Pernah dengar jargon ‘banyak anak, banyak rezeki’? Atau pandangan bahwa perempuan punya anak banyak adalah sesuatu yang ideal?
Ada masanya pernyataan itu begitu dielu-elukan. Alhasil, keluarga yang punya banyak anak, dipandang sebagai keluarga ‘ideal’ dan ‘bahagia’. Perempuan kemudian dituntut untuk terus bereproduksi. Hamil, melahirkan, hamil lagi, melahirkan lagi.
Makanya, mungkin tidak sedikit di antara kita yang punya lebih dari lima om, tante, paman, dan bibi dalam satu garis keturunan keluarga. Atau lebih dari sepuluh, barangkali.
Tapi masa itu mestinya sudah lewat. Seiring perkembangan zaman, pendidikan dan pengetahuan manusia semakin maju. Kita lambat laun memahami bahwa perempuan berhak punya otonomi atas tubuh dan sistem reproduksinya sendiri. Ia akan punya anak banyak, atau sedikit, atau tidak sama sekali, semua atas keinginan dan keputusannya sendiri.
Seharusnya sih, begitu. Namun sepertinya di zaman sekarang pun, banyak orang masih meromantisasi gagasan perempuan punya banyak anak sebagai sebuah keharusan. Padahal kalau mengikuti perkembangan zaman, mestinya hal itu sudah tidak relevan lagi.
Perempuan Punya Banyak Anak
Mungkin kamu sama sepertiku, yang setiap hari menemukan berbagai hal jadi bahan perdebatan di media sosial. Topik seperti keharusan perempuan punya anak banyak, sedikit, atau tidak sama sekali, sering memicu perdebatan.
Seperti belum lama ini, komentar bermunculan ketika timbul beberapa cuitan mengenai siapa antara perempuan atau laki-laki yang seharusnya menggunakan kontrasepsi. Salah satu warganet menanggapi dengan kira-kira mempertanyakan, “Kenapa perempuan sekarang tidak bisa (melahirkan dan mengasuh anak banyak)? Sedangkan dulu nenek kita atau buyut kita bisa?”
Bukan rahasia memang, kalau perempuan dari beberapa generasi sebelumnya kerap melahirkan dan mengasuh anak dalam jumlah yang banyak. Kadang, satu keluarga inti bisa memiliki hingga 9-10 anak. Pada masanya, hal ini mungkin dianggap wajar atau bahkan ideal.
Beberapa faktor memengaruhi perbedaan jumlah anak antara perempuan zaman dulu dan perempuan saat ini. Pada masa lalu, keberadaan anak-anak dianggap sebagai aset berharga karena mereka dapat membantu dalam pekerjaan rumah tangga, pertanian, atau pekerjaan lainnya.
Selain itu, faktor angka kematian bayi cenderung tinggi, sedangkan harapan hidup rendah. Sehingga orang tua berupaya memastikan keamanan ekonomi dengan memiliki lebih banyak anak.
Baca Juga: Memaksa laki-laki mencegah kematian ibu dan bayi baru lahir
Nilai-nilai budaya dan agama pada konteks dahulu juga masih lekat dengan kepercayaan bahwa sebuah keluarga mesti berukuran besar. Kala itu, keluarga dengan jumlah anggota yang banyak adalah tanda kemakmuran, berkah, dan sebagainya.
Pada beberapa aspek, memiliki anak dianggap sebagai cara bagi perempuan untuk mencapai pemenuhan dan keberhasilan dalam hidup. Serta sebagai sumber kebahagiaan dan kebermaknaan pribadi.
Namun, pandangan ini menuai perdebatan di era modern, terutama dalam konteks kesetaraan gender dan perjuangan untuk otonomi perempuan. Banyak kalangan feminis dan aktivis hak reproduksi menggarisbawahi pentingnya memberikan perempuan kebebasan dalam mengambil keputusan tentang tubuh dan kehidupan mereka sendiri.
