Cerai karena Suami Poligami, Gimana Aturan Hukum soal Hak Istri dan Anak?

Seorang perempuan di Jakarta menanyakan soal hak anak-anaknya dan dia yang berencana cerai dengan suami. Termasuk soal hak secara finansial. Bagaimana aturan hukumnya?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan. Bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender, dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Halo Klinik Hukum bagi Perempuan, saya Rina 32 tahun. Saya tinggal di Jakarta sudah menikah dengan 2 anak yang berusia masih dibawah 12 tahun. Saya berencana akan menggugat cerai suami karena ia selingkuh dan sudah mengakuinya secara langsung kepada saya. Ia juga bilang jika sudah menikah siri dengan selingkuhannya. Suami minta izin kepada saya untuk berpoligami agar bisa mendaftarkan pernikahan sirinya untuk diakui oleh hukum dengan seizin saya. Dikarenakan selingkuhannya tersebut sekarang sedang hamil 6 bulan. Saya tidak rela dipoligami, jadi saya bilang kepada suami, saya akan menggugat perceraian ke Pengadilan Agama sekaligus perwalian anak-anak. Suami setuju untuk bercerai serta menyerahkan hak asuh anak-anak kepada saya. Tapi, saya belum memprosesnya karena saya bingung. Apa hak-hak saya dan anak-anak pasca perceraian kaitannya dengan nafkah ekonomi dari suami yang sudah jadi mantan tetapi tetap bapak anak-anak saya. Mohon penjelasannya agar saya tidak salah melangkah. Lalu, apakah saya bisa mengajukan gugatan cerai mandiri karena tidak memiliki uang untuk membayar jasa pengacara. Terimakasih.

Jawab:

Halo Rina, terima kasih sudah menghubungi Klinik Hukum bagi Perempuan. Ada dua pertanyaan yang Anda ajukan yaitu: 1) Apakah ada jaminan pemenuhan atas hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. 2) Apakah Anda dapat mengajukan gugatan cerai secara mandiri? 

Sebelum mengulas kedua pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dan tujuan perkawinan. Juga bagaimana putusnya suatu perkawinan, serta dalil-dalil yang dapat dijadikan dasar perceraian menurut undang-undang.

Pengertian dan Tujuan Perkawinan

Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (UU Perkawinan). Di dalam UU Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah kebahagiaan yang kekal (abadi). 

Namun, realitanya tujuan dari hidup berumah tangga bisa saja tidak tercapai. Karena adanya permasalahan-permasalahan yang menghendaki putusnya perkawinan. Dalam kasus Anda adalah permasalahan perselingkuhan, nikah siri diam-diam, dan permohonan suami untuk berpoligami yang tidak Anda setujui. Dengan permasalahan ini, jika perkawinan dilanjutkan akan membawa kemudharatan bagi Anda dan anak-anaknya. 

Untuk itu, suami atau istri dapat mengajukan permohonan/gugatan perceraian untuk memutus ikatan perkawinan tersebut melalui Pengadilan Agama setempat. Dikarenakan Anda menikah secara agama Islam, dan bagi pasangan suami-istri yang menikah secara agama Kristen, Katolik, budha, Konghucu atau lainnya, mengajukan permohonan/gugatan perceraian di Pengadilan Negeri setempat.

Adapun ketentuan mengenai alasan-alasan perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Yaitu tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut PP 9/1975) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 

Pada Pasal 19 PP 9/1975 mengatur bahwa:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan yaitu (1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. (2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.

Selain itu, (3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. (4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. (5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. (6) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Pasal 116 KHI mengatur bahwa:

“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan. Di antaranya, (1) salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. (2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. (3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

Kemudian, ada pula (4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. (5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. (6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. (7) Suami melanggar taklik talak. (8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.”

Dengan berpedoman pada ketentuan di atas mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar perceraian, maka pasangan suami istri yang mengajukan perceraian di depan sidang Pengadilan harus memenuhi minimal salah satu alasan yang terdapat dalam PP 9/1975 dan KHI (bagi yang beragama Islam). 

Hak-hak perempuan dan anak paska perceraian

Perempuan dan anak adalah pihak yang paling terdampak dengan terjadinya perceraian (pasca perceraian), khususnya dampak ekonomi. Hal ini terjadi karena karena adanya pembagian peran baku masyarakat yang masih memposisikan perempuan sebagai ibu rumah tangga (domestik) dan suami sebagai kepala rumah tangga atau pencari nafkah utama (publik), yang juga dikuatkan/diatur dalam UU Perkawinan.

