Perempuan Mengolah Energi Terbarukan, Sayang Tak Didengar Pemerintah 

Pusing dengan harga elpiji yang tinggi, Satuf Hidayah dan para ibu di Salatiga kemudian membuat energi biogas yang mereka olah sendiri. Tapi sayang, usaha mereka tak didengar pemerintah.

Bagi Ibu Satuf Hidayah, penggunaan gas elpiji untuk memasak selama ini dirasakan cukup membebani pengeluaran belanja rumah tangganya. Ini juga dialami para ibu tetangganya di Salatiga, Jawa Tengah. Selama ini mereka harus membeli 1 tabung gas ukuran 3 kg untuk kebutuhan memasak selama seminggu. Ini dirasakan berat.

(Satuf Hidayah.)

Melihat kondisi ini, lalu Ibu Satuf Hidayah bersama ibu-ibu lainnya seperti Ibu Nurul Munawaroh, Ibu Theofany Zahra, dan Ibu Endang Dwijayanti yang tergabung di Balai Perempuan tak mau tinggal diam. Mereka lalu mengikuti workshop yang diadakan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI). Workshop ini diadakan di tahun 2019.

Dari workshop tersebut mereka kemudian belajar bagaimana membuat energi biogas menggunakan minyak jelantah atau minyak bekas dengan menggunakan tungku biogas jolento, dan septic tank biogas komunal untuk menampung limbah organik. Limbah organik mereka dapatkan dari kotoran hewan dan sampah organik lain seperti sisa konsumsi sayur dan buah yang ada di sekitar mereka

Sebelum mengikuti workshop, Satuf Hidayah dan ibu-ibu di Salatiga ini belum punya pandangan soal bagaimana mereka mendapatkan energi murah yang bisa mereka olah sendiri. Mereka menerima saja keadaan energi yang disediakan seperti gas elpiji tanpa menyadari bahwa sumber energi fosil ini akan habis pada suatu waktu.

Ketersediaan gas elpiji semakin menurun seiring waktu. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana nasib mereka di masa depan. Untuk itulah setelah workshop pembuatan energi biogas tadi, Satuf Hidayah mendirikan PIPA yaitu Pusat Informasi Pengaduan dan Advokasi di Balai Perempuan Salatiga.

“Di sini diberikan akses pengetahuan kepada masyarakat berupa apa itu energi terbarukan, bagaimana energi bisa dihemat. Kami juga mengajari bahwa perempuan harus kritis misalnya komplain bila mendapatkan isi tabung gas elpiji yang tidak sesuai dengan isi seharusnya, tidak hanya diam dan menerima begitu saja. Dan yang terpenting adalah tentang edukasi bagaimana energi fosil akan habis dan perempuan harus dapat mempersiapkan diri dengan energi terbarukan,” kata Satuf Hidayah ketika dihubungi Konde.co—11 Februari 2023.

Dari PIPA di Balai Perempuan inilah masyarakat kemudian mengenal apa itu energi biogas. Energi biogas adalah bentuk energi yang diperoleh dari proses fermentasi bahan organik seperti limbah pertanian dan kotoran hewan.

Penggunaan biogas pertama oleh manusia sendiri diperkirakan berasal dari tahun 3000 SM di Timur Tengah, saat orang Assyria menggunakan biogas untuk memanaskan air mandi mereka. Kemudian tercatat seorang ahli kimia pada abad ke-17, Jan Baptist van Helmont, menemukan bahwa gas yang mudah terbakar bisa berasal dari bahan organik yang membusuk.

Energi fosil seperti gas elpiji memang memudahkan hidup kita saat ini, namun ini tidak dapat berlangsung selamanya. Ibu-ibu di Salatiga ini sadar betul bahwa sumber energi fosil akan habis dan mempertimbangkan alternatif lain seperti energi baru terbarukan atau EBT. Bergantung pada satu sumber energi seperti gas elpiji membuat mereka rentan terhadap fluktuasi harga dan ketersediaan.

