Perempuan Wakatobi yang dituntut setia dan laki-laki poligami

Membongkar Citra Perempuan Wakatobi yang Harus Setia, di Saat Laki-laki Suka Poligami

Perempuan Wakatobi terkenal sebagai orang yang setia dengan pasangannya. Ini berbeda dengan kebiasaan laki-laki Wakatobi yang sering merantau dan berpoligami.

Aku tak pernah lupa dengan percakapan ini. Percakapan dengan nenek tentang para perempuan di kampung kami, di Wakatobi yang selalu setia dengan pasangannya. Inilah cerita nenek kami.

“Kakek buyutmu itu, punya anak di pulau Seram, dia menikah dengan perempuan di sana saat berlayar dulu, tapi kami anak-anaknya di kampung, tak pernah ketemu dengan anak-anaknya yang di Seram,” ungkap nenek kala itu.

Itu adalah sore ketika kami mengenang orang-orang terkasih yang telah berpulang. Percakapan kami sampai pada kisah-kisah cinta yang romantis sekaligus kisah tragis tentang relaso antara laki-laki dan perempuan Wakatobi.

Perempuan Wakatobi terkenal dengan kesetiaannya. Ini berkaitan erat dengan kebiasaan laki-laki Wakatobi yang sering merantau pada masa keemasan perahu layar di Wakatobi di era sebelum tahun 2000-an, saat perempuan Wakatobi sering ditinggalkan lama di pulau.

Semasa suami-suami mereka berlayar, perempuan memegang teguh falsafah “tara,turu,toro” sebuah falsafah di kampung yang menggambarkan tabiat perempuan sebagai sosok yang (harusnya) penurut dan setia. Perempuan digambarkan dan dituntut untuk selalu setia menunggu kedatangan suami, mendidik anak-anak dan mempertahankan kelangsungan hidup keluarganya dengan berladang dan menjadi nelayan.

Baca Juga: Hidupku Mendadak Berhenti, Aku Bertemu Calon Istri Suamiku

Sayangnya kebiasaan perempuan ini, tak seturut dengan fakta lain yang ada pada kehidupan para pelayar laki-laki di masa itu. Banyak para pelayar yang mengambil keputusan untuk melakukan poligami di perantauan. Faktor jarak, waktu dan ketiadaan komunikasi secanggih, kian menambah alasan mereka untuk berpoligami.

Para laki-laki ini kemudian melakukannya tanpa persetujuan perempuan (istri) di kampung. Kabar poligami ini kemudian seringkali tiba di kampung setelah berbulan-bulan, bahkan tahunan, sebagai desas-desus.

Alasan para pelayar melakukan poligami beragam. Ada yang menikah lagi demi kepentingan negoisasi, misalnya dengan menikahi perempuan agar urusannya tidak terhambat. Ini bisa kita jumpai pada pernikahan seorang laki-laki dengan anak orang penting atau yang berpengaruh di suatu daerah tertentu ketika mereka sedang berlayar.

Kemudian, ada juga yang menikahi perempuan lain karena alasan ingin punya keturunan; menambah keturunan lagi, atau karena istri terdahulu tak kunjung hamil.  

Konsekuensi Citra Setia

Walau demikian, para perempuan yang dipoligami saat itu nyaris tak ada yang memilih untuk keluar dari hubungan pernikahannya. Inilah yang  memunculkan  anggapan bahwa perempuan Wakatobi itu setia meskipun diselingkuhi. Bahwa mereka tabah dan penurut meski dipoligami. 

Dan ada pula pendapat-pendapat lain yang bernada stereotip seperti: menjadi perempuan Wakatobi itu harus setia dalam kondisi apapun seperti yang telah dicontohkan oleh nenek moyang kami. Bahkan saat ia diselingkuhi dan mengalami kekerasan dalam pernikahan.

Walaupun belakangan, karena tidak tahan dengan situasi yang seperti ini dan berjalan terus-menerus, banyak perempuan yang kemudian berani memutuskan meninggalkan suaminya dalam kondisi ini. Sebagian lagi  ada yang menikah lagi dengan laki-laki lain saat suaminya berlayar dan tak kunjung pulang. Namun ini kemudian menimbulkan banyak sindiran, lewat literal seperti jurnal dan karya sastra (lirik lagu) yang menyatakan bahwa perempuan Wakatobi sudah mulai meninggalkan sifat aslinya, yaitu sebagai perempuan yang sabar dan setia.

