Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

Partai politik belum serius mendukung Capres dan perwakilan perempuan dalam Pemilu. Mereka membiarkan jika ada politisi perempuan yang vokal malah menjadi sasaran atau target dari ujaran kebencian dan jarang punya kesempatan untuk bicara

Kurangnya representasi perempuan dalam politik di Indonesia semakin terlihat menjelang tahun politik 2024. Wacana bakal calon presiden dan wakil presiden yang kita lihat di media, masih didominasi laki-laki.

M. Isnur, Ketua YLBHI, menekankan pentingnya membicarakan perempuan dan kesetaraan gender dalam politik dan perspektif hukum feminis. Menurutnya, sangat penting untuk memahami situasi dan perkembangan yang ada, yang tidak netral atau setara, tetapi merupakan produk dari budaya patriarki yang ada selama ini. Meskipun kesempatan yang sama mungkin tercantum dalam undang-undang, namun kesetaraan de facto belum sepenuhnya tercapai.

Ia mengutip Pasal 4 (1) Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk memastikan kesetaraan de facto bukan merupakan tindakan diskriminatif. 

Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan dan kesetaraan di muka hukum. 

“Setiap orang berhak atas pekerjaan yang layak dan kebebasan untuk berserikat dan berkumpul. Namun, apakah situasi panjangnya tatanan budaya dan kebijakan menciptakan posisi yang sama untuk perempuan? Hal ini sering menjadi pertanyaan bagi orang-orang yang tidak memahami kerangka hukum yang ada,” tegasnya. 

M. Isnur mengatakan ini pada diskusi yang diselenggarakan INFID pada 30 Maret 2023 lalu di Jakarta. Ia berpendapat bahwa teori feminisme harus digunakan dalam membicarakan kerangka hak. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 11 dan 17 tahun 2003 menunjukkan bahwa hak perempuan merupakan hak mendasar dan harus konsisten ditegakkan oleh regulasi.

Betty Epsilon Idroos, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, menyatakan bahwa pada Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024, tata cara penyelenggaraannya masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, sehingga secara prinsip sama dengan Pemilu tahun 2019.

Betty juga menegaskan bahwa perempuan tidak harus ditempatkan pada posisi angka tertentu, seperti di urutan 3, 6, atau 9. Penjelasan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. 

“Dalam pencalonan legislatif, minimal satu dari tiga kandidat harus perempuan. Namun, aturan mengenai penempatan perempuan tidak harus di urutan 3, 6, atau 9. Jika partai politik tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka KPU akan mengembalikan kepada partai politik untuk menyempurnakannya. Jika sampai masa Daftar Calon Tetap (DCT) masih belum memenuhi syarat, maka partai politik yang tidak memenuhi syarat tersebut tidak boleh ikut serta dalam pemilu” jelasnya.

30% Hanya Dijadikan Formalitas Tanpa Kesungguhan

Nurul Amalia Salabi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam diskusi yang sama menyatakan bahwa meskipun affirmative action dalam undang-undang pemilihan umum sudah ada sejak 2004, namun hingga saat ini, keterwakilan perempuan dalam politik masih rendah. 

Keterwakilan 30% perempuan dalam parlemen, yang diamanatkan oleh undang-undang, masih sulit tercapai. Masalahnya terletak pada partai politik yang tidak memberikan kesempatan yang sama pada perempuan dalam proses pencalonan. 

“Kemarin saya turun lapangan di Aceh, mereka bilangnya susah banget loh nyari calon perempuan. Akhirnya, ya yang mau aja atau istrinya siapa yang mereka memasukkan gitu hanya untuk memenuhi kuota keterwakilan di daftar calon itu yang harus 30%” tuturnya.

Pada tahun 2021, Perludem melakukan riset dan menemukan bahwa partai politik lebih memilih mencalonkan perempuan hanya untuk memenuhi kuota 30% tanpa memperhatikan kualitas calon tersebut. 

Ada juga kecenderungan masyarakat yang tidak percaya pada partai politik sehingga mereka menolak calon perempuan karena menganggap calon tersebut hanya menjadi ‘proxy’ dari politik yang korup. 

“Meskipun jumlah perempuan yang terpilih terus meningkat, namun masih dibutuhkan upaya lebih lanjut untuk mendorong partai politik memberikan kesempatan yang lebih baik bagi perempuan di dunia politik.”

Politik Pada Dasarnya Telah Dirancang Untuk Laki-laki

Rizka Antika dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), mengatakan bahwa ketika kita membicarakan representasi perempuan di politik, seringkali hanya melihat dari segi data kuantitatif saja. 

Padahal, untuk memahami mengapa perempuan sulit mencapai minimal kuota yang ditetapkan, diperlukan pemahaman dari sisi kualitatif. Rizka menekankan pentingnya memahami pengalaman khas perempuan yang seringkali dianggap sebagai opini, bukan sebagai data atau realitas yang perlu diperhatikan. 