Tak jarang para ibu ini harus memutar otak untuk membeli gas elpiji agar bisa memasak, padahal ini seharusnya bisa dikurangi. Energi biogas dari limbah organik seperti kotoran hewan dan sisa konsumsi sayur atau buah, bisa menjadi solusi untuk membantu perempuan memenuhi kebutuhan energi mereka.

“Ya sejak kita menggunakan biogas, pembelian gas elpiji jadi berkurang, misalnya 4 tabung sebulan, menjadi hanya membeli 2 tabung saja.” jelas Satuf Hidayah.

Pengalaman Perempuan Mencoba Energi Biogas

Satuf Hidayah menjelaskan bagaimana ia membuat energi biogas. Pertama-tama ia mengumpulkan limbah organik berupa sisa konsumsi buah dan sayur dari sampah rumah tangga.

(Instalasi energi Biogas. Foto: Satuf Hidayah.)

Limbah organik ini kemudian ditampung di wadah air cucian beras selama 4 hari sampai membusuk. Kemudian dimasukkan ke dalam sumur dan dialirkan ke septic tank komunal. Setelah itu energi biogas dapat dihantarkan melalui paralon ke rumah dan dapat digunakan untuk memasak seperti menggunakan gas elpiji.

(Wadah dan pipa yang digunakan untuk menampung limbah organik dan menyalurkannya ke dalam rumah. Foto: Satuf Hidayah.)

“Peralatan seperti kompor dan selang gas, sama seperti untuk kompor elpiji, yang beda hanya detektornya saja. Perlu diingat bahwa dalam pemilahan limbah organik ini, jangan sampai bercampur dengan kunyit, sabun dan karbol ya, karena akan mematikan bakteri.” tambahnya.

Proses pembuatan energi biogas sangat sederhana dan dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi yang tersedia. Masyarakat khususnya ibu-ibu dapat memanfaatkan limbah organik yang tersedia di sekitar mereka dan mengubahnya menjadi sumber energi yang berguna. Ini akan membantu mereka menghemat biaya dan memastikan bahwa mereka memiliki akses ke sumber energi yang stabil dan terjangkau. Biaya untuk pembuatan energi biogas ini menghabiskan sekitar 15 juta rupiah. Besar di awal namun ampuh untuk menghemat beberapa tahun bahkan puluhan tahun kedepan.

Suara Perempuan Tidak Cukup Didengar Dalam Perumusan Kebijakan Energi

Satuf Hidayah menyayangkan, pemerintah selama ini tidak melibatkan perempuan di Musrenbang tingkat desa. Padahal dengan temuan energi biogas ini, Satuf Hidayah dan ibu-ibu disana ingin sekali berbagi soal ini, syukur-syukur pemerintah akan mengadopsi gagasan ini.

“Kami tiba-tiba diundang di Musrenbang yang sudah di tahap (Rancangan Awal) Ranwal penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), jadi Musrenbang yang kami hadiri tidak mengakomodir usulan dari desa mengenai kebutuhan energi biogas, karena pada Musrenbang Kecamatan, tidak mengundang anggota Balai Perempuan sehingga isu biogas ini berlalu begitu saja.”

Perempuan harus terlibat dalam proses merancang dan menentukan energi terbarukan yang tepat untuk kondisi dan kebutuhan mereka. Sayangnya, seringkali suara perempuan tidak didengar dan tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Dengan suara mereka yang didengar, ibu-ibu dapat memastikan pembuatan dan penggunaan energi terbarukan dilakukan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka juga akan merasa terlibat dan merasa memiliki kendali atas energi yang digunakan.

Selain peralatan energi biogas yang perlu dimasukkan dalam anggaran pemerintah, akses program pendidikan dan demonstrasi teknologi energi terbarukan harus diberikan kepada masyarakat. Ini untuk membantu mereka memahami bagaimana cara memanfaatkan sumber energi ini.

“Pemerintah berkewajiban memastikan bahwa masyarakat memiliki akses ke sumber energi yang terjangkau dan stabil di masa depan. Jangan sampai merasa khawatir tentang masa depan energi yang akan digunakan. Bagaimana jika suatu saat gas elpiji sudah tidak lagi digunakan dan harus beralih ke sumber energi lain yang mungkin sulit didapatkan atau harganya mahal. Oleh karena itu, mereka membutuhkan informasi dan pemahaman yang lebih baik mengenai sumber energi alternatif agar dapat bersiap-siap,” ujar Satuf Hidayah.

