Pemenuhan hak-hak kelompok rentan agar bebas dari diskriminasi

Lindungi Hak Kelompok Rentan, Butuh Kebijakan Stop Diskriminasi!

Aktivis mendesak adanya RUU Penghapusan Diskriminasi terhadap Kelompok Rentan. Termasuk mereka yang tak diakui sebagai kelompok rentan namun seringkali mengalami diskriminasi seperti minoritas seksual dan gender serta minoritas agama.

Sebelum bicara lebih jauh terkait kebijakan stop diskriminasi kelompok rentan. Perlu kita pahami bersama, jika selama ini pengabaian terhadap mereka masih sering terjadi. 

Temuan dari Koalisi Crisis Response Mechanism (CRM) dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) ada persoalan pada 63 UU terkait diskriminasi. Paling tidak ada dua permasalahan utama. 

Pertama, adanya kelompok rentan yang termasuk dalam UU tapi tidak diakui seperti Orang dengan HIV Aids (ODHA), perempuan, pekerja migran, pengungsi, etnis minoritas, dan masyarakat adat. Kedua, kelompok rentan yang tidak termasuk atau tidak diakui yaitu minoritas seksual dan gender, serta minoritas agama. 

Dikutip dari QBukaTabu, Risca Carolina dari CRM menyebut, selama ini peraturan yang menjelaskan tentang perlindungan diskriminasi masih terpisah-pisah. Ada inkonsistensi bahasa antara UU satu dan lainnya yang tidak relevan. Inilah yang mendorong, adanya advokasi penyusunan RUU Penghapusan Diskriminasi terhadap Kelompok Rentan yang dilakukan Koalisi CRM bersama PSHK. 

Diskriminasi terhadap Perempuan

Jihan Faatihah dari Perempuan Mahardhika menyatakan, perempuan kerap dinomorduakan dalam peran gender secara umum. Dalam hal pekerjaan pun, perempuan sangat rentan menjadi kelompok pertama yang terancam kehilangan pekerjaan, sekaligus jadi kelompok terakhir yang akan mendapatkannya kembali.

“Tidak ada pengakuan dan akar pengakuan atas kerja-kerja perempuan itu masih minim,” tutur Jihan dalam konferensi pers Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) yang dihadiri Konde.co di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (25/8).

Kemiskinan terhadap perempuan pun tidak bisa dipisahkan dari cara sistem bekerja. Kerap kali, kemiskinan tersebut terjadi secara struktural. 

Jihan menjabarkan, perempuan lebih banyak bekerja di sektor-sektor yang paling berisiko terdampak krisis. Pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan jam kerja, dan berbagai risiko lainnya lebih mengancam perempuan pekerja.

Semua kerentanan kerja publik itu mesti dipikul perempuan, sedangkan di sisi lain, perempuan juga harus bertanggungjawab atas kerja domestik. 

Jihan menyebut, banyak pekerja di pabrik garmen adalah perempuan muda. Tapi ada pula yang sudah bekerja di industri garmen hingga 40 tahun. Padahal, kontrak mereka mungkin sebetulnya hanya berlaku 3 bulan sampai 1 tahun. Ketidakpastian kerja membuat perempuan berada dalam situasi itu.

“Itu kontrak cuma 3 bulan, tapi sudah bertahun-tahun di garmen. Kontraknya cuma 1 tahun, cuma 6 bulan, tapi sudah 10 tahun di garmen, 20 tahun di garmen,” ujar Jihan. 

Baca Juga: HRD Syaratkan Cek Sosmed Calon Karyawan? Hati-hati Diskriminasi dan Pelanggaran Privasi 

Kehadiran Omnibus Law menambah beban perempuan atas ketiadaan kontrak kerja dan paradigma perempuan sebagai ‘kelompok nomor 2’ yang mendiskriminasi mereka.

Orang dengan ragam ekspresi gender yang bekerja di pabrik garmen juga kerap kali dikucilkan, dilecehkan, hingga mengalami kekerasan. Pelakunya beragam, mulai dari atasan, rekan kerja, hingga satpam. 

Kekerasan terhadap ragam ekspresi gender dan perempuan hamil juga sering menjadi pertimbangan supervisor untuk menentukan masa kontrak kerja mereka. Alhasil, kelompok ini  sangat rentan diberhentikan dari pekerjaan.

“Ini kan, diskriminasi yang perempuan alami di tengah situasi kerja yang sangat buruk,” kata Jihan.

Bahkan, bagi perempuan yang bekerja di industri yang rentan dan beresiko dengan target yang sangat tinggi, sekadar pergi ke kamar mandi saja sulit untuk dilakukan. Hal itu tentu berdampak buruk bagi kesehatan.

