Klinik Hukum Perempuan: Pengasuhan Anak yang Orangtuanya Pisah, Tanggungjawab Siapa?

Pengasuhan anak-anak yang orangtuanya pisah: tanggungjawab siapa? pertanyaan ini banyak ditanyakan pasangan yang akan berpisah

Konde.co punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ bekerjasama dengan Koran Tempo, LBH APIK, Kolektif Advokat Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. Untuk edisi perdana ini akan dibahas soal pengasuhan anak yang orangtuanya berpisah.

Tanya: Hallo kak, nama saya Nadia. Saya seorang ibu yang mencoba bertahan dengan suami saya, padahal suami saya melakukan kekerasan psikis, sering marah-marah dan pergi begitu saja. Saya sudah sampai pada titik untuk meninggalkannya, tapi bagaimana dengan anak kami, kak? Apakah hak pengasuhan anak nanti ada di saya atau suami? Saya sendiri kebingungan dengan kondisi ini. 

Jawab: Hallo, Nadia. Perkenalkan Saya Mona Ervita, advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender. Sebelumnya saya turut prihatin dengan kondisi yang kamu alami. Saya akan mencoba untuk menjawab permasalahan yang kamu alami.

Kekerasan psikis dalam ranah rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 huruf b UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pengertian kekerasan psikis disebutkan dalam Pasal 7 UU KDRT yaitu:

“Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”

Poin lainnya yang saya lihat, bahwa kamu selain mengalami kekerasan psikis, suami kamu juga tidak bisa mengontrol emosi dan kelakuannya sehingga sering memarahi kamu dan pergi begitu saja.

Perlu diketahui bahwa, ketika suamimu pergi meninggalkan kamu dan anak, apakah suamimu memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan?. Jika tidak, maka suami kamu dapat dikatakan melakukan tindakan penelantaran yang merupakan bagian dari kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (1) UU KDRT.

“Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.”

Mengenai hak asuh anak, perlu diketahui bahwa dalam Pasal 45 UU Perkawinan yang menjelaskan sebagai berikut :

(1)  Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.

(2)  Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarganya dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

Mengenai hak asuh anak biasanya menjadi problem ketika pasca perceraian terjadi. Undang-Undang Perkawinan mengatur, orang tua berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, jika ada perselisihan hak asuh, maka yang berhak memutus adalah pengadilan. 

Hak asuh anak diatur ketika orang tuanya telah bercerai dan anak belum berusia 12 tahun. Hal ini merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 102K/Sip/1973 tanggal 24 April 1975 yang mengatakan bahwa dalam penentuan pemberian hak asuh anak dalam perceraian haruslah mengutamakan ibu kandung. Terlebih lagi untuk hak asuh anak yang masih di bawah umur atau 12 tahun kebawah. Hal ini ditetapkan dengan melihat kepentingan anak yang membutuhkan sosok ibu. 

Jika merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) apabila anda adalah seorang yang beragama muslim, pengasuhan hak asuh anak yang perceraian orang tuanya diputus oleh Pengadilan Agama tercantum di Pasal 105 KHI yaitu :

A.Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

B.  Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

C. Biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya. 

Jika kamu adalah seorang non muslim, tidak ada pengaturannya mengenai hak asuh yang jatuh kepada ibu. Maka, saya merujuk sebuah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 126 K/Pdt/2001 yang menyatakan bahwa:

“Bila terjadi perceraian, anak yang masih di bawah umur, pemeliharaannya seyogianya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu Ibu.”

Demikian pendapat hukum saya sampaikan, terima kasih dan tetap semangat berjuang. 

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!