Presiden Joko Widodo meminta dengan tegas adanya pemisahan antara olahraga dan politik. Pidato itu disampaikan Jokowi pada 28 Maret 2023, tiga hari sebelum menerima surat pembatalan sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20.
“Dalam urusan Piala Dunia U-20 ini, kita sependapat dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya. Jadi, jangan mencampuradukkan urusan olahraga dan urusan politik,” kata Presiden.
Namun imbauan itu tenggelam oleh keputusan federasi sepak bola internasional FIFA. Setelah proses persiapan panjang dan penyelenggaraan yang tertunda akibat pandemi COVID-19, kebanggaan Indonesia yang dipilih sebagai tuan rumah pupus di tengah jalan. Israel, yang lolos Piala Dunia U-20 pada 25 Juni 2022 setelah menjadi runner up di Grup B, menjadi kerikil tajam yang memicu polemik.
Sebagian pihak menolak kehadiran tim Israel, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang keduanya akan menjadi tuan rumah, dan berbagai elemen organisasi Islam. Namun harus diakui mayoritas elemen masyakat bisa menerima kehadiran tim Israel lantaran semangat memisahkan isu olahraga dari urusan politik.
Sejarah Sepak Bola-Politik
Indonesia memiliki sejarah panjang terkait hubungan olahraga dan politik. Karena itu, apa yang disampaikan Jokowi soal memisahkan olahraga dan politik nampaknya akan sulit terwujud dalam waktu dekat.
“Sejarah sepak bola di Indonesia lekat dengan politik. Pada akhir abad 19, terdapat tiga kategori kelompok sepak bola, yaitu sepak bola kaum Belanda, kaum Bumiputra, dan kaum Tionghoa,” kata Sosiolog dari Universitas Widya Mataram, Yogyakarta, Dr Mukhijab.
Politisasi sepak bola dilakukan Hindia Belanda dengan mendirikan Nederlands Indische Voetbal Bond (NIVB). kelompok Tionghoa meresponsnya dengan mendirikan Commitee Kampionwed-strijdenTiong Hoa (CKTH). Sementara kelompok pribumi tergabung dalam organisasi kepemudaan berdasar daerah asal, seperti Jong Ambon, Jong Sumatera, dan Jong Java. Kelompok terakhir ini menjadi akar lahirnya Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1930.
Namun, sejak era kemerdekaan itu, klub dan organisasi sepak bola tidak pernah betul-betul steril dari politik.
“Orang-orang partai atau politisi menjadi pengurus atau manajer klub bola sebagai bagian dari strategi menjadikan bola sebagai alat mengangkat elektabilitas politik. Pengurus-pengurus PSSI, juga bagian dari relasi-relasi politik atau kekuasaan seperti pejabat teras, menteri, dan pengusaha,” lanjut Mukhijab.
Bahkan Erick Thohir, yang kini menjadi Ketua Umum PSSI, selain menjadi Menteri BUMN, juga digadang-gadang akan maju dalam kontestasi di 2024.
Namun, Mukijab menilai dalam kasus Piala Dunia U-20, terdapat anomali perilaku pejabat negara maupun politisi yang menyuarakan penolakan terhadap kehadiran Israel. Dia menilai, para politisi ini tidak memahami konsetalasi sepak bola dunia, tetapi memaksakan diri berpendapat.
“Mereka salah memahami, bahwa kultur sepak bola Indonesia dan dunia dianggap sama,” kata Mukhijab lagi.
Di tingkat lokal, pejabat publik berbicara terntang event sepak bola akan diterima. Namun, bagi FIFA perilaku ini dinilai sebagai intervensi. Statuta FIFA, lanjut Mukhijab, pada pasal 5 ayat 4 menyatakan bahwa sepak bola tidak boleh ada intervensi dan pesan politik, jargon dan provokasi politik.
Intervensi Pemerintah
Salah satu momen paling terlihat adalah ketika Gubernur Bali I Wayan Koster menolak kehadiran tim Israel ketika drawing atau pembagian grup peserta akan dilakukan. Tindakan ini tentu menjadi intervensi luar biasa, dari pihak di luar sepak bola, khususnya politisi, terkait proses penyelenggaraan Piala Dunia U-20. Apalagi, PDI-P sebagai partai pendukung utama pemerintah, ternyata justru bersikap serupa.
