunjuk 11 perempuan untuk duduk di dewan pengurus, pertama kali sejak 1926 ketika NU didirikan. Ini benar-benar terobosan besar dan sangat signifikan bagi NU dan bahkan bangsa.

Dalam siaran persnya, Gus Yahya menyatakan, “Pemimpin perempuan diikutsertakan karena ada kebutuhan yang mendesak…[…]…ada masalah besar terkait isu perempuan yang harus diselesaikan. Kami mengajak tokoh-tokoh perempuan yang tertangguh dan terkuat.”

Tidak main-main dia. Di antara para perempuan tersebut terdapat beberapa feminis Muslim yang paling tangguh dan berpengaruh di negara ini, termasuk Sinta Nuriyah dan Alissa Wahid. Mereka adalah janda dan putri mendiang Abdurrahman Wahid – dikenal sebagai Gus Dur – yang merupakan Ketua PBNU antara 1984-1999 dan presiden keempat Indonesia dari Oktober 1999 hingga Juli 2001.

Gus Yahya menjabat sebagai juru bicara kepresidenan Gus Dur selama masa jabatannya, dan sangat dipengaruhi oleh gagasan pluralis dan inklusif dari atasannya, jauh sebelum dia menjadi presiden.

Maka, bayangkan betapa mengejutkan dan mengecewakan  ketika pada pertengahan Januari lalu, Gus Yahya menasihati Fatayat dan Muslimat, dua organisasi perempuan di bawah NU, demikian: “NU tidak perlu ikut-ikutan dengan berbagai ideologi gender yang dikembangkan dari budaya lain. Saya ingatkan Fatayat dan Muslimat: Jangan ikut-ikut feminisme.”

Apa alasannya sehingga tiba-tiba berbalik arah 180 deradjat? Mengapa seperti menjilat ludah sendiri dan menampar wajah, bahkan menusuk punggung,  semua sosok perempuan kuat yang ditunjuknya sendiri? Pernyataannya adalah serangan balik (backlash) yang dapat menyebabkan kemunduran bagi seluruh gerakan perempuan! Mengapa dia mengatakannya, terutama di saat gerakan antifeminis sedang menguat di Indonesia, dengan meningkatnya konservatisme di negara ini, dan juga di seluruh dunia?

Saya bertanya-tanya bagaimana tanggapan teman-teman KUPI? 

KUPI adalah singkatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia, gerakan progresif yang dipimpin feminis Muslim, baik perempuan maupun laki-laki (lihat “Women ulema spearhead movement for just society [Gerakan ulama perempuan ujung tombak untuk masyarakat yang adil], The Jakarta Post, 30 November 2022).

Tanggapan pertama datang dari Faqihuddin Abdul Kodir, seorang cendekiawan Muslim muda yang brilian, penulis beberapa buku tafsir feminis tentang Islam, dan pentolan penting KUPI. Ia mengatakan, pernyataan Gus Yahya harus kita lihat dalam konteks, bahwa ia berusaha “menyampaikan pentingnya orang NU memiliki akar kita sendiri, yaitu Aswaja an-Nahdliyah, dalam mempromosikan hak-hak perempuan dan mengadvokasi keadilan gender”.

Aswaja adalah singkatan Ahlussunnah wa al-Jama’ah, ideologi dasar NU yang sederhananya adalah Islam moderat yang inklusif dan berkeadilan.

Faqih dikritik keras oleh Lies Marcoes, rekannya di KUPI dan salah satu aktivis dan cendekiawan feminis Muslim terkemuka di Indonesia. Lies mengatakan apa yang Faqih tulis terlalu apologetik, juga bahwa dalam komunitas ulama, dimana Gus Yahya dan Faqih menjadi anggota, mereka harus dapat memperbaiki kesalahan konseptual, bahkan jika itu dibuat oleh pemimpin mereka sendiri.

Gus Yahya tidak merinci apa yang dimaksudkannya sebagai “masalah besar terkait isu perempuan”, tapi jelas berpusat pada ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Yang dilawan KUPI adalah ideologi dan praktik patriarki yang menindas perempuan. Untuk itu, mereka menggunakan feminisme sebagai alat, yang dipinjam dari Barat, untuk menggali ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an yang mendukung kesetaraan gender, tetapi telah diselewengkan dan dimanipulasi untuk menindas perempuan.