Termasuk keputusan tentang apakah dan kapan mereka ingin memiliki anak. Mereka menekankan bahwa menempatkan terlalu banyak tekanan pada peran ibu atau pada jumlah anak dapat membatasi kebebasan perempuan dalam menjalani kehidupan mereka sesuai keinginan dan aspirasi masing-masing.
Dari Perspektif Feminis
Tidak perlu dipungkiri; tuntutan perempuan harus mampu bereproduksi sudah hadir sejak dulu. Perempuan yang otoritas ketubuhannya diatur oleh laki-laki dan lingkungan patriarki, menjadi sorotan feminis radikal.
Feminis radikal pada umumnya menyoroti tekanan sosial dan budaya yang memaksa perempuan untuk mengambil peran tradisional sebagai ibu. Selain itu, feminis radikal menuntut agar perempuan memiliki pilihan untuk menentukan jalannya sendiri. Termasuk memutuskan apakah ingin memiliki anak atau tidak, dan berapa banyak anak yang ingin mereka miliki.
Pengetahuan berkembang seiring zaman. Dulu, perempuan memiliki lebih sedikit kesempatan mengakses pendidikan dan pekerjaan di luar rumah. Masyarakat masih percaya kalau kodrat perempuan adalah mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak, serta mengurusi sektor domestik saja. Pilihan yang terbatas untuk perkembangan diri dan profesional itu membuat perempuan pada masanya berfokus pada keluarga serta memiliki dan mengasuh anak.
Dalam bukunya berjudul ‘The Dialectic of Sex: the Case for Feminist Revolution’, feminis radikal Shulamith Firestone mengkritik tekanan masyarakat terhadap perempuan. Menurutnya, perempuan kerap dituntut mengikuti peran gender tradisional, termasuk memenuhi ekspektasi mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak. Firestone mendesak adanya kebebasan reproduksi perempuan dan kontrol diri sendiri atas hal tersebut sebagai bagian dari pembebasan perempuan.
Anak Banyak, Siapa yang Mengasuh?
Kembali pada diskursus di internet mengenai perbandingan perempuan dulu dan sekarang dalam hal reproduksi. Selain pihak yang merasa perempuan saat ini tidak seperti dulu yang sanggup punya anak banyak, banyak juga warganet yang menilai kalau dalam kondisi tersebut, perempuan memikul beban reproduksi dan pengasuhan yang jauh lebih berat.
Kemudian, pada akhirnya, pengasuhan tidak sepenuhnya ia lakukan sendiri—yang diberikan tanggung jawab pengasuhan pada akhirnya adalah anak perempuannya.
“Anak perempuan dari kecil sudah dibebankan dengan pengasuhan,” cuit seorang pengguna Twitter. “Makanya kebanyakan ibu-ibu kita itu lelah batin.”
Beban pengasuhan tak jarang diserahkan oleh ibu kepada anak perempuan. Fenomena sosial itu dikenal sebagai “penugasan peran” atau “penugasan gender”. Hal ini terjadi ketika tugas-tugas domestik dan tanggung jawab merawat anggota keluarga lainnya, terutama anak-anak dan orang tua yang lebih tua, secara konsisten ditempatkan pada anak perempuan dalam keluarga.
Baca Juga: Mengapa Saya Harus Menyuarakan Isu Gender?
Penugasan peran semacam ini sering kali berakar dalam tradisi dan norma sosial yang memandang perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan penjaga keluarga. Sementara laki-laki dianggap memiliki tanggung jawab utama di luar rumah.
Hal ini dapat berdampak negatif terhadap anak perempuan, karena mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mengejar pendidikan atau karier yang lebih baik karena harus mengurus tanggung jawab rumah tangga sejak usia muda.
Banyak warganet kemudian juga curhat dan mengungkapkan bahwa hal itulah yang persis terjadi pada ibu, nenek, dan perempuan dari generasi yang lebih tua dari mereka.