“Kebanyakan teman-teman buruh perempuan, mereka mengalami sakit infeksi saluran kemih. Karena harus bekerja membuat 300 baju dalam sehari—8 jam. Belum lagi ditambah lembur. Untuk ke kamar mandi, untuk mengganti pembalut aja itu sulit sekali.”

Tantangan Kebijakan Kelompok Disabilitas 

Kelompok disabilitas mungkin seolah lebih ‘maju’ ketimbang kelompok rentan lain dalam hal legislasi. Akan tetapi, produk-produk kebijakan yang ada rupanya belum menjawab semua tantangan bagi kelompok disabilitas.

“Kalau kita lihat, memang secara kebijakan itu progress-nya sangat maju. Tapi tidak otomatis langsung bisa terimplementasikan. Kami masih melihat banyak sekali kawan-kawan disabilitas yang masih terdiskriminasi,” ujar Purwanti dari Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia.

Meski kuota pekerja disabilitas telah diatur dalam kebijakan, nyatanya serapan tenaga kerja dari kelompok disabilitas usia produktif masih jauh dari target. Belum lagi, diskriminasi terjadi secara berlapis terhadap orang dengan disabilitas.

“Semakin berat kondisi disabilitasnya, diskriminasinya akan semakin ‘lengkap’ dan akan semakin terpinggirkan,” tutur Purwanti. 

Bahkan, lanjutnya, diskriminasi itu justru dimulai dari lingkungan sosial terkecil seperti keluarga. Salah satu yang diharapkan kelompok disabilitas adalah pengarusutamaan isu disabilitas dalam program dan kebijakan negara.

“Ini untuk semuanya. Baik untuk pendidikan, bantuan hukum, perlindungan hukum, jaminan ketenagakerjaan, dan yang lain sebagainya.”

Baca Juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Ia melanjutkan, partisipasi penuh kelompok disabilitas dalam program dan kebijakan juga sangat penting. Mengingat masih ada persoalan kebijakan-kebijakan yang mendiskriminasi kelompok disabilitas hingga saat ini.

Sistem penanganan, pencegahan, perlindungan, dan pemulihan atas kasus-kasus diskriminasi juga mesti disusun secara serius. Bukan hanya untuk kelompok disabilitas, tetapi juga bagi kelompok rentan lainnya.

“Kemudian sangat penting adanya pemenuhan kebutuhan khusus. Terutama aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi kawan-kawan disabilitas,” katanya.

“Kami sangat mendukung apabila negara Indonesia mengesahkan atau menyusun kebijakan anti-diskriminasi bagi masyarakat rentan. Karena ini juga sangat didukung oleh konstitusi negara kita.”

Kerentanan Diskriminasi Minoritas Seksual dan Gender 

Vina dari Sanggar Swara menekankan, bicara soal kerentanan kita juga tak bisa tidak membicarakan kelompok minoritas gender. Apalagi, kelompok minoritas gender seperti transpuan seringkali dirugikan akibat politisasi isu.

“Jadi hanya menguntungkan segelintir orang, tapi tidak melihat dampak pada teman-teman akar rumput,” jelas Vina. 

Persekusi, diskriminasi, dan berbagai kondisi kekerasan sangat sering terjadi pada kelompok minoritas gender. Bahkan sudah mulai terus meningkat ketika memasuki momen-momen politik.

“Sebisa mungkin, kita semua bertanggungjawab terhadap stigma dan diskriminasi yang dialami oleh masyarakat rentan. Karena kepentingan segelintir orang. Misalnya, kepentingan-kepentingan politisi terkait dengan suara ketika nanti mereka mencalonkan,” kata dia. 

Pram dari Yayasan Kebaya Yogyakarta menambahkan, transpuan yang positif HIV juga mengalami kerentanan yang berlapis. Terlebih, jika orang terdekat mereka tidak menerima kondisi mereka. 

“Belum tersedia shelter atau rumah aman buat teman-teman ODHIV yang ditolak atau dibuang keluarganya,” katanya.  

Meski Yayasan Kebaya sendiri memiliki shelter, mereka mengalami overload dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari kelompok ODHIV yang ada di sana.

Hal-hal seperti itu yang membuat teman-teman ODHIV itu tidak mau melakukan pengobatan. Karena takut statusnya diketahui masyarakat dan dikucilkan,” ia melanjutkan. Kedua, mereka tak sedikit juga yang tidak melakukan tes dini sehingga bisa makin rentan.

Baca Juga: Sudah 39 Tahun CEDAW, Perempuan Masih Berjuang Stop Diskriminasi dan Ketidakadilan

“Dari awal, karena takut mendapatkan diskriminasi juga. Belajar dari lingkungan teman-teman yang sudah mendapatkan diskriminasi,” ujarnya. 

