Dari Nunuk Prasetyo Murniati, Kita Belajar Kegigihan Seorang Teolog Feminis

Buku Biografi Nunuk Prasetyo Murniati, mengajarkan kita untuk jadi sosok yang gigih dalam perjuangan feminisme dan toleran menjalin persahabatan lintas iman yang positif. Ini adalah refleksiku membaca buku itu dan mendiskusikannya.

Saya menulis catatan ini karena menjadi narasumber untuk diskusi Bedah Buku Nunuk Prasetyo Murniati.

Acara itu diselenggarakan oleh Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia (PERUATI) di kampus Universitas Kristen Duta Wacana DIY, pada 13 September 2023. 

Pertama saya berterimakasih kepada sahabat saya, Masthuriyah Sa’dan, yang dengan gigih dan tekun telah menuliskan biografi Agustina “Nunuk” Prasetyo Murniati. Setidaknya ada beberapa catatan setelah membaca buku ini.

Pertama, buku ini hasil sisterhood lintas iman yang sangat positif. Bagaimana dua orang berbeda agama berbagi upaya untuk melahirkan bacaan yang menarik. Khususnya, bagi perempuan yang mau belajar sepanjang hayat. 

Kedua, pentingnya kesadaran dalam menjalani hidup supaya dinamis, bukan ritualistik-statis. Melalui mempertanyakan dan berefleksi pada pengalaman dan peristiwa yang dilihatnya. Begitulah, sosok Nunuk membarui diri dan lingkungannya. 

Ketiga, kegigihan dialogis. Sebab kegigihan dan kesediaan berdialog adalah ruh yang melahirkan buku ini, dalam arti yang menyemangati hidup.

Lika-liku Penulisan Biografi

Buku ini dimulai dengan pengantar oleh Nunuk. Ia mengisahkan muasal dan lika-liku penulisan biografi ini. Ada pergulatan sebagai perempuan Jawa yang tak ingin diekspos. Ada peristiwa penampakan yang merupakan misteri bagi banyak orang. 

Ada juga kegamangan untuk menerbitkan setelah draft jadi. Setelah melalui editing, sensoring dan laku doa ala Katolik, barulah keputusan untuk menerbitkan itupun dicapai sebagaimana tertulis pada percakapan 2 perempuan lintas generasi pada bagian akhir Pengantar (h xvi).

Dewi Candraningrum dalam Prolog buku ini mengatakan bahwa Valerie Saiving dalam bukunya The Human Situation: A Feminine View memulai gugatan terhadap teologi pada 1960-an. Tulisannya menginspirasi para pemikir lain. Biografi ini mengingatkan Dewi pada teolog feminis Rosemary Ruether dan Mary Daly, memang Nunuk kenal kedua teolog perempuan Katolik ini. 

Kendati demikian, sebagaimana disampaikan dalam buku, Nunuk mengatakan bahwa Elizabeth Schuessler-Fiorenza yang pertama memberikan tantangan untuk belajar teologi, kalau mau berjuang untuk keadilan gender dalam gereja (dan Masyarakat).

(Buku Biografi Nunuk Prasetyo Murniati: Teolog Feminis Indonesia yang ditulis oleh Masthuriyah Sa’dan/Dok. Pribadi)

Uraian biografi diawali dengan kisah tentang trah dan silsilah (Bab 1). Untuk menuliskan bagian ini, Masthuriyah merasa perlu berziarah ke kuburan leluhur Nunuk untuk meminta restu mereka. 

Di bagian ini diceritakan bahwa kedua orang tua Nunuk telah lama menantikan hadirnya buah hati. Hingga lahirlah Nunuk pada zaman Jepang. Nunuk sebagai anak yang ditunggu kelahirannya oleh kedua orang tua. (h 15). Karena ibunya lama tidak dapat hamil dan melahirkan anak (p. 22).

Baca Juga: Pidato Kebudayaan Agustina Prasetyo Murniati: Herstory, Perempuan Adalah Penjaga Kehidupan

Akan tetapi, ada yang kurang dalam pembahasan di bab ini, yaitu tidak adanya pembahasan tentang tembang doa ritual panen dari nenek tokoh yang dalam kesehari-harianya bekerja sebagai petani. Bukankah tembang doa ritual panen merupakan warisan penting dalam kearifan lokal masyarakat Jawa?

Demikian pula nama GJ Dreckmeier, dokter perempuan yang punya andil untuk membantu kehamilan ibu, tidak disebutkan oleh penulis dalam bab ini. Padahal jika disebutkan akan menambah nilai pada kisah pelayanan ekumenis yang di kemudian hari digeluti Nunuk.

Berikutnya (Bab 2) kita akan membaca pendidikan formalnya, Nunuk mengalami masa studi lintas zaman. Dari sekolah Froebel pada masa kemerdekaan, namun dengan sistem masih sama dengan masa kolonial Belanda. 

