Kecanduan online game

Remaja Bicara Soal Kerentanan di Dunia Digital: Kami Kecanduan Game dan Kena Kekerasan Seksual

Hasil pemantauan media ECPAT Indonesia pada tahun 2021 menunjukkan, sebanyak 848 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, 91 kasus diantaranya adalah kekerasan di internet. Rentang usia korban kejahatan seksual adalah 13-17 tahun.

Syazwan Luftan (15 tahun) pernah merasa stres dan sulit beradatapsi ketika dia mulai kecanduan main game. Dia pernah dalam fase main game selama 10-11 jam perharinya.

Ia menjadi orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, lupa berteman, sulit bangun padahal ia harus sekolah pagi-pagi.

“Aku jadi anak yang sibuk sama diriku sendiri, sulit diajak ngobrol, sulit bangun pagi, juga mudah berjerawat.”

Game memang sangat mudah menjerat siapapun, apalagi anak-anak. Dalam game, semua orang dengan berbagai usia tanpa batasan, jadi pemain di sana, ada anak TK hingga kakek umur 70 tahunan. Mereka menulis dan menjadi pembaca komentar-komentar yang tidak seharusnya didengarkan oleh anak-anak, karena anak kecil, tua, muda campur jadi satu di sana.

Tidak adanya alarm untuk anak-anak dalam penggunaan internet dan bebasnya mereka menggunakan gawai tanpa pengawasan, membuat anak-anak jadi kecanduan main game

Syazwan juga mengatakan bahwa main game itu seperti mengajak anak-anak untuk berkompetisi tanpa tujuan.

“Kita seperti diajak berkompetisi dengan hasil yang kita tidak tahu, seperti kita sudah berjam-jam di sana dan hanya 1 orang saja yang lolos. Ini butuh waktu dan pengorbanan yang besar dalam peluang kecil yang sulit banget kita dapatkan.”

Baca Juga: Dari Tarantino hingga Squid Game: Apa Alasan Orang Menyukai Adegan Kekerasan di Film dan Game?

Syazwan Luftan mengatakan hal ini pada acara ‘Festival Digitalisasi Anak‘ dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional di Jakarta pada 29 Juli 2023. Festival ini diadakan Kementerian Kominfo, Siberkreasi, bersama beberapa organisasi seperti ECPAT Indonesia.

Sejumlah anak lain yang menjadi pembicara tentang bahayanya internet dalam diskusi ini. Antara lain Molly Aevrille Santana dari Medan, Attaqi Muhammad Yassir Satrio dari Bangka Belitung, Elisya Windy Gloria Pirsouw dari Ambon, Nada Nadya dari Tangerang, Nizha Risalatul Muawwanah dari Sidoarjo, Putri Halimah dari Cilegon, Sabrina Dewi Anggraeni dari Bandung, Zaki Tasnim dari Cianjur, dan Michael Jonathan dari Medan.

Festival ini dilakukan untuk mengetahui pandangan anak terhadap kerentanan di dunia digital dan keselamatan di ranah daring.

Ada yang bercerita soal ancaman seksual yang terjadi pada anak di media sosial. Ia diancam jika tidak mengirimkan foto dirinya tanpa busana. Ancamannya, ayahnya akan dibunuh. Nada Nadya cerita, pelecehan dan kekerasan seksual ini banyak terjadi di Banten.

“Ada anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual di medsos, dan penyelesaiannya hanya didamaikan oleh keluarga,” kata Nada Nadya. Nada merupakan salah anak yang menjadi duta Kabupaten Tangerang.

Ada juga anak-anak yang disebarkan foto aibnya, seperti ketika dia tidak mengerjakan PR, atau ketika aib ketika ulang tahun. Ini membuat mereka merasa di-bully dan malu.

Baca Juga: Pemain Game Online Perempuan Alami Pelecehan Seksual Hampir Setiap Hari

Survei Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2022, mencatat penetrasi internet tertinggi berada di kelompok usia 13-18 tahun yaitu sebesar 99,16%. Hampir seluruh kelompok usia 13-18 tahun terhubung ke internet. Besarnya pengguna internet pada usia anak menunjukkan bahwa semakin pentingnya internet bagi kehidupan anak saat ini, seperti untuk mengakses layanan pendidikan, layanan perdagangan, hingga melakukan interaksi sosial melalui internet.