Menurut kajian Bank Dunia (2003), ada ketimpangan tugas antara perempuan dan laki-laki terutama di kawasan perdesaan. Tugas dasar rumah tangga seperti memasak, mencari kayu bakar, mengambil air, mengurus ternak, hingga merawat anak menjadi tugas yang dominan dilakukan perempuan. Sementara itu laki-laki mengambil peranan untuk hal-hal teknis dan finansial di rumah, seperti memperbaiki rumah dan membeli serta menjual aset.

Mengutip laporan IERS Perempuan Bicara Energi: Akses Energi Bersih untuk Pemberdayaan dan Kesetaraan Perempuan Indonesia (2017)[MOU1] , pekerjaan yang dilakukan perempuan di rumah sangat berkaitan erat dengan energi. Memasak, misalnya, mensyaratkan perempuan untuk mencari bahan bakar dan memastikan kebutuhan makan keluarga terpenuhi dengan sumber energi yang ada. Mengambil air untuk kebutuhan rumah juga erat kaitannya dengan ketersediaan pompa air atau air yang terdistribusi. Merawat dan mendampingi anak juga berarti menyediakan waktu untuk menemani mereka belajar, yang bila dilakukan di malam hari memerlukan penerangan yang memadai. Energi tentu saja memiliki dimensi gender, karena dalam lingkup rumah tangga, perempuan adalah pengguna energi yang dominan. Ketiadaan akses energi, karenanya, juga menimbulkan dampak yang signifikan pada perempuan.

Transisi energi dari energi fosil menuju energi terbarukan adalah hal yang mutlak harus dilakukan. Namun, perubahan ini tidaklah mudah. Banyak hal yang harus disiapkan sejak sekarang agar transisi ini berlangsung dengan lancar. Bukan hanya energi untuk memasak, persoalan energi listrik juga terjadi di Halmahera Tengah.

Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia/ YLKI, dan IESR yang tergabung dalam kemitraan stategis SP Energy dengan dukungan Hivos kemudian melakukan sosialisasi dan advokasi di Halmahera Tengah soal ini.

“Kami mengupayakan energi di sana karena lokasi yang jauh dan sulit padahal kebutuhan energi sangat tinggi. Listrik sering dipadamkan sewaktu-waktu.” jelas Muntakhanah staf divisi penguatan organisasi sekretariat nasional Koalisi Perempuan Indonesia.

Kemudian melalui Balai Perempuan yang memiliki anggota ibu-ibu sebanyak 30 orang, membentuk PIPA (Pusat Informasi Pengaduan dan Advokasi).

“Akhirnya listrik yang padam dinegosiasikan dengan PLN. Sebelum listrik padam, harus ada pemberitahuan lewat mushola sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri.” Selain membantu advokasi terkait energi listrik, KPI juga mengajarkan tentang energi terbarukan. Tidak hanya fokus pada praktek penggunaan EBT, tapi juga pada penyadaran ke masyarakat tentang energi fosil yang semakin menipis dan tidak ramah lingkungan.” ujar Mun.

Apa Pentingnya Energi Terbarukan?

Energi fosil, seperti minyak dan batu bara, telah menjadi sumber utama bagi manusia selama beberapa abad. Namun, dengan berkurangnya sumber daya alam dan meningkatnya permintaan global, sumber energi ini semakin menipis. Ini berarti bahwa suatu hari nanti, sumber energi fosil ini akan habis dan manusia tidak akan memiliki sumber energi yang dapat diandalkan lagi. Penggunaan energi fosil terus menerus mengakibatkan pemanasan global dan cuaca ekstrem yang sudah terjadi beberapa tahun lalu.