Tentu saja penugasan peran semacam ini juga dapat mengakibatkan ketidakadilan gender. Perempuan diharapkan dan ditekan untuk mengorbankan aspirasi dan keinginan mereka demi kepentingan keluarga.
Hal ini juga dapat berpengaruh terhadap siklus kemiskinan dan keterbatasan ekonomi. Sebab, perempuan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan atau mencapai kebebasan finansial yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.
Keluarga Berencana, Upaya Kontrol Angka Kelahiran Tapi Juga Problematik
Meski awalnya dianggap lumrah, keluarga dengan jumlah anak yang banyak lambat laun mengarah pada masalah-masalah baru. Salah satunya, ledakan populasi. Inilah yang membuat program Keluarga Berencana (KB) digagas di Indonesia.
Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dilaksanakan pertama kali pada tahun 1970. Latar belakang pelaksanaan program KB ini berkaitan dengan pertumbuhan penduduk yang pesat pada saat itu.
Pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti ketidakmampuan dalam memberikan pendidikan, perumahan, lapangan kerja, dan layanan kesehatan yang memadai bagi seluruh rakyat.
Selain itu, ketika program ini diterapkan, Indonesia menghadapi tekanan ekonomi yang serius. Itu membuat pemerintah menyadari pentingnya mengendalikan pertumbuhan penduduk agar sumber daya yang ada dapat dikelola dengan lebih efisien dan dapat terdistribusi secara lebih merata.
Dengan demikian, program KB di Indonesia dimulai sebagai upaya untuk mengurangi pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kesejahteraan penduduk secara menyeluruh.
Baca Juga: KB Tak Hanya Untuk Perempuan
Namun sosialisasi dan penerapan KB tidak lepas dari polemik otonomi tubuh perempuan juga. Di sisi lain, pemaksaan KB juga merupakan bentuk upaya untuk menguasai dan mengontrol tubuh perempuan.
Feminis radikal tidak hanya bicara tentang perempuan yang dituntut punya anak banyak. Perempuan yang disterilisasi paksa pun membuat mereka gelisah. Seperti Angela Davis, yang membahas bagaimana tubuh perempuan sering menjadi subyek atas kontrol dan regulasi oleh institusi yang berkuasa.
Nyatanya, ketidakadilan dan ketimpangan relasi gender membuat pihak-pihak berkuasa kerap merampas hak otonomi tubuh perempuan sendiri. Ini termasuk sterilisasi paksa, pembatasan hak-hak reproduksi, dan sebagainya.
Perempuan Berhak Atas Tubuh dan Reproduksinya Sendiri
Memperdebatkan jumlah anak yang harus dimiliki perempuan tidak akan ada habisnya. Ujung-ujungnya, semua kesalahan bakal ditimpakan pula kepada perempuan, oleh masyarakat yang patriarkal dan misoginis.
Namun kita perlu memahami: dalam masyarakat yang semakin beragam dan inklusif, penting untuk mengakui dan menghormati otoritas tubuh perempuan. Setiap perempuan memiliki hak untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan tubuh dan kesehatannya sendiri tanpa tekanan atau campur tangan yang tidak diinginkan.
Baca Juga: Feminisme Radikal Ajarkan Bagaimana Melawan Penindasan Tubuh Perempuan
Melalui pendidikan, kesadaran, dan penghormatan terhadap keputusan individu, kita dapat memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang setara terhadap layanan kesehatan, kontrol kelahiran, dan pendidikan seksual yang komprehensif. Ini bukan tentang jumlah anak, atau keinginan memiliki anak. Tubuh perempuan adalah tentang hak-hak perempuan itu sendiri.
Pemahaman akan otonomi tubuh perempuan juga penting dalam memerangi segala bentuk kekerasan berbasis gender dan memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin, memiliki kebebasan untuk hidup tanpa rasa takut, diskriminasi, atau penindasan. Dengan menghargai otoritas tubuh perempuan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil, setara, dan inklusif.