Oleh karena Perempuan dan anak yang paling terdampak pasca perceraian Pengadilan berkewajiban menyediakan informasi kepada perempuan yang akan/menjalani perkara perceraian, mulai dari informasi bagaimana prosedur perceraian, dokumen-dokumen yang diperlukan dalam persidangan, cara membuat gugatan, tahapan persidangan, serta informasi mengenai hak-hak Perempuan dan anak pasca perceraian. 

Mengenai hak-hak Perempuan dan anak pasca perceraian bahkan Hakim berkewajiban untuk memastikan jaminan atas terpenuhinya hak-hak Perempuan dan anak.  Berikut adalah Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian:

1.      Cerai Talak

Apabila perceraian terjadi karena permohonan cerai dari suami kepada Istri (cerai talak), maka berdasarkan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam, seorang istri berhak mendapatkan:

1)    Mut’ah atau kenang kenangan yang layak dari mantan suami, baik berupa uang atau benda kepada mantan istri.

2)    Nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada mantan istri selama dalam masa iddah atau sesuai keputusan pengadilan.

3)    Pelunasan mahar perkawinan yang masih terhutang.

4)    Biaya kebutuhan untuk anak-anaknya yang belum berumur 21 tahun;

5)    Perempuan berhak atas Harta bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam;

6)    Perempuan berhak untuk mendapatkan pula hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun.

2.      Cerai Gugat:

Apabila perceraian terjadi karena gugatan cerai dari istri kepada suami (cerai gugat) maka seorang istri berhak mendapatkan:

1)    Nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada mantan istri selama dalam masa iddah atau sesuai keputusan pengadilan.

2)    Perempuan berhak atas Harta Bersama, dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam;

3)    Perempuan berhak untuk mendapatkan hak hadhanah bagi anak yang belum berumur 12 tahun

Hak-hak tersebut di atas harus dicantumkan oleh pihak istri pada dokumen pengadilan tertulis maupun lisan, baik ketika dengan posisi hukum sebagai Termohon (cerai talak) atau ketika dengan posisi hukum sebagai Penggugat (cerai gugat), sehingga dipertimbangkan oleh majelis hakim dan tertuang di dalam putusan perceraian.

Hak Anak Akibat Perceraian Kedua Orang Tua

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf c, dalam menentukan biaya pemeliharaan anak menjadi kewajiban Ayah, dan berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 41 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1)    Baik Ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

2)    Ayah yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;

3)    Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Demikian penjelasan mengenai hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian, informasi tersebut juga bisa anda dapatkan melalui laman online ataupun secara langsung di Pengadilan Agama tempat Anda mengajukan gugatan perceraian. 

Selanjutnya mengenai pertanyaan apakah Anda bisa mengajukan gugatan cerai secara mandiri (tanpa didampingi oleh Kuasa Hukum), tentu saja jawabannya Anda bisa mengajukan gugatan cerai secara mandiri. Untuk mendapatkan informasi mengenai prosedur pengajuan gugatan, biaya panjar (administrasi), hingga proses persidangan bisa di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang secara terintegrasi memberikan layanan dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk melalui satu pintu. 

Baca Juga: Pengasuhan Anak yang Orangtuanya Pisah, Tanggungjawab Siapa?

Pada saat pendaftaran, Ketika mengetahui Anda mengajukan gugatan perceraian mandiri, dan perlu bantuan untuk membuat surat gugatan, pihak bagian informasi akan meminta Anda untuk ke pos bantuan hukum (posbakum) yang biasanya berada di ruangan yang sama, hanya beda posisinya saja, untuk mendapatkan bantuan atau asistensi cara membuat surat gugatan. 

Selain dapat membantu Anda dalam pembuatan dokumen yang dibutuhkan, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan, dalam Pasal 25 mengenai Jenis Layanan di Posbakum Pengadilan, dijelaskan bahwa Posbakum Pengadilan memberikan layanan berupa:

1.      Pemberian informasi, konsultasi, atau advis hukum.

2.      Bantuan pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan.

3.    Penyediaan informasi daftar Organisasi Bantuan Hukum sebagaimana dimaksud dalam UU No 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum atau organisasi bantuan hukum atau advokat lainnya yang dapat memberikan bantuan hukum cuma-cuma.

Demikian jawaban atas pertanyaan anda. Semoga bermanfaat.

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!