Masyarakat saat ini hidup dengan kebiasaan memakai peralatan yang sangat konsumtif, seperti air conditioner (AC), kendaraan, dan produksi yang berlebihan seperti industri makanan dan fashion. Ini menyebabkan manusia sangat sulit untuk menghemat energi. Padahal, penghematan energi adalah hal yang sangat penting dilakukan demi menjaga lingkungan dan menghindari masalah energi yang lebih besar di masa depan. Peningkatan jumlah manusia di dunia juga berpengaruh pada permintaan energi yang semakin tinggi. Oleh karena itu, manusia harus segera beralih ke energi terbarukan sebagai solusi masalah energi dan dampak yang terjadi terhadap bumi kedepannya.

Energi terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan yang dikelola dengan baik seperti: panas bumi, hidro, bioenergi, surya, angin, dan laut. Energi terbarukan berbeda dengan sumber energi fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam yang sangat terbatas dan akan habis suatu saat.

Tetapi, untuk beralih ke energi terbarukan, manusia harus bersedia untuk berinvestasi dan berubah dari kebiasaan konsumtif dan tidak peduli akan masa depan energi. Ini tidak akan mudah, tetapi harus dilakukan untuk memastikan masa depan yang lebih cerah bagi generasi mendatang. Jika manusia tidak beralih sekarang, suatu saat nanti kita akan menyesal karena tidak bertindak cepat untuk mengatasi masalah ini. Mulai lah dari diri kita sendiri seperti mematikan lampu/listrik jika tidak digunakan, mengurangi penggunaan kendaraan energi fosil, dan sebagainya.

Kenapa Indonesia perlu segera melakukan transisi energi: Menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sesuai persetujuan Paris (Dideklarasikan pada konferensi iklim tahunan dunia/COP 21 di Paris 2015 oleh 195 negara. Untuk menjaga kenaikan suhu bumi di < 2o C (posisi saat ini di 1,2o C)), mencegah kerusakan muka bumi yang mengurangi daya dukung lingkungan dan aktivitas ekonomi, mendapatkan harga energi yang kompetitif, mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Pemerintah juga sudah memasukan kebijakan pengembangan pembangkit listrik terbarukan melalui Kementerian PPN/Bappenas di dalam arah kebijakan pembangunan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN 2020-2024), antara lain isinya sebagai berikut:

1.Peningkatan efisiensi pemanfaatan energi dan tenaga listrik.

Perbaikan sistem transmisi dan distribusi; sistem informasi dan kontrol data; jaringan cerdas; teknologi yang lebih efisien dan rendah emisi.

2.Diversifikasi energi dan ketenagalistrikan.

Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk listrik; pengembangan microgrid off-grid; energi storage system (termasuk baterai); solar rooftop; industri sel surya; serta pelaksanaan konservasi dan efisiensi energi

3.Penguatan dan perluasan pelayanan pasokan

Kawasan prioritas; bantuan pasang baru; penyediaan energi primer; kemampuan enjinering nasional; pendukung kendaraan listrik; clean cooking.

4.Peningkatan tata kelola energi dan ketenagalistrikan

Kelembagaan (perkuatan pengaturan dan operator sistem transmisi); mendorong  kebijakan  harga/tarif  energi.

5.Pengembangan kebijakan pendanaan dan pembiayaan

Subsidi tepat sasaran; penyesuaian tarif listrik; pembiayaan murah, alternatif instrumen dan leverage asset; pengembangan skema pendanaan yang cocok dan berkesinambungan.

Bidang Energi Masih Dianggap Maskulin

Ketidakadilan gender masih merupakan masalah serius yang terjadi dalam rumah tangga Indonesia. Dalam hal ini, perempuan seringkali harus memikul beban domestik seperti masak, membersihkan rumah, dan mengurus anak-anak. Sementara laki-laki biasanya merasa bebas dari tanggung jawab domestik dan menganggap tugas-tugas ini bukanlah urusannya, termasuk masalah ketersediaan energi di rumah. Laki-laki terbiasa dengan pembagian tugas yang tidak adil gender dan tidak memahami pentingnya masalah domestik. Gap ini membuat mereka kurang bersosialisasi dengan keluarganya sendiri sehingga tidak memahami perasaan dan kebutuhan istri dan anak-anak.

