Girlhood-mu Tak Seindah di Film AADC? Kamu Gak Sendiri, Para Perempuan Ini Ceritakan Kisahnya

Film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) cukup jadi gambaran betapa masa remaja (girlhood) 'ala ibu kota' itu tampak seru dan penuh warna-warni. Tapi pada realitanya, tak semua perempuan merasakan girlhood semacam itu. Ini kisah mereka.

Apa yang ada di benakmu saat mendengar kata ‘girlhood’? Bagaimana kamu menjalani dan mengalami girlhood-mu sendiri?

Kata girlhood ramai terdengar lagi akhir-akhir ini di media sosial. Awalnya, muncul beberapa cuitan tentang girlhood asik dan berwarna. Masa muda perempuan yang berbahagia dengan teman-teman perempuannya, menginap di tempat satu sama lain hingga ‘haha-hihi’ lucu sambil belajar memoles wajah dengan riasan—itulah gagasan girlhood yang sering digaungkan pengguna media sosial.

Secara istilah, ‘girlhood’ sendiri mengacu pada masa kehidupan seorang perempuan ketika dia masih muda, biasanya dalam rentang usia remaja.

Di periode ini, perempuan muda mulai mengalami perubahan fisik, emosional, dan sosial menuju pendewasaan diri. Cakupannya beragam. Girlhood bisa jadi tentang pengalaman perempuan muda pubertas, eksplorasi identitas diri, membangun pertemanan (juga percintaan barangkali), sampai mencari makna dan tujuan hidup.

Girlhood juga kerap hadir sebagai tema kisah-kisah produk media populer. Bagiku saat masih remaja, gagasan ideal girlhood hadir pada serial novel ‘St. Clare’-nya Enid Blyton hingga film ‘Ada Apa dengan Cinta?’-nya Mira Lesmana dan Riri Riza.

Pemaknaanku atas girlhood yang ideal pada saat itu adalah sebagai periode ketika kamu, sebagai perempuan, punya geng berisi teman-teman perempuan yang merayakan gembiramu dan bersedih untuk sedihmu. Dalam beberapa cerita, kamu dan teman-temanmu juga akan sering makan enak dan coba-coba makeup bareng.

Baca Juga: ‘Saya Jalan Lebih Jauh’ Cerita Perempuan Hindari Pelecehan di Ruang Publik

Jangan lupa, dalam versi girlhood yang lebih ideal lagi, kamu punya keluarga yang utuh, sehat, dan selalu mendukung tumbuh kembangmu sebagai remaja perempuan.

Gagasan itu kusebut konsep ideal, sebab aku tak pernah mengalami girlhood yang seperti itu. Girlhood yang kualami sendiri adalah masa-masa dirundung, kesepian di tengah krisis kepercayaan, hingga meragukan identitas gender yang kumiliki.

Belum lagi, sebagai anak pertama dan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, peran mengasuh adik-adikku juga dilimpahkan kepadaku. Realita girlhood rupanya tidak seperti di film-film, setidaknya buatku.

Namun tentu saja pengalaman nyata girlhood yang pelik bukan hanya milikku seorang. Oleh karena itu, beberapa kawan perempuan turut membagikan lika-liku masa remaja mereka kepada Konde.co. Kehidupan remaja perempuan tidak melulu tentang gemerlap dan warna-warni pelangi. Ada lika-liku sulitnya menerima diri sendiri, bergulat dengan upaya menerima sosok ibu, hingga membenci identitas diri sebagai perempuan.

Absennya Sosok Ayah dan Upaya Memahami Ibu

Tak sedikit perempuan yang tumbuh dan menjalani periode remaja tanpa sosok ayah. Ini bisa berarti ketiadaan figur ayah dalam wujudnya secara fisik maupun perannya dalam keluarga. Hal itu ternyata berpengaruh pada pengalaman girlhood.