Pendidikan SD sampai dengan SMA dijalani di sekolah Katolik, lanjut ke UGM di Fakultas HESP (Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik) kampus yang relatif masih baru dengan jurusan studi yang masih terbatas. Masa kuliah itulah terjadi pergolakan politik, sempat terkendala kuliahnya tetapi pada akhirnya bisa menyelesaikan kuliah di UGM walaupun terjadi selama masa pergolakan G30S. 

Baca Juga: ‘Namaku Alam’, Kisah Tahanan Politik dalam Sejarah 1965

Kala itu Nunuk ikut memperjuangkan kawan dibebaskan dari tuduhan sebagai PKI, ia juga harus melihat temannya yang trauma. Sungguh kehidupan Nunuk penuh dengan pergulatan batin, sekaligus mengasah kepekaan.

Masa pergolakan batin yang tak kalah berat adalah ketika Nunuk yang telah melahirkan tiga buah hati tetapi memiliki kesempatan belajar di Maryknoll School of Theology (MST) Amerika. Di sana ia belajar tentang Pendidikan dari Paulo Freire, yang membawanya bertobat tentang konsep dan praktik pendidikan yang ia gunakan selama menjadi dosen. Kesadaran dan proses penyadaran menjadi bagian penting dalam pendidikan dan konseling yang kemudian digeluti Nunuk.

Spiritualitas dan Kesadaran Feminisme

Pergolakan batin selama studi di MST menampilkan sisi laku spiritual Nunuk, melalui doa Novena dan puasa untuk menemukan “keinginan Tuhan” (h 49). Diksi “keinginan Tuhan” ini paling mudah dipahami sebagian besar pembaca, kendati bukan pilihan pas dalam spiritualitas feminis. 

Kemudian kesadaran Feminisnya makin terasah melalui belajar dari forum internasional, nasional dan lokal di sekitarnya. Dalam hal berteologi feminis, partisipasi di EATWOT & EWA semakin mengasah refleksi-refleksi teologisnya.

Untuk lingkungan akademis, mungkin Nunuk bukan teolog feminis, karena studi akademiknya di S1 tidak linier dan jauh dari bidang teologi. Namun, EATWOT dalam gerakan berteologi selalu berpijak pada realitas, dan para teolog dalam EATWOT tidak harus bertolak dari teolog akademis. 

Dalam EATWOT, Nunuk menemukan komunitas berteologinya. Setelah menyelesaikan kuliah, Nunuk kemudian melanjutkan bekerja secara formal. Karyanya dimulai sebagai dosen, di samping aktivitas-aktivitas yang lain (bab 3)

Kerja utama sebagai dosen, Nunuk menjalani kerja dosen lintas perguruan tinggi Katolik di Yogyakarta, yakni di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma dan Akademi Kesejahteraan Sosial (AKS) Tarakanita. 

Baca Juga: Kata Teolog Feminis, ‘Bapa Kami’ Bukan Satu-satunya Cara Menyebut Tuhan

Pekerjaan sebagai direktur di AKS Tarakanita dengan sebagian besar mahasiswa perempuan memberikan tantangan untuk peduli pada isu perempuan, termasuk perempuan muda. 

Pengalaman masa kecil dan pengalaman sebagai dosen membawa seorang Nunuk bukan hanya menjadi dosen, juga menjadi konselor. Ia ingin menjadi penolong bagi yang membutuhkan dan menolong orang yang menjadi korban, terutama perempuan yang mengalami kekerasan.

Untuk berkiprah di luar profesi dosen berarti butuh waktu dan energi ekstra, dalam hal ini dukungan keluarga sangat penting (bab 4). Kehidupan berkeluarga dimulai pada ritual perkawinan. 

Kaitannya itu, Nunuk sudah melakukan pembaruan tradisi dengan cara meniadakan acara menginjak telur dan menggantinya dengan saling membasuh kaki. Ini menandakan bahwa Nunuk sudah memiliki kesadaran feminis, sebelum mengenal kata feminisme. Pembagian peran dalam rumah tangga juga tidak klise. 

Sehingga saat harus studi di MST Amerika, ia jauh dari keluarga tetapi masih dapat menjalaninya dengan relatif tenang. Hal itu karena Nunuk melakukan komunikasi intens dengan pasangan, termasuk ketika tidak mau aktif di organisasi Dharma Wanita, yang cuma dompleng jabatan laki.

Kiprah di Gerakan Perempuan

Selain sebagai dosen, Nunuk aktif dalam organisasi dan gerakan perempuan (bab 5). Yang memang dapat ditengok dari peran aktifnya sejak SR/SD dalam keluarga siswa, saat SMP-SMA dan kuliah di UGM, selain di sekolah Nunuk juga aktif dalam kegiatan internal gereja Katolik. 