Perempuan dalam rumah tangga adalah pengguna energi terbesar, sedangkan laki-laki selama ini menganggap bahwa urusan memasak, penerangan, dan kebutuhan air menjadi tanggung jawab perempuan saja. Seperti yang disampaikan staf divisi penguatan organisasi sekretariat nasional Koalisi Perempuan Indonesia, Muntakhanah, pengguna kebutuhan energi yang paling banyak yaitu perempuan. Peran tradisional masih didominasi perempuan sebagai penyedia kebutuhan domestik. Meskipun diketahui bahwa perempuan sebagai pengguna energi paling banyak, namun perempuan hanya ditempatkan sebagai obyek.

“Meskipun perempuan adalah pengguna energi terbesar, bidang energi masih dipandang sebagai hal yang maskulin. Dalam industri energi ini, pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan teknologi dan teknik masih dominan dilakukan oleh laki-laki. Sehingga, perempuan sering enggan untuk memasuki bidang ini karena merasa tidak memahami atau tidak tertarik pada bidang ini.” ujar Mun.

Ini mengakibatkan ketidakadilan bagi perempuan dalam memperoleh informasi dan pemahaman tentang energi. Karena perempuan tidak memiliki pemahaman dan informasi yang cukup tentang energi, mereka tidak dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan tentang energi. “Seringnya perempuan di tingkat bawah atau desa tidak dilibatkan dalam Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan) atau diskusi tentang alokasi Dana Desa,” tambahnya.

Kebijakan tentang energi harus memperhatikan peran perempuan dan memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif. Hal ini akan membantu perempuan memahami dan berpartisipasi dalam menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan tentang energi, sehingga mereka tidak hanya menjadi pengguna tetapi juga pembuat kebijakan.

Masa Depan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET)

Sejumlah lembaga lingkungan melakukan konferensi pers soal bagaimana memperjuangkan energi terbarukan ini di Indonesia. Hingga sekarang, perjuangan ini masih pelik, seiring dengan adanya perjuangan Rancangan Undang-Undang Energi Terbarukan (EBET)

Dalam pernyataan sikap tentang salah arah RUU EBET pada (6/2), para aktivis menuliskan, dalam RUU EBET, produk-produk turunan batu bara–seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal)–dibungkus sebagai ‘energi baru’. Ini jelas menghambat penurunan emisi gas rumah kaca dan merupakan kemunduran untuk proses transisi energi.

Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, mengatakan jenis ‘energi baru’ bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Sumber energi baru seperti batu bara bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tetapi juga membebani keuangan negara. Gasifikasi batu bara, misalnya, diperkirakan akan merugikan negara sebesar US$377 juta per tahun.

Selain itu, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan. Biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU, sehingga seharusnya tidak direkomendasikan sebagai energi terbarukan. Karbon dioksida (CO2) dari deforestasi yang lepas ke atmosfer tidak serta-merta bisa diserap pohon. Sebaliknya, pembakaran biomassa hutan menciptakan “utang karbon” atau kelebihan karbon di atmosfer.

Dalam RUU EBET, selain batu bara, ada nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Padahal jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, pembangunan dan penggunaan nuklir memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal–merujuk World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019. Adapun WNISR 2022 mencatat, biaya pembangunan pembangkit energi matahari turun hingga 90 persen dan angin turun 72 persen, sedangkan nuklir justru naik 36 persen.

Muntakhanah menanggapi RUU EBET khususnya poin sumber energi baru yang mencakup pemanfaatan energi fosil dan produk turunannya serta energi nuklir yang merupakan energi tidak terbarukan. “Tentu ada perbedaan dampak pada lingkungan dan kesehatan dari penggunaan energi terbarukan dibandingkan energi fosil dan nuklir. Kepentingan Koalisi Perempuan Indonesia tentu bagaimana memastikan perspektif gender dan inklusi sosial menjadi hal yang mendasari kebijakan energi[MOU2] .” jelas Mun.

(Liputan ini mendapat dukungan Fellowship Clean, Affordable and Secure Energy for Southeast Asia/ CASE, program antar pemerintah Jerman – Indonesia melalui kemitraan konsorsium di Asia Tenggara)

Ardiles dan Ika Ariyani

Tim Konde yang meliput isu Energi Terbarukan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!