Bagi Gem (26) misalnya, absennya figur ayah membuat girlhood jadi pengalaman traumatis. Yang ia ingat hanya bagaimana sosok ayah itu kerap menjelek-jelekkan ibunya sampai melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Belum lagi kondisi ekonomi keluarganya yang buruk, membuat Gem tidak merasakan girlhood yang manis seperti di film-film.

Kehilangan figur ayah, perempuan jadi lebih sulit memahami situasi ibunya sendiri. Ini dialami oleh Gem. Ia mengaku, dulu dirinya sering mempertanyakan keputusan sang ibu sebagai orang tua tunggal. Belakangan, Gem baru bisa mengerti saat sudah duduk di bangku kuliah dan bertemu teman-teman perempuan yang peduli terhadapnya.

It’s my turning point. Aku pernah benci banget sama ibuku,” Gem berujar kepada Konde.co, Minggu (28/1/2024). “ Tapi sekarang aku agak paham kenapa dia melakukan hal yang pernah dilakukannya.”

Baca Juga: Tren Gen Z Beli Mobil Listrik: Peduli Lingkungan sampai Buat Cari Jodoh?

Fia (26) juga kehilangan sosok ayah yang wafat saat ia masih remaja. Terjadi begitu cepat, hal itu membuat girlhood-nya jadi lebih berat.

“Jadi mikirnya, ‘bentar lagi juga lupa’,” ungkap Fia. “Ternyata, masalah baru muncul dari ibu yang super sensitif.”

Figur ayah yang tiba-tiba ‘dihilangkan’ dari kehidupan Fia dan keluarganya, membuatnya sering bertengkar dengan sang ibu. Masalah kecil jadi besar karena Fia dan ibunya berbicara kepada satu sama lain dengan nada tinggi, bahkan di tempat publik sekali pun. Alhasil, Fia kerap kabur ke rumah temannya saat SMA untuk menghindari keributan.

Sekarang semuanya berubah. Menurut Fia, sekarang hubungannya dengan ibunya sudah sangat baik. “Anehnya, ibu sama sekali nggak ingat masa-masa duka itu kecuali hari H berkabung,” tutur Fia.

Girlhood Tidak Seindah Estetika AADC: Bergulat dengan Tubuh, Identitas, dan Kesepian

Suatu hari, Hera (27) melihat ramai cuitan tentang gambaran girlhood yang ‘bersinar’, ‘mahal’, dan ‘warna-warni pelangi’. Ia merasa tidak dapat menempatkan dirinya sendiri dalam imaji itu. Hera tumbuh di tengah kondisi finansial keluarga yang sulit, sehingga ia mesti ‘pelit’ pada dirinya sendiri sejak remaja.

“Buat makan aja susah, apa lagi make up dan lain-lain,” ujar perempuan yang sedang magang di sebuah LSM lingkungan berkelanjutan itu.

Ia juga curhat soal kebiasaannya menolak ajakan nongkrong, semata-mata karena tak mau merepotkan orang lain. Bahkan, gara-gara ia kerap memakai kerudung dan pakaian yang ‘tidak serasi’, Hera tak jarang dirundung sesama perempuan.

Maka bagi Hera, masa remaja perempuan yang dialaminya tidak seindah estetika film ‘Ada Apa dengan Cinta?’ yang sarat kisah persahabatan dan percintaan. “Rasanya kita tuh, kayak anak-anak perempuan malang yang terabaikan,” kata Hera.

Apakah girlhood serta-merta membentuk konsep diri perempuan? Haruskah remaja perempuan selalu menjalani hidup secara ‘feminim’? Atau justru girlhood seharusnya membentuk karakter ‘cewek kuat’? Atau, apa pun definisinya, konsep girlhood bermuara lagi pada misogini dan stereotipe perempuan yang dibangun masyarakat patriarki?