Menurut laporan tahunan Status Literasi Digital Indonesia oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO), kemampuan masyarakat Indonesia dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi digital secara umum terbukti makin membaik sejak awal pandemi sampai sekarang. Indeks literasi digital Indonesia pada 2022 berada di level 3,54 poin. Sebelumnya, pada tahun 2020, Indonesia hanya memperoleh skor 3,46 poin. Kemudian tahun 2021 naik menjadi 3,49 poin (naik 0,03 poin) dari skala 1-5.

Tingkat Literasi Digital yang baik tidak menjadi tolak ukur untuk tidak terjadinya tindak kejahatan di dunia digital.

Hasil pemantauan media ECPAT Indonesia pada tahun 2021, terdapat sebanyak 848 kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Rentang usia korban yang menjadi korban kejahatan seksual adalah 13-17 tahun. Hal yang cukup memprihatinkan adalah ditemukannya kejadian kekerasan seksual melalui perantara internet, yaitu sebesar 91 kasus.

Tingginya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dan mulai merambah melalui internet menjadi tantangan untuk pemerintah dan platform digital untuk meningkatkan keamanan dalam menggunakan internet, terkhususnya bagi anak.

Baca Juga: Bagaimana Pinjol Menjerat Anak Muda Lewat Mobile Games?

Perkembangan teknologi digital saat ini juga membawa dampak yang cukup pelik. Seperti mudahnya anak-anak terpapar pada materi kekerasan, pornografi, cyberbullying, dan adiksi terhadap gadget (game ataupun aplikasi).

Berdasarkan penelitian Divisi Psikiatri Adiksi Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa FKUI-RSCM di 34 provinsi di Indonesia selama masa pandemi COVID-19 pada bulan Mei-Juli 2020, angka adiksi gawai menunjukkan 19,3% pada remaja dan 14,4% pada dewasa muda.

Peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli 2022 menjadi momentum untuk mendengarkan suara anak terkait kerentanan yang terjadi di daerahnya. ECPAT Indonesia, Platform Digital, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Gerakan Nasional Literasi Digital untuk mendorong seluruh elemen masyarakat peduli terhadap perlindungan anak di Indonesia dan memberikan wadah bagi anak menyuarakan aspirasi serta keresahan yang terjadi di sekitarnya serta dapat didengarkan langsung oleh para pemangku kepentingan.

Apa Saja Usulan Anak untuk untuk Keselamatan Mereka di Internet?

Attaqi Muhammad Yassirsatrio, siswa SMP dari Bangka Belitung mengusulkan beberapa hal agar anak-anak selamat dari dunia digital yang berubah setiap waktu, antara lain:

1. Internet sebaiknya diberikan timer

Ini dilakukan agar anak tidak bermain games atau internet secara terus-menerus.

2. Games ditambah dan diberikan rating

Ini dilakukan agar tidak semua anak berlomba untuk hanya menang menjadi nomor 1. Tapi dengan berbagai kriteria, anak tidak hanya mengejar juara 1. Tapi juga bermain kecerdasan melalui games dan diberikan reward.

3. Jam nasional bermain internet

Attaqi mengusulkan agar ada kebijakan soal jam nasional menggunakan handphone. Dengan begitu, maka semua anak akan berhenti di jam nasional yang sudah ditetapkan.

4. Anak-anak umur 13 tahun baru boleh menggunakan internet

Sejumlah anak juga mengatakan bahwa sebaiknya anak-anak di Indonesia bermain internet ketika umurnya sudah 13 tahun. Karena di umur 0-12 tahun, anak-anak belum punya kedewasaan dalam bermain internet, masih rapuh dan belum punya pengetahuan cukup untuk memilih

Setelah umur 13 tahun, anak-anak bisa memilih fitur apa yang paling cocok, dan tentu harus ada orangtua dan guru yang mengajari dan menemani soal literasi digital bagi anak. Karena jika tidak, banyak anak yang akan menjadi korban.

“Yang penting adalah play, connect, dan learn, karena banyak anak yang jika dibiarkan akan menjadi korban di internet.”

Sekrearis Badan Bahasa Kemendikbud, Hafidz Muksin yang hadir dalam festival menyatakan akan mendengarkan dan mencoba mengimplementasikan seruan anak-anak

“Kita semua harus mendengarkan suara anak-anak yang membanggakan ini.”

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular