Saya Mengalami KDRT Karena Coming Out Orientasi Seksual

Ketika coming out atau membuka diri atas pilihan orientasi seksual saya sebagai lesbian, keluarga tidak mau terima dan melakukan kekerasan. Bagaimana hukum menyelesaikan kasus seperti ini yang marak sekali terjadi?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya: Halo kakak di Klinik Hukum bagi Perempuan, perkenalkan nama saya Meytha (19 tahun), mahasiswa, saya tinggal di Jakarta menumpang di rumah bibi (adik dari almarhum bapak saya). 10 hari lalu, paman (suami dari bibi) melakukan kekerasan kepada saya karena ketahuan jika saya adalah seorang lesbian. Saya mengalami luka parah karena kekerasan ini hingga di rawat 4 hari di rumah sakit. Biaya rumah sakit ditanggung oleh saya sendiri karena bibi tidak punya uang. Sekarang saya sudah kembali ke rumah bibi, bertemu paman tapi dia seperti tidak menyesal telah melakukan kekerasan kepada saya. Saya ingin keadilan, saya sudah bicara pada ibu di kampung jika saya akan kost lalu memperkarakan tindakan paman saya secara hukum. Namun kata pacar saya, jika lapor polisi sudah terlambat, tidak bisa visum karena luka saya sudah sembuh. Selain itu, orientasi seksual saya malah akan terungkap di kepolisian. Sehingga saya bisa saja justru yang dipersalahkan oleh polisi karena saya lesbian. Saya jadi bingung, upaya hukum apa yang bisa dilakukan agar saya dapat keadilan? Jika tidak memungkinkan untuk lapor polisi karena masalah visum dan orientasi seksual, minimal paman saya bisa dihukum ganti rugi uang atas biaya rumah sakit yang saya tanggung, begitu saran ibu saya yang geram atas perbuatan paman kepada saya. Tapi, bagaimana caranya? Mohon bantuan saran-saran hukumnya. Terima kasih. (Meytha, Jakarta)

Jawab: Halo Meytha, terimakasih sudah menghubungi kami. Perkenalkan, saya Sri Agustini, salah satu pengasuh Klinik Hukum bagi Perempuan. Saya akan menjawab pertanyaan mengenai penyelesaian masalah kekerasan yang kamu hadapi. Semoga jawaban yang akan saya uraikan di bawah ini, dapat membantu kamu dalam mencari keadilan hukum.

Pertama, perlu saya jelaskan, bahwa kekerasan yang dilakukan oleh paman kepada kamu merupakan lingkup dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), yang diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), bahwa ruang lingkup KDRT meliputi pihak-pihak di bawah ini:

1. Suami, istri, dan anak;

2. Orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik karena darah, perkawinan persusuan, pengasuhan, dan yang menetap dalam rumah tangga;

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap di dalam rumah tangga tersebut.

Sifat dari KDRT juga sangat khas, yaitu terjadi dalam hubungan relasi personal, dimana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat dengan korban, misalnya kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri, ayah kepada anak, paman kepada keponakan, kakek kepada cucu.

Adapun definisi KDRT disebutkan dalam Pasal 1 UU PKDRT sebagai: “… perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Dalam hal ini, tindakan kekerasan yang dilakukan oleh paman kepada kamu telah memenuhi definisi KDRT di atas, yaitu perbuatan terhadap (berbasis gender), dan mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikologis dan bahkan ekonomi, karena biaya rumah sakit harus ditanggung oleh kamu seorang diri.

Selanjutnya, mengenai upaya hukum, apakah kamu bisa melaporkan paman ke kepolisian tanpa visum et repertum karena luka fisik telah hilang?

Dalam kasus KDRT, visum et repertum memang merupakan alat bukti penting, yang membuktikan bahwa kamu mengalami kekerasan. Namun, jika luka fisik atau tanda kekerasan telah hilang, kamu tetap dapat melaporkan pelaku ke polisi. Sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan kamu sendiri sebagai saksi/korban, disertai dengan alat bukti yang sah lainnya, misalnya keterangan saksi yang melihat kejadian, keterangan terlapor, keterangan ahli, surat medis dari rumah sakit, photo-photo bekas luka, atau petunjuk lainnya.