Ketua Umum PSSI Erick Thohir setelah bertemu Presiden Jokowi, Jumat (31/3), mengakui intervensi menjadi persoalan bagi FIFA.
“FIFA ini kan otoritas tertinggi sepak bola di dunia, tentu dengan segala keberatan-keberatan yang sudah ya disampaikan itu, FIFA melihat ini sebuah, ya kalau dibilang sebuah intervensi,” kata Erick.
“Banyak sekali FIFA itu menghukum ketika ada intervensi government gitu, tetapi di sini bentuknya kan intervensi,” lanjutnya.
Melihat kasus ini, Dr Mukhijab meminta pejabat dan politisi belajar fatsun atau etika politik.
“Politisasi sepak bola hanya berlaku pada level lokal atau nasional Indonesia, perilaku demikian tidak bisa digeneralisasi pada level internasional,” ucapnya.
Pelajaran kedua, kata Mukhijab, pejabat dan politisi juga harus sadar diri, bahwa politisasi sepak bola untuk keuntungan elektabikitas politik bisa menjadi bumerang.
“Sejauh masih ada pejabat dan politisi ingin menggunakan sepak bola sebagai alat politik, maka olahraga terpopuler di Indonesia ini tetap akan bersinggungan dengan politik,” tegasnya.
Pelajaran Pahit dari FIFA
Dosen dan peneliti sepak bola dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Dr. Filosa Gita Sukmono mengakui gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 adalah pelajaran berat. Memontum ini seharusnya menjadi kesadaran bahwa mengaitkan olahraga, khususnya sepak bola dengan politik, memiliki risiko besar.
“Ini jadi pembelajaran di tingkat Internasional. Kita harus benar-benar melihat bagaimana rule of the game dari FIFA. Kita enggak bisa dengan cara kita, karena yang punya sepak bola dunia adalah FIFA ketika kita bicara sepak bola dunia,” ujarnya kepada VOA.
Gita yang juga turut mengelola sebuah klub sepak bola di Yogyakarta mencatat sejarah panjang terkait isu sepak bola dan politik di Indonesia.
Di era perserikatan, yang berlangsung sebelum tahun 90-an, sepak bola Indonesia identik dengan politik, di mana klub dipimpin oleh kepala daerah atau politisi. Sepak bola adalah kendaraan politik. Di era lebih modern hingga saat ini, sebagian klub sudah dikelola profesional meski sebagian tetap memiliki nuansa politik.
“Kita sama-sama tahu, bahwa sepak bola adalah olahraga yang punya basis massa luar biasa. Dan dalam konteks politik, itu cukup menggiurkan untuk digunakan dalam banyak hal terkait elektabilitas dan lain sebagainya,” kata Gita.
Kultur politik di sepak bola dan olahraga secara umum ternyata belum bisa lepas sepenuhnya. Intervensi politis, yang terjadi terkait kehadiran tim sepak bola Israel dalam ajang Piala Dunia U-20, menjadi buktinya. FIFA, rupanya tidak bisa menerima masuknya politik dalam urusan-urusan terkait bola. Dicabutnya status Indonesia sebagai tuan rumah, adalah penegasan sikap FIFA terkait ini.
“FIFA memberikan kita semacam edukasi, bahwa sepak bola ke depan itu harus lepas dari intervensi, atau hal-hal yang sifatnya politik,” lanjutnya.
Pemerintah, kata Gita, memiliki ruang sendiri dalam pembinaan olahraga, misalnya terkait infrastruktur pendukung. Dalam penyelenggaraan Piala Dunia U-20 ini, peran itu juga terlihat misalnya dalam penyediaan stadion. Namun, pada proses penyelenggaraannya sendiri, pemerintah dan unsur politik satu negara, seharusnya mengambil jarak.
Perdebatan Politik
Di parlemen, perdebatan soal politik dan olahraga, khususnya sepak bola, sama serunya dengan pertandingan sepak bola di lapangan hijau.
Anggota DPR Komisi X dari PDI-P Andreas Hugo Pareira dalam pertemuan dengan Plt Menteri Pemuda dan Olahraga, Prof Muhadjir Effendy, Selasa (28/3), tegas menyebut olahraga terkait erat dengan politik.