Sumiman Udu dari Universitas Halu Oleo menggambarkan perubahan sifat perempuan Wakatobi ini dalam jurnalnya yang berjudul ‘Perempuan Dalam Kebudayaan Maritim Wakatobi Buton‘. Ia menyodorkan sebuah kutipan lirik lagu berbahasa daerah yang beredar di kalangan warga Wakatobi Untuk memperlihatkan perubahan sifat asli perempuan Wakatobi ini.

Baca Juga: Film ‘Raise the Red Lantern’: Soroti Poligami dan Kompetisi Perempuan yang Tragis

Laamo tolu komba na langkesu

(Baru saya tiga bulan saya berangkat)

U lolahamo te mia hele

(Kau sudah mencari laki-laki lain)

Umura ara sata’o na langkesu

(Mungkin kalau satu tahun saya berangkat)

Koumangga aku kua kumatemo

(Kau akan menganggapku sudah mati)

Ia juga mengatakan bahwa falsafah tara turu toro sudah mulai memudar di kalangan perempuan Wakatobi, dan itu berarti menghilangkan ketangguhan perempuan, dan keteguhan mereka dari kebenaran. 

Namun Udu menuliskan semua itu dengan melewatkan fakta praktik poligami di kalangan para pelayar yang tidak ia bahas sedikitpun dalam tulisannya.

Fakta di Balik Kesetiaan Perempuan Wakatobi

Kenyataannya, ketika perempuan Wakatobi setia, pada masa keemasan perahu layar itu adalah karena adanya negosiasi dengan pasangan. Hal ini tertuang dalam norma sosial yang berlaku di masyarakat. Yang tercermin dalam aturan tak tertulis safi fangka. dimana para pelayar diwajibkan untuk juga memegang teguh falsafah tara turu toro.

Falsafah ini bahkan juga menjadi salah satu syarat utama yang mesti dipegang oleh siapapun yang ingin menjadi pemimpin di kapal. Orang-orang yang memegang teguh falsafah tersebut dipandang sebagai orang yang penuh kehati-hatian, termasuk setia, dan bisa dipercaya jika memimpin. 

Jadi penekanan falsafah ini sebenarnya wajib dipegang oleh siapapun, tak pandang usia dan gender

Meskipun pada kenyataannya tuntutan penerapan falsafah ini tak begitu kuat di kalangan laki-laki. Karena ada sebuah pemakluman dalam budaya patriarkal di masyarakat yang mewajarkan praktik poligami yang dilakukan laki-laki

Perlawanan Sunyi

Di sisi lain, ada juga bentuk poligami yang melewati persetujuan istri. Yakni ketika seorang laki-laki menikahi dua perempuan di kampung yang masih punya pertalian darah. 

Pernikahan bentuk ini ditengarai karena adanya anggapan dan dorongan perempuan untuk saling memberdayakan. Dimana pada masa lampau peran laki-laki sebagai satu-satunya tumpuan pencari nafkah, mendorong perempuan untuk berbagi suami dengan saudaranya.

Akses perempuan yang masih terbatas, tinggal di pulau yang sulit diakses dari dan ke luar daerah membuat perempuan mempunyai pilihan yang terbatas, sehingga kabar pernikahan suaminya di daerah lain kerap diterimanya dengan siasat bertahan. 

Perlawanan Bunyi

Namun belakangan, akses perempuan sudah terbuka luas. Banyak yang mendapat kesempatan belajar ilmu keterampilan dan sekolah tinggi-tinggi. Terbukanya akses ini kemudian membuka pilihan perempuan atas pekerjaan.

Pekerjaan perempuan Wakatobi kini beragam. Hal ini membuat mereka lebih berani dan tegas pada pilihan-pilihan hidupnya, termasuk memilih untuk meninggalkan suaminya. 

Dilansir dari Telisik.id, ada sekitar 204 kasus perceraian yang tercatat pada 2020 lalu oleh Pengadilan Agama Wangi-wangi di Wakatobi. Data ini menggenapkan data tahun 2019 yang mencatat 240 kasus perceraian. 

Untuk perceraian itu penyebabnya bermacam-macam, dan paling banyak itu karena ditinggalkan lama berlayar, tidak lagi dinafkahi oleh suaminya,  dan keberadaan orang ketiga juga, ungkap Abd Rahim, panitera pengadilan agama Wangi-wangi Kabupaten Wakatobi.

Eka Putri Puisi

Bergiat pada isu gender, seni dan budaya.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!