Dasar hukumnya Pasal 55 UU PKDRT, yang menyatakan bahwa: “Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.

Kedua, terkait dengan orientasi seksual, pada saat melapor ke polisi, walaupun tersangka menyatakan bahwa motifnya melakukan KDRT dikarenakan kamu lesbian, kamu tidak akan dipersalahkan oleh polisi/penyidik. Jadi walaupun motif digali pada saat pemeriksaan baik saksi maupun tersangka, namun motif tidaklah penting, karena pokok perkaranya atau materiilnya adalah perbuatan dari tersangka itu sendiri kepada kamu, yaitu, memenuhi unsur sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.

Perlu kamu ketahui juga, di dalam pemeriksaan saksi/korban, saksi lainnya, maupun tersangka di Kepolisian, profesionalitas polisi harus diutamakan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 7/2006) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap 8/2009).

Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa:

 a)   Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan;

b)   Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas;

c)    Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat;

d)   Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan;

e)   Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat;

f)   Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan;

g)   Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan

h)   Merendahkan harkat dan martabat manusia.

Dengan demikian, kamu tidak perlu takut untuk melaporkan kasus yang kamu alami ke polisi. Jika menemukan polisi yang bersikap diskriminatif atas orientasi seksual kamu pada saat melaporkan KDRT yang kamu alami, laporkan perbuatan tercela polisi tersebut ke Sentra Pelayanan Propam di gedung utama Mabes Polri.

Ketiga, mengenai keinginan untuk mendapatkan ganti rugi materiil atas biaya yang sudah kamu keluarkan untuk perobatan, bisa dilakukan melalui gugatan perdata perbuatan melawan hukum (gugatan PMH) ke Pengadilan Negeri di wilayah Tergugat (wilayah tempat tinggal paman). Dalam hal ini kamu menggugat paman atas perbuatan melawan hukum.

Sifat dari perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUHPerdata adalah:Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Adapun, unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan Pasal 1365 KUHPerdata adalah:

1. Harus ada perbuatan;

2. Perbuatan itu harus melawan hukum;

3. Ada kerugian;

4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dan kerugian;

5. Ada kesalahan.

 Jika dianalisis dari perkara yang kamu hadapi, seluruh unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi, yakni:

1.  Ada perbuatan KDRT yang dilakukan paman kepada kamu;

2. Perbuatan KDRT paman kepada kamu merupakan perbuatan yang dilarang UU PKDRT dan sifatnya melawan hukum;

3. Ada kerugian materiil dan imateriil yang kamu terima yakni secara materiil kamu harus membiayai biaya pengobatan dan secara imateriil kamu mengalami luka fisis dan psikis.

4. Dari poin 2 dan 3 terlihat jelas hubungan sebab akibat antara perbuatan paman dan kerugian yang kamu alami.

5. Kesalahan paman kamu sangat jelas dan dapat dibuktikan yaitu telah melakukan tindakan pidana yaitu KDRT, dalam hal ini surat laporan polisi, dapat dijadikan bukti kesalahan.

Keempat, karena usia kamu masih 19 tahun dan posisi kamu jauh dari ibu, maka sebaiknya di dalam menyelesaikan persoalan ini kamu meminta bantuan pendampingan hukum ke Lembaga Bantuan Hukum yang biasa mendampingi perempuan korban kekerasan, seperti mendatangi LBH APIK Jakarta atau Advokat Gender Kolektif.

Demikian penjelasan saya, semoga masalah yang kamu hadapi dapat segera diselesaikan, dan kamu didampingi oleh advokat/pengacara yang memiliki perspektif gender serta SOGIE-SC (sexual orientation, gender identity, expression and sex characteristic), untuk memastikan dan menjamin kamu mendapatkan keadilan sebagaimana yang kamu harapkan.   

(Jika kamu atau orang yang kamu kenal mengalami pelecehan seksual dan membutuhkan pendampingan hukum, kamu dapat menghubungi LBH APIK Jakarta atau Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender.)

 

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!