“Ini sekarang berkembang di kita, seolah-olah olahraga itu tidak ada kaitannya dengan politik. Itu menurut saya, tidak benar,” kata Pareira.
Pareira juga mengatakan, “Olahraga an sich iya, pertandingan olahraga jangan dicampurkan dengan politik. Tapi event olahraga, proses menciptakan event olahraga, kan banyak hal keterkaitan dengan politik.”
Dalam pernyataan resmi, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Budisatrio Djiwandono bersikap sebaliknya.
“Partai Gerindra juga menggarisbawahi bahwa pada satu sisi, posisi kami dalam mendukung kemerdekaan Palestina tetaplah kokoh dan tidak berubah. Namun pada sisi lain, kami juga melihat bahwa esensi olahraga, merupakan sebuah manifestasi dari jiwa ksatria, dan tidak boleh dicampur-adukan dengan kepentingan politik manapun,” ujar Budisatrio, Kamis (30/3).
Keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 sudah dipastikan sejak Juni 2022. Karena itu, menurut politisi Partai Golkar Hetifah Sjaifudian, polemik ini terjadi justru karena lemahnya komunikasi PSSI dan pemerintah kepada masyarakat.
“Seharusnya, sebelum mengajukan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 di 2023 ini, PSSI harus lebih tegas dan intens menyuarakan baik ke pemda maupun juga kepada publik, terkait potensi keikutsertaan Israel. Istilahnya tes ombak isu di masyarakat,” ujarnya.
Sementara anggota Komisi I DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon bahkan menyebut FIFA menerapkan standar ganda terhadap Israel.
“Membela kepentingan Israel, sembari mengabaikan aspirasi negara-negara lain yang punya garis politik tegas terhadap Israel, membuat FIFA punya standar ganda dalam politik sepak bola,” kata Fadli, dalam pernyataan tertulis, Kamis (30/3).
Fadli Zon memaparkan FIFA juga berpolitik ketika menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan Belarusia terkait dengan perang di Ukraina.
Delapan Kali ke Indonesia
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sekaligus Plt Menteri Pemuda dan Olahraga Muhadjir Effendy mengakui kehadiran tim Israel ke Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali.
“Kehadiran tim ataupun delegasi Israel itu bukan kali pertama ini. Berdasarkan catatan saya, sepanjang era reformasi ini, sudah delapan kali tim Israel dan delegasi Israel, baik itu tim olahraga maupun yang non-olahraga,” ujarnya.
Dari penelusuran yang dilakukan, beberapa atlet Israel yang pernah bertanding di Indonesia adalah Misha Zilberman untuk cabang bulutangkis pada 2015. Lalu ada Yuval Shemia dan Noa Shiran, yang mengikuti kejuaraan panjat tebing pada 2022. Di ajang balap sepeda, tampil Mikhail Yakovlev, Rotem Tene, dan Vladyslav Loginov bahkan baru pada Februari 2023.
Sementara di ajang non-olahraga, parlemen Israel juga berkunjung pada 20-24 Maret 2022 lalu dalam sidang Inter-parliamentary Union (IPU) ke-144 di Bali. Pada Agustus 2023, Israel rencananya juga ambil bagian dalam World Beach Games 2023 di Bali. Belum diketahui apakah nasib cabang olahraga ini akan sama seperti sepak bola.
Terjadi pada Orde Lama
Indonesia sendiri, pada era Orde Lama memang mengaitkan olahraga dan politik. Presiden Soekarno misalnya, pada 1962 menolak keikutsertaan Israel dan Taiwan pada Asian Games IV di Jakarta, dengan alasan ketiadaan hubungan diplomatik. Saat itu, Indonesia memiliki hubungan erat dengan China, yang juga tidak mengakui Taiwan.
Soekarno bahkan kemudian mendirikan Games of the New Emerging Forces(GANEFO), setelah protes Komite Olimpiade Internasional (KOI) pasca Asian Games IV itu. Diselenggarakan pada November 1963, GANEFO diikuti sekitar 2.700 atlet dari 51 negara Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin.
Karena GANEFO ini pula, KOI menangguhkan keanggotaan Indonesia dan tidak bisa berpartisipasi pada Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo.
Artikel ini pertama kali ditayangkan di VOA Indonesia.