Girlhood acapkali justru menjadi periode saat remaja perempuan bergulat dengan identitasnya sebagai perempuan. Seperti Gem yang, akibat ketiadaan figur ayah dalam masa remajanya, berpikir bahwa ia harus jadi anak yang ‘kuat seperti laki-laki’.

“Mungkin karena aku sering dengar ayahku ngomongin ibuku yang jelek-jelek,” ujar Gem. “Makanya bikin aku mikir jadi perempuan itu ‘basi’.”

Baca Juga: Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja? 

Gem pun memutuskan untuk belajar bela diri dan bergaul dengan teman-teman laki-laki akibat pemikiran itu. Ia kira, melakukan hal ‘kelaki-lakian’ yang stereotipikal akan membuatnya lebih tangguh saat menjalani hidup.

Masalahnya, semua kejadian ‘gila’ yang dialaminya saat remaja itu malah membuatnya mengisolasi diri dari lingkungan sosial. Maka sebagai anak tunggal, girlhood baginya adalah periode kesepian.

Di sisi lain, Azrina (30) membagi girlhood menjadi setidaknya dua fase. Pada fase pertama, rasanya seperti neraka. “Aku nggak tahu harus ngapain (menjalani girlhood),” kata Azrina. “Nggak ada yang ngajarin aku caranya.”

Perempuan yang saat ini bekerja di sebuah platform media sosial terkemuka itu tumbuh dengan kesulitan menerima dirinya sendiri. Nilai dirinya sangat bergantung pada apresiasi sekecil apa pun, bahkan ketika ia sebetulnya ingin dihargai lebih.

“(Hidup) terlalu besar untuk tanganku yang masih kecil dan bertumbuh,” kata Azrina. “Saat itu (aku) kesepian.”

Azrina mencoba realistis. Menurutnya, perempuan mungkin melalui beragam fase girlhood. Buat dirinya sendiri, girlhood pertama membingungkan sebagai remaja perempuan. Sedangkan di fase kedua, yang terjadi saat sudah menginjak usia 20-30 tahunan, segala hal tampak lebih jelas dan perempuan biasanya sudah memiliki dukungan emosional yang lebih baik.

Kesepian juga kerap menjadi bagian girlhood bagi perempuan yang mengalami perundungan, seperti dialami Rae (29). Ia anak tunggal dan tidak tahu rasanya punya saudara kandung. Belum lagi, saat SD dirinya pernah dijebak dan dijadikan bahan olok-olok sirkel perempuan lain di sekolahnya. Masa SMP-nya pun sering diisi dengan ‘drama’ remaja yang menurutnya aneh.

“Pas SMA, baru lumayan dan membuka mataku kalau girlhood nggak melulu glitters and rainbows. Ada ngomongin struggle belajar, macam-macam,” kenang Rae, yang saat ini bekerja sebagai desainer grafis sekaligus sedang menempuh pendidikan Magister. Rae juga menggemari K-pop, yang ia nilai membantu menjaga kewarasannya.

Baca Juga: Gen Z Dinilai Kurang Peduli Isu Lingkungan, Pendekatannya Harus Tepat

Sementara itu, Tiffany (22) ingat, saat remaja orangtuanya bilang dirinya ‘terlalu feminim’ dan ‘lemah’. Itu karena ia mudah menangis dan sering berempati. Akibat persepsi tersebut, seperti Gem, Tiffany pun mengikuti kelas bela diri. Ia suka-suka saja belajar bela diri, tapi itu juga membuatnya tidak dapat merasakan dirinya sendiri seperti biasa.

Di sisi lain, kehidupannya di sekolah tidak menyenangkan. Pada masa ketika tubuh perempuan mulai berkembang berkat pubertas, lulusan Psikologi sebuah universitas di Bandung itu pernah mengalami perundungan bahkan pelecehan seksual dari rekan-rekannya di sekolah.

“Itulah alasan utama kenapa aku berubah menjadi pick-me-girl saat SMP,” kenang Tiffany. Ia lebih akrab dengan kawan-kawan laki-lakinya. Menurutnya, berteman dengan perempuan saat itu menakutkan, sebab bullying justru datang dari sesama perempuan.

“(Saat itu) parah banget. Aku benci cermin. Aku nggak suka menunjukkan sedikit pun kulitku,” lanjutnya. “That’s it. I hated being a girl, I hated being myself. I hated living. Kadang tiap hari penginnya hilang dari dunia. Kadang ngerasa orang paling jelek di dunia, so I didn’t deserve any act of kindness.

Tiffany menutup dengan getir, “Kupikir aku nggak pantas dicintai orang lain. I was struggling a lot. It was horrifying and suffocating.

Support System: Sahabat Perempuan Bikin Berdamai dengan Diri Sendiri

Ketika girlhood jadi pengalaman kesepian, hadirnya sistem pendukung seperti sahabat perempuan memberikan pengalaman berbeda.

Namun hal itu juga tidak serta-merta terjadi. Hal-hal buruk berkaitan dengan lingkungan yang membuat perempuan saling menjatuhkan satu sama lain, kadang membuat kita resisten terhadap potensi memiliki teman perempuan yang baik.

Buatku sendiri, dengan pengalaman dirundung sesama perempuan selama enam tahun duduk di bangku SD, butuh waktu sangat lama untuk menyadari bahwa ada pertemanan perempuan yang bisa menjadi sistem pendukung. Kesadaran itu datang padaku berbelas-belas tahun kemudian, ketika sudah menjadi pekerja.

Sementara Rae menyebut, sebagai anak tunggal, ia tidak paham rasanya punya sistem pendukung yang bisa mengarahkan dirinya. Hal itu berlangsung sampai ia duduk di bangku SMA, ketika ia akhirnya menemukan sirkel pertemanan yang tepat dan bertahan sampai saat ini.

“Jadi ya, girlhood pada satu titik bikin ngerasain sisterhood,” tutur Rae.

Baca Juga: Normalisasi Bahasa Jawa Lewat Lagu Dangdut Koplo Denny Caknan

Hal yang sama juga diutarakan oleh Gem. Menurutnya, ia pertama kali bertemu dengan kawan-kawan perempuan yang supportif saat menjelang lulus SMP. Sejak itu, Gem mulai berpikir untuk mencintai dirinya sendiri. Mereka masih bersahabat sampai sekarang.

“Makanya kayak aku berutang hidup ke mereka,” ungkap Gem. “Mereka membantuku melewati berbagai hal. Aku punya banyak banget teman perempuan yang peduli,” ia melanjutkan. “Sekarang aku bisa bilang kalau aku suka menjadi perempuan.”

Kalau menurut Tiffany, momen dukungan dari sesama perempuan itu dirasakannya saat menginjak bangku kuliah. Kawan-kawannya di masa kuliah membantunya menerima dan menjalani hidup lebih baik sebagai perempuan. “Mereka mendorongku untuk senyum, ketawa, dan jadi diriku sendiri,” ungkap Tiffany.

Tapi hal itu tidak serta-merta dirangkulnya. Sempat terselip rasa takut dan ragu akan lingkungan yang tiba-tiba begitu menerima dan mendukung dirinya. Ia bahkan sampai bolak-balik mempertanyakan hal itu ke psikolog. “Memangnya aku pantas dicintai? Boleh nggak sih, aku punya orang-orang kayak mereka di hidupku?” Berbagai pertanyaan itu menghantui benak Tiffany. “Cukup pantaskah aku temenan sama mereka?”

Waktu berjalan dan pertanyaan Tiffany pun terjawab. Teman-teman perempuannya membuktikan bahwa ia berhak disayangi dan menyayangi diri sendiri. “Mulai percaya diri. I embrace my girlhood. I can finally say female friendships mend everything,” kata Tiffany. “And I love being a woman.

(Sumber Gambar: IG Devina Renata via Popmama)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!