Cuplikan trailer film 'Onde Mande!' (Sumber foto: tangkapan layar dari YouTube Visinema Pictures)

‘Onde Mande!’ Dilema Warga Desa Sigiran di Tengah Mimpi dan Kemiskinan

‘Onde Mande!’ adalah film yang mengangkat budaya Minang berdasarkan kisah kehidupan masyarakat desa Sigiran di tepi danau Maninjau, Sumatera Barat. Seorang pensiunan guru bernama Angku Wan berusaha memenangkan sayembara senilai Rp 2 miliar untuk membangun desa. Di tengah dilema dan kemiskinan, akankah dia bersama warga desa berhasil?

Penat dari riuh Kota Jakarta seakan lenyap sesaat mata dimanjakan dengan pemandangan salah satu desa di Sumatera Barat. Sigiran diceritakan sebagai desa yang dipenuhi dengan budi daya hewan laut. Dipenuhi juga dengan pemandangan danau dan tumpukan perahu sederhana untuk mata pencaharian warga sehari-hari.

Premisnya sederhana, tetapi menarik. Soal mimpi suatu warga atas pembangunan desanya lewat hadiah sayembara. Harapan Angku Wan (Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto) ingin diteruskan oleh tetangga terdekatnya dengan berbagai cara walau mengundang dilema soal kejujuran. Kita tidak benar-benar diberi tahu mengapa cita-cita Angku Wan begitu berarti untuk dirinya semasa hidup, hanya digambarkan lewat upayanya membuat sketsa sederhana dalam buku tulis. 

Namun yang pasti, kedekatan, solidaritas, dan kekeluargaan antarwarga menunjukkan pengorbanan atas keputusasaan serta memunculkan rasa haru. Bagai tidak ada lagi jalan keluar untuk menyelesaikan masalah mereka karena mata pencaharian yang sering kali dihalang alam.

Baca Juga: ‘Elemental: Forces of Nature’, Hidup Merantau dan Galaunya Cinta Beda Elemen

Kemunculan belerang setiap 15 tahun sekali ke permukaan laut, sebagaimana diceritakan, memberikan duka dan derita bagi penduduk sekitar Danau Maninjau. Ikan-ikan mati dan warga terdampak secara finansial kurang lebih satu tahun. Maka dari itu, mimpi untuk memberdayakan dan memajukan desa menjadi alasan kuat warga Sigiran ingin melanjutkan apa yang diperjuangkan Angku Wan.

Isu ini juga ternyata mencerminkan apa yang dialami penduduk sekitar danau pada realitasnya. Baru-baru ini, ribuan ikan mati karena perubahan cuaca yang menyebabkan endapan belerang naik ke permukaan. Bencana yang begitu merugikan ini tidak terjadi belasan tahun sekali seperti yang diceritakan, tetapi dapat terjadi dalam rentang waktu yang cepat. 

Namun, apa yang benar-benar melatarbelakangi Angku Wan lebih memilih tinggal di desanya, ketimbang merantau ke kota besar? Kekeraskepalaan dalam dirinya sampai akhir barangkali yang jadi alasan mengapa istrinya lebih memilih untuk meninggalkannya dengan membawa anak. Kegigihan Angku Wan untuk memenangkan sayembara selama bertahun-tahun juga menunjukkan rasa cintanya dan kepemilikan terhadap desa yang ditempatinya itu.

Baca Juga: Film ‘Pesantren’ Perjuangkan Santri Perempuan Harus Berdaya Seperti Santri Laki-laki

Tidak banyak konflik yang tertuang di dalam film ini. Tidak ada pembahasan konstruktif tentang siapa yang sebenarnya membuat warga Sigiran begitu putus asa untuk melawan idealisme agama dan norma. Apa mendapatkan Rp 2 miliar sudah cukup untuk pembangunan jangka panjang? Apakah benar alam satu-satunya yang perlu disalahkan? 

‘Onde Mande!’ terasa jelas hanyalah film feel good yang dapat dinikmati santai dari awal hingga akhir cerita tanpa konflik membara yang bikin kita berpikir panjang.

Karakter dalam film tidak muncul dalam jumlah yang banyak, hanya segelintir orang tua dan remaja, serta anak sekolahan yang menjadi properti belaka. Pada realitasnya, memang benar tidak banyak lulusan sekolah tinggi yang mau kembali ke kampung halaman, berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan Si Mar (Shenina Cinnamon). Si Mar memutuskan untuk pulang setelah mengambil pendidikan di Jakarta untuk berkontribusi dalam pembangunan desanya. Bagaimana dengan yang lainnya? Mungkin ini menjadi pertimbangan juga bahwa karakter dalam ‘Onde Mande!’ didominasi oleh orang tua. 

Ada dua anggapan kontradiktif soal Jakarta yang cukup menggelitik. Pertama, kota yang dianggap sebagai harapan orang desa. Tergambar dari perantauan istri Angku Wan yang membuatnya betah untuk tidak kembali ke Sumatera Barat dan Si Mar yang mengambil pendidikan di sana. Kedua, kota yang terlalu bebas, padat, dan menyeramkan. Penonton dibuat menyaksikan abu-abunya kota Jakarta yang penuh dengan kebisingan. 

Keluguan konflik yang dialami Huda (Shahabi Sakri) dan Hadi (Ajil Ditto), dengan diselingi kasih antara adik dan kakak, bikin aku sempat tertawa lepas seraya dalam hati berkata, “Iya juga ya, Jakarta kayak begitu….”

Baca Juga: ‘Mrs. Chatterjee vs Norway’: Demi Hak Asuh Anak, Negara pun Ibu Lawan

Onde Mande!’ tidak tampak ingin berkompetisi soal seberapa twisted plot yang ada di dalamnya. Namun, terasa bak surat cinta yang dituliskan untuk kampung halaman seorang sutradara. Paul Fauzan Agusta berhasil menyihir penonton yang mungkin tidak tahu-menahu banyak soal budaya suku Minang. Paul menyajikan musik, seni bela diri, dan makanan khas Minang yang divisualisasikan dengan kuat seperti suatu biografi.

Keterlibatan aktor dan aktris dengan keturunan Minang berkontribusi dalam imajinasi penonton. Dialog yang digunakan juga didominasi dengan bahasanya, yang ditonton tak ubahnya adalah dokumenter dari percakapan sehari-hari warga sana. Ditambah lagi, dialog disisipkan dengan komedi yang terkadang terasa effortless, tetapi ada-ada saja. Ini berhasil membawa senyuman tipis dan gelak tawa pada wajah penikmatnya.

Baca Juga: ‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’, Rumitnya Hubungan Remaja dan Orang Tua

Aku menikmati karakter yang dimainkan oleh Ni Ta (Jajang C. Noer) dan Da Am (José Rizal Manua) yang seperti air dan api. Da Am yang gigih dengan ambisinya meneruskan mimpi Angku Wan disokong oleh salipan ide dari istrinya. Ketenangan Ni Ta dalam menghadapi konflik memberikan peran inti di tengah keraguan dan kegugupan yang dirasakan sang suami. 

Tidak banyak romansa yang ditampilkan antara mereka. Namun, kasih itu tergambar dari bagaimana dialog dan penerimaan sang pasangan antara satu sama lain. Mereka saling melengkapi seakan duo sejoli, pasangan partner in crime, seperti tertanda jelas memang ditakdirkan untuk bersama.

Selama menonton, aku berpikir bahwa ada berbagai karakter yang too good to be true. Tidak ada tokoh antagonis dalam cerita, tidak ada konflik kepentingan yang menyusahkan warga, tidak ada kejahatan di Jakarta. Semua seakan berjalan baik-baik saja, mengikuti alur premis yang dijanjikan dalam sinopsis dan awal cerita. 

Di sisi lain, ini menjadi refleksi diri bahwa kita tidak dalam berada narasi singular tentang konsep kenyataan yang sempurna. Tidak semua cerita perlu ada buruknya.

Onde Mande!’ tidak sempurna. Banyak dialog bolong yang diletakkan semata untuk memenuhi komposisi waktu. Namun, ‘Onde Mande!’ berhasil mencampur aduk isi hati dan pikiran setelah film usai. Film ini mengajarkan tentang kesederhanaan dan kebaikan yang masih ada dalam diri kita, dengan alunan cuplikan pemandangan Desa Sigiran yang menenangkan.

Sumber foto: tangkapan layar dari YouTube Visinema Pictures

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!