Pada 1988-1998 pada saat sebagai koordinator Komisi Pendampingan Keluarga di Keuskupan Agung Semarang (KAS) kevikepan DIY, Nunuk memprakarsai lahirnya Biro Konsultasi Keluarga (1989). Disamping sebagai dosen, Nunuk juga aktif di Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY).

Pada tahun 1992 terjadi pertemuan perempuan Ekumenis, yaitu para aktivis perempuan gereja dan mahasiswa teologi perempuan, saat itu yang lelaki hanya 1 mahasiswa dan 1 dosen. Forum ini kemudian melahirkan Kelompok Perempuan Sadar (KPS). Dalam networking dengan organisasi dan kelompok Gerakan perempuan di Yogyakarta melahirkan GAKTPI (Gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia), ia selanjutnya aktif di Solidaritas Perempuan dan menjadi komisioner Komnas Perempuan.

Spiritualitas dan kiprah pelayanan seorang Nunuk diurai pada bagian ini (bab 6). Spiritualitasnya mewarnai kiprah pelayanannya. Diasuh dalam tradisi Kejawen keluarga Katolik yang rajin ke gereja, sangat mempengaruhi cara beriman seorang Nunuk. Dalam dirinya tradisi budaya Jawa dan iman Katolik berjalan seiring. Aktivitas pelayanan di gereja seperti ikut koor, Nunuk selalu bersemangat menyiapkan caosan dahar romo (h 188).

Baca Juga: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965

Sebagai orang yang berteologi, Nunuk memaknai keyakinan dan menjelaskannya misal, tentang Roh Kudus (h 176, 178) untuk tidak hanya ikut dogma gereja. Spiritulitas pelayanan gerejawinya berlangsung di dalam dan di luar gereja, melibatkan diri dalam pastoral keluarga, memancar juga dalam konseling untuk yang bukan anggota gereja.

Dari kiprah baik sebagai dosen maupun di luar kampus, Nunuk mendapat pencerahan melalui pergulatan dan pemikiran feminis. Pergulatan hidup bersama perempuan melahirkan kepedulian dan tindakan pembebasan, juga dituangkan Nunuk dalam tulisan baik publikasi internal gereja maupun koran umum. 

Nunuk melihat persoalan ketidakadilan yang dialami perempuan, terlebih yang miskin seperti mbok Sastro, dan itu menggelisahkannya. Demikian pula, kala melihat gereja seakan sebagai panggung para lelaki (klerus).

Dari pengalaman, pengamatan dan kepedulian, Nunuk belajar dan menganalisis. Juga kala KPS mengumpulkan kisah kekerasan yang dialami perempuan umat gereja, Nunuk menyediakan diri untuk dipajang namanya sebagai penanggung jawab isi buklet tersebut. 

Dari pengalaman sebagai konselor, Ia menulis buku berjudul “Konseling Feminis: Perlunya menemukan potensi feminis dalam diri setiap perempuan untuk menjadi berdaya”, begitulah caranya menemani sebagai sahabat bagi perempuan yang sedang terpuruk.

Baca Juga: ‘Malam Seribu Jahanam’, Novel Horor tentang Pencarian Tak Berujung

Bagian akhir buku ini berisi rangkuman wawancara penulis dengan sebagian sahabatnya, Nunuk di mata para sahabat. Para sahabatnya yang diwawancara oleh penulis menunjukkan keragaman latar belakang mereka, keragaman dalam pergaulan seorang Nunuk Murniati juga menandakan bagaimana menghayati manusia sebagai sesama yang setara. 

Mereka  menganggap Nunuk adalah sosok yang menampilkan kegigihan seorang yang kadang menjadi pionir, dan kepedulian pada para korban yang, menampilkan sisi lembutnya sebagai manusia, dan selalu punya energi untuk melayani.

Apabila Epilog dari penulis disandingkan dengan kata sambutan dari sang tokoh, jelas bagi pembaca ada relasi antar iman, antar generasi dan lintas budaya. Relasi yang menampilkan sisi sisterhood dalam feminisme. 

Saya sebagai pembaca salut pada kegigihan dua saudari hingga buku penting ini dapat terbit. Saya mengucapkan selamat merayakan dasa windu untuk Nunuk. Selamat belajar bagi kita semua.

Rincian Buku 

Judul Buku              : Biografi Nunuk Prasetyo Murniati: Teolog Feminis Indonesia

Penulis                    : Masthuriyah Sa’dan

Penerbit                   : SUKA Press

Cetakan                   : Pertama, Mei 2023

Spesifikasi buku     : 316 halaman, 14 x 21 cm, bookpaper 72 gram

ISBN                       : 978-623-7816-75-1

Judith G. Lim

Tertarik pada kajian Pariwisata, kajian Perempuan, beraktivitas bersama pemuda dalam organisasi Young Women’s Christian Association (YWCA) Yogya dan Young Men’s Christian Association (YMCA) Yogyakarta dan Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!