Penggunaan AI

Hati-Hati Penggunaan AI, Ancaman Bias Gender Dan Karir Pekerja

Jika kamu pendengar musik di game, pasti kamu sudah sering dengar lagu-lagu yang diciptakan dengan bantuan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Benarkah kata-kata dalam AI banyak yang bias gender dan mengancam karir pekerja?

Sebuah perusahaan bernama AIVA, bisa menciptakan komposisi musik yang terdengar seolah-olah dibuat oleh manusia. 

Dalam proses pembuatan musik, AI menggunakan algoritma untuk menganalisis struktur musik yang ada dan mempelajari gaya musik dari berbagai komposer terkenal. AI tidak hanya berguna dalam menciptakan musik. Teknologi ini juga bisa digunakan untuk menulis artikel, membuat desain dan ilustrasi, mungkin salah satunya adalah pekerjaanmu. 

Sejak kemunculan teknologi kecerdasan buatan AI ini, seluruh pekerja di dunia dilanda kecemasan. Bagaimana tidak, nantinya kerja-kerja manusia akan diganti oleh AI. Sebuah video AI di Jepang memperlihatkan bagaimana kerja-kerja rumah tangga akan tergusur dengan adanya AI. Ini artinya, kerja-kerja Pekerja Rumah Tangga (PRT) akan digantikan oleh mesin. Begitu juga dengan kerja-kerja para buruh pabrik. 

Sejumlah televisi juga sudah mengganti pekerjanya dalam menulis dan menjadi anchor / presenter berita. BBC menuliskan, diperkirakan pekerjaan sekarang dapat diotomatisasi sekitar 9% hingga 47%. Konsultan McKinsey memperkirakan sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia bisa digantikan oleh robot pada tahun 2030. Beberapa pekerjaan akan berubah secara signifikan, sementara pekerjaan lain akan sama sekali lenyap

Banyak yang kemudian bertanya: apakah manusia yang harus berubah dengan teknologi yang sudah berubah?

Baca Juga: Di Balik Tren AI, Waspadai Sederet Bahaya yang Mengintai

Sebuah platform yang mungkin kamu pernah dengar yaitu ChatGpt, juga dikembangkan oleh OpenAI. Ia dapat menghasilkan artikel yang terlihat seolah-olah ditulis oleh manusia. ChatGpt menggunakan mesin untuk mempelajari struktur bahasa dan gaya penulisan dari berbagai sumber. Dalam proses pembuatan artikel, AI dapat mengekstrak informasi dari berbagai sumber dan menghasilkan artikel yang terstruktur dan mudah dipahami. Untuk desain dan ilustrasi ada platform yang bisa kamu gunakan seperti Midjourney dan DALL-E. 

Platform AI ini telah digunakan oleh jutaan orang karena hasilnya bagus dan sesuai dengan yang manusia inginkan. Lalu, apakah para pekerja yang mendapatkan penghasilan dari membuat lagu, menulis artikel, dan membuat ilustrasi akan tersingkir oleh AI?

Mengutip techwireasia.com, pendiri Microsoft, Bill Gates, yang masih menjabat sebagai penasihat Microsoft, juga mengakui bahwa kenyataannya beberapa pekerjaan di kantor bisa hilang akibat kemajuan yang lebih canggih dalam AI. Dalam sebuah wawancara dengan Australian Financial Review, Gates mengatakan ada manfaat yang jelas dari generative AI di profesi medis dan di seluruh industri lain di mana banyak informasi perlu dipahami.

Meskipun AI dapat menciptakan karya-karya tadi, tetapi ada beberapa aspek yang tidak dapat digantikan oleh teknologi. Misalnya, kemampuan untuk menciptakan ide-ide kreatif seperti gaya ilustrasi yang unik masih tergantung pada kecerdasan dan keahlian manusia. Dengan AI, banyak pekerja yang akan tergusur oleh AI.

AI Masih Sering Salah Konteks dan Tidak Bisa Membaca Ekspresi

Seperti yang ditulis oleh Nicole Holbig dalam artikelnya di medium.com, kecerdasan buatan tidak dapat bereaksi dengan fleksibel terhadap perubahan kecil atau masalah aplikasi baru. 