Faqih telah melakukan hal ini dengan cara yang sangat cerdas. Salah satu bukunya, “Perempuan (bukan) Sumber Fitnah” (Afkaruna, 2021) mengacu pada persepsi umum bahwa dosa atau fitnah berasal dari perempuan, kemungkinan besar berasal dari kisah Hawa yang membuat Adam sesat dengan mengajaknya memakan buah khuldi yang terlarang. 

Dalam buku tersebut, Faqih menggunakan feminisme untuk mengkaji berbagai hadis yang cenderung disalahtafsirkan untuk merendahkan perempuan, bahkan menjelekkan mereka, dengan menggunakan mubadalah (timbal balik antara perempuan dan laki-laki), sebuah konsep yang dikembangkan Faqih sendiri.

Seharusnya Gus Yahya membaca buku ini.

Gus Yahya mengatakan bahwa orang harus dinilai dari kemampuannya, bukan jenis kelaminnya. Namun menurut Lies, hal itu sangat terbelakang dan berbahaya, dan juga ditentang oleh salah seorang tokoh KUPI terkemuka lainnya (yang tidak bersedia disebut namanya), karena perbedaan peran dan status sosial laki-laki dan perempuan harus diperhitungkan sebagai ukuran keadilan. 

Lies menegaskan bahwa dengan mengatakan “Jangan ikut-ikut feminis”, sama saja dengan mengakui bahwa kita tidak bisa menggunakan cara yang benar untuk berlaku adil terhadap mereka yang kurang beruntung: anak-anak, suku, ras, agama minoritas, penyandang disabilitas dan perempuan. 

Saya tanya pendapat tokoh KUPI ini soal pernyataan Gus Yahya itu. Dia mengatakan, langkah progresif dan beraninya untuk mengikutsertakan perempuan dalam kepemimpinan PBNU mendapat perlawanan dari dalam organisasi. Jadi, apakah itu cara untuk menenangkan mereka?

Tokoh KUPI ini menjawab, ya. Selain itu, pemberdayaan perempuan harus dilihat sebagai sebuah proses, agar hal ini di NU tidak terlepas dari tradisi keagamaan organisasi, yakni Alquran, hadis, pendapat ulama dan berbagai keputusan NU yang banyak jumlahnya. Harus ada tarik ulur, tambahnya.

Boleh-boleh saja, tapi yang jelas masih banyak ketidaktahuan tentang feminisme di masyarakat dan di kalangan pimpinan PBNU. Ada juga fobia terhadap Barat dan berbagai pahamnya, termasuk feminisme. Fobia ini menimbulkan penolakan apriori terhadap feminisme, yang ujung-ujungnya tentang diskriminasi gender, yang merupakan sumber kekerasan berbasis gender. Gus Yahya mengatakan orang dinilai dari kapasitasnya; tetapi dalam masyarakat patriarkal, bagaimana mereka bisa memiliki kapasitas itu jika mereka didiskriminasi, dan tidak diberi kesempatan untuk mengembangkannya?

Secara historis, inilah tuntutan para pahlawan dan tokoh pendidikan kita seperti Kartini (1879 -1904) dan Dewi Sartika (1884 – 1947). Tanpa kesempatan, Nyai Walidah Ahmad Dahlan (1872-1946) tidak akan mampu mendirikan sekolah Islam Aisyiah khusus untuk perempuan, dan Nyai Khairiyah Hasyim (1906-1983) mendirikan Madrasah Lil Banat, madrasah perempuan pertama di Mekkah.

Demikian Gus Yahya, dengan segala hormat, mohon diperhatikan baik-baik dampak dari apa yang bapak ucapkan, agar tidak mensabot kebaikan yang telah bapak lakukan dengan menunjuk 11 feminis yang luar biasa di PBNU.

(Tulisan pernah dimuat di The Jakarta Post Edisi Bahasa Inggris, 1 Februari 2023. Dimuat dalam Bahasa Indonesia dengan seizin penulis)

Julia Suryakusuma

Penulis buku "Ibuisme Negara" dan "Jihad Julia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!