“Bagaimana perempuan memiliki pengalaman yang khas hanya dilihat sebagai opini bukan dari sebagai data atau realita, seringkali pengalaman khas perempuan itu dinilai sebagai oh itu Anda doang personal Anda masalahnya padahal kan personal experience tentu untuk mengubah menyelesaikan permasalahan personal ini perlu ada intervensi politik di dalamnya” ujar Rizka.

Masalahnya, politik pada dasarnya telah dirancang untuk laki-laki sehingga ketika perempuan ingin terlibat dalam politik, mereka harus membayar harga yang lebih mahal karena harus menghancurkan hegemoni tersebut. Hal ini terkait dengan adanya bias gender yang membuat perempuan dianggap tidak cocok sebagai pemimpin politik.

Riset dari UN Women menunjukkan bahwa 90% masyarakat memiliki bias gender terhadap perempuan, bahkan lebih dari 50% menganggap laki-laki lebih cocok sebagai pemimpin politik. Hal ini terkait dengan pragmatik bias, yaitu anggapan bahwa perempuan sulit menang dalam politik sehingga lebih baik memilih laki-laki.

Meskipun affirmative action untuk pemilu legislatif sudah ada, namun untuk pemilu eksekutif belum ada. Ini terlihat dari tingkat keterwakilan perempuan dalam Pilkada kepala daerah yang hanya 9,03%. 

“Ini perlunya melakukan afirmasi untuk pemilu eksekutif agar perempuan dapat lebih banyak terlibat dalam politik.”

Kader Perempuan Berjibaku Sendiri Melawan Hegemoni

Nurul Amalia mengungkapkan kekhawatirannya bahwa perempuan sering kali dibiarkan berjuang sendiri dalam ruang budaya yang patriarkis. Menurutnya, dalam ruang sosial yang patriarkis, narasi yang lebih banyak didengar oleh perempuan adalah kewajiban yang memberatkan perempuan, daripada narasi yang bicara tentang hak-hak perempuan.

Salah satu contoh yang ia temukan adalah ketika politisi perempuan yang vokal menjadi sasaran atau target dari ujaran kebencian. 

Nurul juga mengamati bahwa dalam media, politisi perempuan sering kali tidak mendapatkan ruang yang cukup untuk berbicara, dan dalam konteks Pemilu 2024, perempuan politisi jarang muncul sebagai calon yang ditonjolkan oleh media. 

“Hal ini bisa jadi disebabkan oleh kurangnya investasi dari partai politik pada kader perempuan mereka atau keberpihakan yang kurang dari media terhadap perempuan politisi. Ia menyayangkan bahwa perempuan politisi masih harus berjuang di dalam ruang kultur yang patriarkis.”

Pandemi baru-baru ini menunjukkan bahwa kepala pemerintahan perempuan cenderung lebih sukses dalam menangani pandemi COVID-19. Menurut Rizka Antika, karakteristik kepemimpinan yang dimiliki oleh perempuan, seperti empati, kerja sama, dan kemampuan untuk berkolaborasi dan mengayomi, dapat berhasil dalam menangani konflik, termasuk dalam penanganan pandemi. 

“Namun, sayangnya, karakteristik ini tidak banyak dilihat sebagai karakteristik yang ideal untuk menjadi pemimpin politik.”

Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan politik, Rizka menekankan pentingnya membangun narasi dan memberikan ruang bagi perempuan. 

“Sistem kuota yang hanya ada saat Pemilu tidak cukup, perlu ada sistem kuota minimal untuk perempuan dalam menjadi pemimpin di partai politik. Partai politik harus mulai berinvestasi pada perempuan dengan memberikan pendidikan politik dan membangun capacity building”.

Rizka juga menyoroti beban ganda yang masih harus ditanggung oleh perempuan, seperti kurangnya ruang pengasuhan anak yang gratis dan lingkungan kerja yang ramah anak. Oleh karena itu, keluarga dan sistem pendukung sangat penting dalam mendukung perempuan untuk terlibat di dalam ruang publik.

“Dia masih punya beban ganda. Apakah negara kemudian menyediakan ruang pengasuhan anak yang gratis, lingkungan di setiap tempat pekerjaan itu apakah sudah ramah anak dan sebagainya, agar perempuan juga merasa aman ketika dia mau terlibat di dalam ruang publik. Biasanya keluarga itu akan terbiasa dan mereka akan menjadi ada yang namanya supporting system” tutupnya.

“Demokrasi itu membutuhkan perempuan. Karena akan membuat situasi yang penuh akan kecermatan, warna dan pemihakan. Lebih dari itu dia membuka jalan untuk masuknya perspektif kelompok rentan” tutup Bivitri Susanti, pakar hukum STH Jentera.

Dengan adanya kesadaran dan upaya konkret dari semua pihak, diharapkan kedepannya akan terjadi peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik dan parlemen di Indonesia. 

“Hal ini bukan hanya penting untuk menciptakan kesetaraan gender yang lebih baik, namun juga untuk menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan representatif bagi seluruh lapisan masyarakat.”

BACA JUGA:

Mengapa Perempuan Masih Alami Hambatan Terjun di Politik Praktis?

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!