AI dapat belajar untuk “memahami” semantik kata dan kalimat dan meresponsnya dengan tepat. Misalnya, chatbot yang digunakan dalam layanan pelanggan dapat “berkomunikasi” dengan tepat. Dan menjawab pertanyaan sederhana secara otomatis. Namun, ketika berbicara dengan AI dari robot, kita dengan cepat menyadari seberapa batas kemampuan untuk berkomunikasi. Karena kemampuan seseorang untuk merasakan tidak terbatas pada permainan tanya-jawab. 

Di sini, ekspresi wajah, gerakan tubuh, tindakan insting atau ungkapan empati perasaan digunakan untuk “mengirimkan” kesan keseluruhan yang tidak dapat sepenuhnya dirasakan oleh mesin. Apa lagi disimulasikan dengan sama baiknya. Beberapa sensor diperlukan untuk ini, yang secara simultan menganalisis dan menghubungkan perilaku serta menentukan respons keluaran yang sesuai. Mesin tidak dapat menerapkan “sensor fusion” ini. Fungsi penghubung kognitif hanya tersedia di otak manusia.

Data yang Bias, Termasuk Bias Gender

Kesalahan dalam AI seringkali terjadi karena kekurangan data yang cukup atau data yang bias, termasuk yang menyebabkan bias gender. 

Teknologi AI bergantung pada data untuk melakukan tugas-tugasnya, dan jika data yang digunakan tidak lengkap atau bias, AI dapat menghasilkan kesalahan. Data yang bias dapat mempengaruhi hasil dari algoritma AI. Salah satu keterbatasan utama dari teknologi AI adalah kurangnya pemahaman tentang konteks. AI mampu melakukan tugas dengan kecepatan dan akurasi yang jauh lebih baik daripada manusia, namun teknologi ini tidak selalu dapat memahami konteks dari situasi tertentu. 

Hal ini sering terjadi dalam bidang seperti pemrosesan bahasa alami dan pengenalan gambar, di mana AI dapat menghasilkan kesalahan karena kurangnya pemahaman tentang konteks dari kata atau gambar yang diproses.

Selain itu, teknologi AI juga memiliki keterbatasan dalam hal memori. AI dapat memproses data dalam jumlah besar dengan sangat cepat, namun teknologi ini tidak selalu dapat mengingat informasi dari waktu ke waktu. 

Meskipun penggunaan AI dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dan keahlian khusus, seperti kreativitas dan empati, masih sulit digantikan oleh teknologi.

Manusia masih harus menggunakan kemampuannya untuk memilih dan mengembangkan ide-ide yang menarik, menguasai teknik-teknik ilustrasi, dan menyesuaikan karya mereka dengan kebutuhan klien. Oleh karena itu, sejauh ini, penggunaan AI tidak sepenuhnya bisa menggantikan pekerja manusia, melainkan lebih pada memperbaiki dan membantu pekerjaan manusia.

Baca Juga: Waspada KBGO, Ada Grup Obrolan Bikin Deepfake Porn via Formulir Daring

Mengutip dari data.economy.com, regulasi AI open-source disebutkan dalam Undang-Undang Kecerdasan Buatan (AIA) yang saat ini sedang dibahas di Uni Eropa. Namun, membatasi penggunaan, berbagi, dan distribusi AI open-source generik (GPAI) dapat dilihat sebagai langkah mundur.

AIA Uni Eropa akan menetapkan prosedur pengendalian pemerintah dan sertifikasi sendiri untuk berbagai kategori sistem AI berisiko tinggi, persyaratan transparansi untuk sistem AI yang berkomunikasi dengan manusia, dan upaya untuk melarang beberapa karakteristik “tidak dapat diterima” dari sistem AI. Kecerdasan buatan berisiko tinggi dalam produk, kecerdasan buatan berisiko tinggi dalam layanan manusia, dan persyaratan transparansi AI adalah tiga kategori kebutuhan AI yang paling mungkin memiliki dampak global dan layak untuk diperiksa secara independen.

Berikutnya, hak cipta dari karya manusia yang diadopsi oleh AI. Salah satu tantangan dalam penggunaan AI adalah menentukan siapa yang memiliki hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh AI. 

Misalnya, jika seorang seniman menggunakan AI untuk menghasilkan sebuah karya seni, siapa yang memiliki hak cipta atas karya tersebut? Beberapa negara seperti Kanada telah mengeluarkan panduan tentang hak cipta dan AI, yang menyarankan bahwa siapa pun yang membuat keputusan kreatif utama dalam proses pembuatan karya harus dianggap sebagai pemilik hak cipta. Namun, ini masih menjadi perdebatan dan belum ada regulasi yang jelas mengenai hal ini.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular