Aliansi buruh GEBRAK berunjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, Senin (2/10/2023). Massa menuntut pencabutan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dinilai berdampak buruk bagi kaum buruh. (Sumber Foto: dok. KASBI)

MK Tolak Gugatan UU Cipta Kerja, Buruh: Hakim Tidak Patuhi Konstitusi

Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menolak lima perkara kelompok penggugat Uji Formil UU Cipta Kerja. Dalam sidang pembacaan putusan, MK menilai dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Sementara itu, gerakan buruh melihat bahwa dalam perkara ini, justru hakim MK yang gagal mematuhi konstitusi dengan penolakan tersebut.

Ratusan buruh yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin (2/10/2023). Aksi tersebut dalam rangka mendesak tuntutan buruh agar MK mencabut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) alias Omnibus Law.

Kendati demikian, pada hari itu pula MK menolak gugatan kelompok buruh dan empat kelompok penggugat lainnya. Berdasarkan putusan MK, UU Cipta Kerja tidak melanggar ketentuan pembentukan perundang-undangan. Keputusan tersebut dibuat dalam sidang pembacaan putusan yang dihadiri sembilan hakim konstitusi, Senin (2/10).

Melansir Kompas.com, ada empat hakim konstitusi yang berselisih pandangan (dissenting opinion) dalam sidang itu. Keempat hakim tersebut antara lain Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

Namun pada akhirnya, Ketua MK Anwar Usman membacakan, “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya.” Hal itu berdasarkan pertimbangan bahwa dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

“Ada lima perkara, semua dikalahkan,” ungkap Ketua Umum KASBI, Sunarno, saat dihubungi Konde.co pada Senin (2/10).

Sunarno menjelaskan, ada lima kelompok penggugat yang secara substansial sama-sama menggugat Uji Formil Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Semuanya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

“Hakim menyatakan bahwa proses penetapan Perppu tersebut menjadi UU sudah sah, dan tidak bertentangan dengan UU 1945 maupun UU P3,” Sunarno berkata.

“Soal anggapan kami prosesnya tidak partisipatif, ditolak hakim,” lanjutnya. “Soal anggapan kami tidak ada kegentingan yang memaksa juga ternyata oleh hakim dinyatakan ada. Karena ada dampak perang Ukraina vs Rusia, pandemi Covid, [dan] adanya krisis global.”

Buruh Tuntut Cabut Omnibus Law
Aliansi buruh GEBRAK berunjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, Senin (2/10/2023). Massa menuntut pencabutan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dinilai berdampak buruk bagi kaum buruh. (Sumber Foto: dok. KASBI)

Selama beberapa tahun terakhir, gerakan buruh menuntut agar UU Cipta Kerja alias Omnibus Law dicabut. Undang-undang ini memang telah menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat sejak masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU).

“Bukan hanya dibahas secara tergesa-gesa, tapi juga tanpa mengedepankan proses partisipasi yang luas dan terbuka,” tulis GEBRAK dalam rilis pers mereka.

Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tetap dilakukan pada 5 Oktober 2020. Namun, sikap penolakan dari masyarakat terus berlanjut. upaya untuk membatalkan UU Cipta Kerja Nomor 20 Tahun 2020 dilakukan melalui jalan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi. Alhasil, MK mengeluarkan putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 (Putusan MK 91) yang menyatakan, “UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.”

Tiga tahun berselang, tiba-tiba Presiden RI Joko Widodo dengan mengumumkan penerbitan Perppu Cipta Kerja dengan alasan keadaan genting dan mendesak. Hanya butuh 50 hari, Perppu Cipta Kerja telah resmi menjadi Undang-Undang setelah disetujui oleh DPR dalam rapat Paripurna pada Selasa (21/03/2023).

GEBRAK pun menilai, DPR dan pemerintah bermufakat melakukan pembangkangan konstitusi dengan menyetujui pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Hal ini menyengsarakan seluruh elemen rakyat. Mulai dari petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, perempuan, mahasiswa, pelajar, masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan, serta kelompok rentan lainnya.

Buruh: Hakim MK, Sudahkah Patuh terhadap Konstitusi?

Aktivis buruh Jumisih turut mengomentari putusan sidang Mahkamah Konstitusi. Kepada Konde.co, ia menyebut bahwa pertimbangan ‘tidak beralasan menurut hukum’ justru seharusnya diarahkan kepada para hakim di MK sendiri.

“Menurut aku, justru hakim MK-lah yang tidak patuh terhadap konstitusi,” ujar Jumisih.

“Karena di konstitusi itu kan, melindungi. Bagaimana buruh sebagai bagian dari masyarakat yang punya HAM, mempunyai hak untuk hidup, mempunyai hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak itu dikangkangi oleh Undang-Undang Cipta Kerja,” lanjutnya.

Jumisih menuturkan, telaah para hakim yang kurang mendalam justru membawa mereka pada kesimpulan bahwa penggugat atau dalilnya tidak beralasan menurut hukum. 

“Justru kalau hakim patuh terhadap hukum, nalar warasnya adalah Undang-Undang Cipta Kerja itu melanggar hukum,” kata Jumisih. “Hukum apa? Satu, konstitusi. Yang kedua itu asas partisipasi, yang di dalam Undang-Undang P3 itu kan, juga sudah dijelaskan secara rinci.”

Baca Juga: 56 Jurnalis Alami Kekerasan Saat Meliput Demonstrasi Omnibus Law Cipta Kerja

UU Cipta Kerja sudah sejak lama dianggap mengandung berbagai masalah krusial bagi kaum buruh. Masalah pertama, antara lain terkait ketentuan batas waktu maksimal dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yang menjadi maksimal hingga 5 tahun.

Kedua, dihapuskannya pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan alih daya (outsourcing), sehingga semua buruh yang bekerja di berbagai jenis pekerjaan dapat dipekerjakan dengan sistem outsourcing.

Ketiga, dihapuskannya variabel ‘kebutuhan hidup layak’ untuk pertimbangan penetapan upah minimum, sebagai rujukan penghitungan upah minimum. Dampaknya, konsep perlindungan pengupahan bergeser secara luas—sehingga kenaikan upah tidak akan pernah mencapai kebutuhan hidup layak.

Keempat,  pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi lebih mudah karena dibuka proses PHK hanya melalui pemberitahuan pengusaha kepada buruh tanpa didahului dengan perundingan.

Kelima, terjadinya pengurangan hak pesangon kaum buruh, yang sebelumnya dengan perhitungan 2 x PMTK bisa mencapai 32 bulan gaji. Saat ini maksimal hanya 1,75 PMTK dengan maksimal perhitungan 25 bulan gaji, yaitu pesangon 19 bulan gaji ditambah 6 bulan gaji diambil dari JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan) berdasarkan Peraturan Pemerintah No 36.

Baca Juga: Aktivis: Pemerintah Menghina dan Polisi Lakukan Represi Dalam Aksi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Keenam, UU Cipta Kerja juga sangat mengurangi kontrol negara terhadap hubungan kerja. Karena banyaknya hal yang dikembalikan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja. 

GEBRAK menilai, narasi dari rezim yang memaksakan pembuatan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang dengan dalih, “Kegentingan memaksa, situasi ekonomi global, dan kekosongan hukum,” adalah akal-akalan semata demi para oligarki.

“Faktanya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 hingga 2023 saja mencapai 5% lebih. Sehingga krisis ekonomi yang selalu dipropagandakan oleh rezim agaknya tidak sesuai dengan fakta pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia,” tulis GEBRAK.

“Di samping itu, narasi kegentingan memaksa yang diucapkan oleh rezim tidak memiliki landasan yang kongkrit atas dibuatnya Perppu Cipta Kerja sebagai sebuah jalan menghadapi kegentingan memaksa yang dimaksud.”

Informalisasi Tenaga Kerja, Buruh Perempuan Paling Terdampak
Buruh perempuan turut berunjuk rasa di depan gedung Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, Senin (2/10/2023). Massa menuntut pencabutan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang dinilai berdampak buruk bagi kaum buruh. (Sumber Foto: dok. KASBI)

Menurut Jumisih, informalisasi tenaga kerja menjadi salah satu faktor pokok UU Cipta Kerja yang berdampak buruk bagi perempuan.

“Informalisasi tenaga kerja itu berdampak pada ketidakpastian hubungan kerja,” jelas Jumisih. “Itu berdampak macam-macam, salah satunya terkait dengan hak khusus buruh perempuan.”

Ia melanjutkan, “Hak maternitas buruh perempuan itu tidak mudah didapat, bahkan dalam kondisi buruh hubungan kerjanya pasti gitu. Apa lagi ini hubungan kerjanya tidak pasti.”

“Buruh perempuan yang hubungan kerjanya tidak pasti itu akan kesulitan memperoleh hak maternitasnya. Apakah itu hak cuti haid, hak cuti keguguran, hak cuti melahirkan, ruang laktasi. Itu akan sulit didapat karena status hubungannya enggak pasti, gitu.”

Selain hak maternitas, penerapan UU Cipta Kerja pun berdampak buruk terhadap ruang berorganisasi bagi buruh perempuan. Kesadaran untuk berorganisasi seakan dibenturkan langsung dengan kondisi ekonomi para buruh. Alhasil, iklim kerja membuat buruh, khususnya buruh perempuan, sulit menghimpun kekuatan untuk berserikat.

“Oleh karena itu, bagi mereka yang paling penting adalah bukan berorganisasi lagi. Tapi yang paling penting adalah bagaimana bertahan hidup supaya hari ini tetap bisa makan. Maka pekerjaan pekerjaan itu ditambah oleh dia,” tutur Jumisih.

Baca Juga: 5 Hal yang Mengancam Perempuan dalam UU Cipta Kerja

Dia mencontohkan kondisi buruh pabrik perempuan. Selain bekerja di pabrik, beberapa dari mereka juga bekerja serabutan dengan pendapatan tidak pasti. Situasi itu mempersulit mereka untuk berorganisasi.

Menurut Jumisih, hak maternitas bagi buruh perempuan memang tidak dicabut dari UU Cipta Kerja. Begitu pula dengan hak berorganisasi. Tapi ketidakpastian hubungan kerja berpengaruh terhadap keyakinan dan kepercayaan diri buruh perempuan untuk memperjuangkan hak maternitasnya, serta menantang kesadaran buruh perempuan untuk berserikat.

“Sementara kita meyakini bahwa, dengan berorganisasi, maka ada pintu yang bisa kita masuki untuk memasok kesadaran,” ujar Jumisih. “Untuk mendukung, memberikan ruang kepada buruh perempuan meningkatkan kapasitasnya, pengetahuannya, kualifikasinya dengan berorganisasi. Tapi karena sebagian besar waktunya diabdikan untuk kerja demi mengisi isi perut itu tadi, maka ruang berorganisasi menjadi sulit secara waktu.”

Penolakan MK adalah Preseden Buruk

Sunarno menyebut, putusan Mahkamah Konstitusi adalah preseden buruk bagi negara yang konon demokratis dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.

“Penerbitan Perppu adalah produk hukum yang mencerminkan pemerintahan otoriter,” tegasnya.

Ia pun menekankan bahwa KASBI menolak putusan MK, yang menolak seluruh gugatan pada Senin ini. KASBI akan melanjutkan perjuangan untuk melawan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law. 

“KASBI akan terus melakukan konsolidasi dan menggalang kekuatan gerakan rakyat untuk melawan Omnibus Law Cipta kerja,” ujar Sunarno.

Pungkasnya, “Yang masih mungkin dilakukan adalah dengan cara pemogokan umum/mogok nasional. Berkolaborasi dengan gerakan mahasiswa dan serikat tani.”

Baca Juga: Perlu Tekanan Publik Yang Kuat Untuk Untuk Menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja

Sementara itu, Jumisih mengingatkan para buruh perempuan bahwa berorganisasi sangat penting untuk dilakukan. Namun tentunya, di tengah situasi seperti sekarang, diperlukan strategi agar buruh perempuan dapat berserikat dan menuntut pemenuhan hak-hak mereka.

“Kita itu sudah diperlakukan sedemikian rupa oleh pemerintah. Jadi enggak ada pilihan lain bagi kita selain melakukan perlawanan,” tegas Jumisih. “Kita sama-sama tahu bahwa kondisi kita sudah sama-sama terdesak. Jadi pilihannya, mau kita diam saja pun, kita tetap akan terus terdesak.”

Jumisih meneruskan, jika buruh melakukan perlawanan, masih ada kemungkinan untuk kita menang. Jadi dia mendorong agar para buruh berorganisasi. Tetap membuka diri dengan peluang ruang kemajuan di diri, untuk terus menaikkan posisi bargain kita sebagai buruh perempuan.

“Jangan mau direndahkan, karena kita sebagai perempuan punya kapasitas leader. Kita punya pengetahuan, kita sanggup menjadi pemimpin, jadi latih terus upaya-upaya untuk memajukan buruh perempuan itu. Yakinlah bahwa teman-teman perempuan tidak sendirian,” tutupnya.

(Sumber Foto: dok. KASBI)

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!