Pengobatan untuk meminimalisir risiko penularan HIV, antiretrovital (ARV) juga belum tersedia bagi anak positif HIV. Akhirnya mereka harus menggunakan ARV untuk dewasa. Padahal, efek sampingnya untuk orang dewasa saja luar biasa, apa lagi untuk anak. 

Meski sudah ada surat edaran dari Kementerian Kesehatan untuk transisi ARV, pelayanan kesehatan belum mau melakukan transisi obat yang minim efek samping dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.

Bahkan, menurut Pram, ARV yang sebetulnya dibagikan secara gratis di Indonesia, malah diperjualbelikan oleh oknum. Ia menyebut, kasus jual-beli ARV kepada warga negara asing (WNA) terjadi salah satunya di Batam. Tentu hal itu membuat jatah ARV bagi warga Batam sendiri berkurang.

Di tempat lain seperti Alor, Nusa Tenggara Timur, pemerataan ARV hanya dilakukan di satu rumah sakit. Justru Puskesmas pembantu (Pustu) tidak memiliki obat tersebut. Padahal, ODHIV juga ada di daerah pelosok dan desa. Sementara itu, perjalanan dari pelosok ke rumah sakit dengan fasilitas ARV sangat jauh dan butuh biaya besar. Akibatnya, banyak ODHIV putus obat dan akhirnya meninggal.

Menanti Kebijakan Anti-Diskriminasi Bagi Kelompok Rentan

Berbagai permasalahan itulah yang mendorong urgensi kebijakan untuk menghapus diskriminasi bagi kelompok rentan.

“Masyarakat bahkan belum tahu, diskriminasi itu seperti apa? Bagaimana dampaknya?” Jihan berkata. “Belum ada awareness itu terhadap teman-teman perempuan, disabilitas, ragam gender dan seksualitas, dan teman-teman HIV.”

Jihan menegaskan, minimnya perlindungan bagi kelompok rentan juga diperparah dengan adanya UU Cipta Kerja. Perempuan dihantui ketidakpastian kontrak kerja, partisipasi kelompok disabilitas dalam ketenagakerjaan minim, ODHIV dipecat karena statusnya, dan pekerja dengan keragaman gender mengalami persekusi.

Keterlibatan kelompok-kelompok rentan dalam penyusunan kebijakan juga penting. Adanya rancangan undang-undang penghapusan diskriminasi dapat membantu mempertegas definisi diskriminasi, hal-hal yang membuat seseorang dibedakan dan dirugikan, dan sebagainya. 

Pram mengungkapkan, “Pengesahan ini sangat penting sekali. Terutama bagi populasi kunci, orang yang hidup dengan HIV dan AIDS di Indonesia.” Ia melanjutkan, program pemerintah terkait penanganan HIV/AIDS tidak akan tercapai ketika diskriminasi masih diterima oleh kelompok ODHIV.

Baca Juga: Dipanggil ‘Pak’ Arti Nama dan Identitas Dalam Hidup Transgender 

Bagi Ipung, ada kerentanan berlapis dan interseksionalitas isu bagi kelompok rentan yang membuat keberadaan kebijakan anti-diskriminasi harus disusun secara serius.

“Bayangkan jika seorang disabilitas transgender, kemudian dengan HIV. Ini berlipat ganda,” kata Ipung. “Ini yang belum terbaca. Karena dalam kebijakan kita itu hanya anti-diskriminasi suku, ras, etnis. Sementara kehidupan yang lain itu tidak pernah teridentifikasi.”

Sementara itu, menurut Vina, perlindungan terhadap kelompok rentan hanya sejauh ini hanya bergantung pada berbagai aturan yang sudah ada. Hal itu seakan menafikkan pengalaman kelompok rentan yang belum diakomodir dalam kebijakan yang sudah berlaku tersebut.

Di sisi lain, kita dihadapkan pada kebijakan-kebijakan yang diskriminatif, yang menyasar kelompok-kelompok rentan lainnya. Sehingga upaya dalam mengesahkan RUU Penghapusan Diskriminasi ini, menurutnya butuh payung hukum yang komprehensif, yang melindungi semua kelompok rentan. Tak terkecuali yang belum diakui hingga kini. 

“Kita mau sampai kapan membiarkan orang-orang yang punya kuasa? Misalkan, ‘orang tidak tahu apa itu diskriminasi’. Kita tidak butuh alasan itu lagi. Semua orang harus tahu bahwa diskriminasi adalah tindakan yang tidak boleh dilakukan,” pungkasnya. 

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular