Seorang Perempuan Tani, Surmi, sedang mengurus ladangnya di kawasan Mekarsari, Indramayu, yang terletak di hadapan PLTU 1, pada Jumat (20_10_2023) pagi. (Foto: dok. Fadia Alaydrus)

Air Sumur Tak Bisa Diminum, Sawah Kena Abu: Perempuan Tani Indramayu Hidup Sengsara Akibat PLTU

Para perempuan petani di Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat, sudah merasakan buruknya pembangunan PLTU batubara sejak bertahun lalu. Bukan saja kesehatan mereka yang terganggu, air sumur juga terkontaminasi. Mereka juga harus menanggung gagal panen dan hilangnya mata pencaharian.

Ramini banyak mengalami kejadian aneh yang muncul di Mekarsari, sejak tahun 2012. Mekarsari adalah sebuah desa di Indramayu, Jawa Barat. 

Daun-daun di pohon kelapa mulai mengering dan mati satu-persatu. Air pun menjadi lebih keruh.

Perubahan tersebut dirasakan oleh banyak perempuan tani, termasuk Ramini. Ia biasa menggunakan air dari sumur untuk kegiatan sehari-hari seperti masak. Namun, rasa air tiba-tiba berubah.

Ramini juga menggunakan air untuk ladang padinya. Namun, air dari kali yang biasa ia gunakan untuk mengairi ladang juga berwarna semakin keruh.

Terdapat banyak abu yang bertebaran di sekitar ladang padi yang Ramini urus. Tangan dan kakinya menjadi kotor setiap kali mengurus ladang karena kondisi ladang yang dipenuhi oleh abu.

Baca Juga: Kisah Pahit Petani Kopi, Terdampak Pandemi Sampai Perubahan Iklim
Seorang Perempuan Tani, Ramini, pasca diwawancarai pada Kamis (19/10/2023) malam. (Foto: dok. Fadia Alaydrus)

Mayoritas perempuan di Mekarsari memang bekerja sebagai buruh tani. Ramini masih ingat bagaimana berbagai kejanggalan tersebut menjadi percakapan hangat antara dirinya dan sejumlah perempuan tani lainnya di sana.

Bagaimana ini, kok sekarang berubah ya?”

“Mungkin cuaca?”

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menyadari sumbernya yaitu abu hasil pembakaran batubara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Jawa Barat. Sejak mulai beroperasi pada tahun 2011, PLTU 1 itu pelan tapi pasti mengubah kondisi perempuan tani di sana.

Pasca 12 tahun beroperasi, hari ini, perempuan tani sudah tak lagi menggunakan sumur sebagai sumber air. Baik untuk keperluan rumah tangga ataupun pertanian. Abu hasil pembakaran batu bara dan biomassa dari PLTU 1 yang mereka duga kuat telah menyebabkan adanya kontaminasi dan menjadikan perairan jadi kotor karena pembuangan limbah dari PLTU ke laut. 

“Sekarang kan kebanyakan kekurangan air. Jadi ibu nggak bisa panen karena kekurangan air. Padi ibu ya segini-segini saja (pendek), nggak bisa naik, karena akarnya kering,” kisah Ramini mengingat hasil padinya yang gagal panen pada September lalu.

Baca Juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini

Alih-alih mendapatkan untung, perempuan berusia sekitar 40 tahun itu justru tak balik modal. Dia merugi karena padinya gagal tumbuh dengan baik.

Dengan kebutuhan air bersih yang semakin terbatas itu, Ramini juga masih harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli air. Khususnya untuk keperluan memasak dan minum.

“Dulu mah, enggak ada PLTU ya, enak aja, minum (air dari) sumur. Sekarang mah, air galon semuanya, beli semuanya, beli untuk masak. Jadi tambah boros,” ujar Ramini pada Kamis (19/10/2023) malam.

Tak hanya Ramini, terdapat banyak perempuan tani lainnya yang mengalami nasib serupa. Banyak dari mereka yang gagal panen pada Agustus dan September lalu. Salah satunya Darini, perempuan tani berusia 45 tahun.

Seorang Perempuan Tani, Darini, pasca diwawancarai pada Kamis (19/10/2023) sore. (dok. Fadia Alaydrus)

Penghasilan keluarga Darini menurun secara drastis sejak adanya PLTU 1. Sebelum 2012, suami Darini bekerja sebagai buruh yang memanjat dan mengumpulkan kelapa dari pohon kelapa. 

Saat itu, suaminya bisa mengambil sekitar 2.000 kelapa dalam sehari. Tapi kini, tak ada satu pun pohon kelapa yang tersisa di Mekarsari.

“(Penghasilan) jauh beda lah dari dulu,” ujar Darini pada Kamis (19/10/2023) sore.

PLTU 1 telah berdiri dan diresmikan sejak Oktober 2011. Pada awal pembangunannya, PLTU 1 diperkirakan akan membutuhkan 4,2 juta ton batubara yang dipasok dari Kalimantan dan Sumatera.

Berbagai masalah yang muncul dari pembakaran batubara tersebut mendorong ratusan tani, termasuk perempuan tani, untuk membentuk Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu). Sejak 2015 hingga hari ini, Jatayu secara aktif menyuarakan penolakan PLTU dengan bahan bakar batubara.

“Kita gabung sama yang lain supaya kita bisa hidup di sini, di tanah lahir sendiri,” ujar Ramini menceritakan mengapa dirinya mau terlibat secara aktif di Jatayu.

Baca Juga: Sisi Gelap Perkebunan Sawit Perusahaan: Petani Miskin Makin Sengsara

Tahun lalu, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengajak Pemerintah Kabupaten Indramayu untuk menggunakan sampah sebagai bahan bakar pengganti batubara (co-firing) di PLTU 1. PLN mengklaim bahwa langkah tersebut dilakukan untuk mempercepat peningkatan baruan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Namun, berdasarkan pengalaman sejumlah perempuan tani di Jatayu, polusi yang muncul dari keberadaan PLTU 1 masih terus mencemari lingkungan dan berdampak pada kesehatan.

“Setiap PLTU ngeluarin asap, itu langsung batuk-batuk karena baunya sangat menyengat,” kisah Darini.

Klaim bahwa metode co-firing lebih “ramah lingkungan” bertentangan dengan hasil riset Trend Asia, salah satu organisasi lingkungan yang berfokus pada transisi energi. Riset tersebut justru menunjukan adanya peningkatan emisi yang muncul dari co-firing, atau metode untuk mencampurkan antara biomassa dengan batubara.

“Emisi itu muncul mulai dari deforestasi, pengelolaan HTE (hutan tanaman energi) hingga produksi pelet kayu. Alih-alih berkurang, pencampuran biomassa-batubara ini malah menambah emisi dari PLTU,” tertulis dalam riset yang dipublikasikan pada Agustus 2022 tersebut.

Maka dari itu, penelitian Institute of Essential Services Reform (IESR) menunjukkan apabila pemerintah memang ingin menekan angka emisi, semestinya langkah yang harus diambil adalah mempensiunkan PLTU batubara yang ada atau coal phase-out

“Pada tahun 2030, Indonesia perlu menghentikan pengoperasian PLTU batubara sebesar 9,2 GW dan seluruh unit PLTU pada 2045,” ujar Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa dalam rilis IESR pada Oktober 2022.

Baca Juga: Petani Merica Kirim Surat Pada Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito: Kecewa dengan Tambang

Alih-alih membenahi masalah yang muncul akibat operasi PLTU 1, pemerintah justru sempat berencana untuk memperbesar proyek tersebut dengan membangun PLTU 2. Pembangunan PLTU 2 juga melalui proses pembebasan lahan sekitar 275 hektar.

Jika langkah itu terus dilanjutkan, maka bukannya tak mungkin ratusan hektar lahan pertanian tersebut akan berubah fungsinya. Lebih dari itu, sekitar 790 buruh juga akan terdampak kehilangan mata pencahariannya.

Pembangunan PLTU 2 memang sudah menuai banyak kritik hingga kini. Baik dari Jatayu hingga organisasi lingkungan. Anggota Jatayu telah melakukan penolakan lewat berbagai cara. Mulai dari demonstrasi, tuntutan secara legal, hingga negosiasi ke Jepang sebagai pendana utama PLTU 2.

Memasuki Juni 2022, Pemerintah Jepang bahkan juga sudah menarik pendanaannya. Mereka menyampaikan bahwa tak akan lagi mendanai proyek batubara di Indonesia. Alasannya, mereka mendukung adanya transisi energi dan dekarbonisasi yang tak mungkin berjalan melalui proyek batubara.

Menanggapi langkah Pemerintah Jepang itu, Pemerintah Indonesia diketahui mengakui bahwa pemerintah tak masalah dengan penghentian dukungan dana. Ini dikarenakan saat ini, listrik di Jawa sudah kelebihan kapasitas atau over supply.

Saya sudah berupaya mengonfirmasikan ke Vice President Komunikasi PLN, Gregorius Adi Trianto menyoal itu melalui pesan singkat. Namun, sampai naskah ini dipublikasikan belum ada respons darinya.

Kerja Domestik, Kerja Ladang, Kerja Pertahankan Lahan

Sekitar pukul 6 pagi, para perempuan tani sudah berangkat ke ladang. Mereka bangun pagi-pagi untuk terlebih dahulu melakukan kerja-kerja domestik. Seperti, merapikan rumah, mencuci pakaian, memasak, hingga menyiapkan sarapan untuk keluarga. 

Sebagian lainnya, ada yang berangkat pukul 7 pagi. Para perempuan itu ada yang harus menunggu suami dan anak mereka selesai sarapan. Ada juga yang baru bekerja ketika siang hari atau berangkat justru pada petang. 

Para tani perempuan ini berangkat berjalan kaki dan ada yang menggunakan kendaraan seperti motor. 

Selepas kembali dari ladang, mereka kembali mengerjakan urusan domestik hingga menjelang tidur. Hari terasa sangat panjang bagi perempuan tani di Mekarsari. Mereka harus memastikan seluruh kebutuhan rumah terpenuhi, serta air, makanan, dan uang tercukupi untuk keluarganya.

Begitulah gambaran keseharian seluruh perempuan tani yang saya temui di Mekarsari.

Mayoritas dari mereka tak ada dari mereka yang menempuh pendidikan formal. Mereka banyaknya sudah bertani sejak kecil. Sebab orangtua mereka buruh tani, saudara mereka buruh tani, tetangga mereka buruh tani. Mereka hidup dan makan dari hasil tani.

Pengalaman ini dikisahkan juga oleh Satiah, salah seorang buruh tani di Mekarsari, yang memanggil dirinya dengan sebutan “Ibu”.

Baca Juga: Petani di Bali Kelola Sampah Organik: Bikin Maju Pertanian Ramah Lingkungan
Seorang Perempuan Tani, Satiah, saat sedang memasak di depan rumahnya pada Jumat (20/10/2023) pagi. (dok. Fadia Alaydrus)

“Ibu ke ladang dari masih kecil, sebelum punya suami, sudah ke ladang. Orangtua kan tani, jadi Ibu kerja terus (sebagai buruh tani) sampai hari ini,” kisah Satiah.

Namun kian hari, tak banyak perempuan berusia di bawah 40 tahun yang memilih untuk bertani di Mekarsari. Laki-laki pun begitu, hanya sedikit yang saat ini mau menjadi petani.

“Yang tua-tua yang ke sana (ladang), yang muda mah nggak mau… Makanya kalau Ibu nggak bisa kerja tuh, enggak ada yang bisa ke sawah,” kata Satiah.

Tak ada anak Satiah yang melanjutkannya untuk bertani. Suaminya pun sudah tidak bertani karena masalah kesehatannya. Satiah saat ini sebatas menanam padi, dua kali dalam setahun. Hasil panennya yang terakhir gagal. 

Kegagalan tersebut telah menjadi peristiwa yang wajar sejak berdirinya PLTU 1. Namun Satiah tetap harus bekerja.

“Karena masih butuh uang. Kalau ngandelin suami doang, nggak cukup. Kalau suami nggak kerja, enggak ada uang. Kalau suami-istri sama-sama kerja, baru cukup duitnya,” ujarnya.

Meski sebagai petani, Satiah tidak memiliki lahan. Kadang ia menyewa lahan, kadang ia bekerja untuk orang lain sebagai buruh tani.

Upah buruh tani perempuan dan laki-laki berbeda. Upah perempuan mulai dari Rp 75 ribu/setengah hari dan Rp 100 ribu/satu hari, sementara laki-laki mulai dari Rp 78 ribu/setengah hari dan Rp 120 ribu/satu hari.

Baca Juga: Anak Muda dan Mahasiswa Pertanian Tak Tertarik Jadi Petani, Kenapa?

Satiah lebih sering bekerja setengah hari.

“Yang banyak setengah hari itu (umumnya) cewek, cowok itu ya sehari. Soalnya, capek banget kalau cewek sehari, soalnya kan banyak banget kerjaan lagi di rumah,” kata Satiah.

Berbeda dari Satiah, adiknya, Surmi (51), tak hanya bergantung pada padi. Satiah menanam beraneka ragam tanaman. Sebagian untuk ia jual, sebagian lagi untuk kebutuhan rumahnya.

Surmi menanam berbagai tanaman tersebut di atas lahan yang telah dibebaskan untuk proyek pembangunan PLTU 2—sebagaimana mayoritas petani di sana.

Seorang Perempuan Tani, Surmi, pasca diwawancarai di depan rumahnya pada Kamis (19/10/2023) siang. (dok. Fadia Alaydrus)

Surmi menyampaikan bahwa menanam di atas lahan yang sudah dibebaskan untuk PLTU 2 merupakan salah satu langkah untuk mempertahankan lahan Mekarsari dari pembangunan.

“Namanya perjuangan ya, sudah tahu dampaknya, masa saya mundur gitu? Saya nggak mau, terus aja (menanam), kecuali kalau saya lagi sakit,” ujar Surmi.

Saat saya temui, Surmi sedang menanam bawang merah, timun, dan kacang panjang. Sebagian untuk ia jual, sebagian untuk kebutuhan rumahnya.

Surmi menanam pohon mangga, jeruk purut, petai, jeruk limo, salam, cabai, dan kangkung. Masing-masing satu pohon untuk kebutuhan sehari-harinya.

Baca Juga: Di Balik Sepiring Nasi Yang Kita Santap, Tersembunyi Keringat dan Air Mata Perempuan Petani

Ia sudah bertani sejak usia 10 tahun dan menemani kedua orangtuanya bertani jauh sebelum itu. Namun menanam padi dan berbagai tumbuhan tak pernah sesulit yang ia jalankan selama 12 tahun terakhir, selepas adanya PLTU 1.

Tak hanya keterbatasan air dan goyahnya situasi finansial yang ia rasakan, Surmi juga memiliki masalah penglihatan yang terus menurun. Kemungkinannya, timbul akibat pembakaran PLTU dekat sawah.

Selama Surmi bekerja di ladang, berkali-kali abu masuk ke matanya. Biasanya itu terjadi saat terdapat pembuangan asap dari cerobong PLTU.

Surmi menyadari ada yang janggal dengan penglihatannya sejak tiga tahun lalu. Tiba-tiba terdapat titik hitam di penglihatannya. Saat ia ke dokter, ternyata ia harus menjalankan operasi.

Saat matanya sudah mulai membaik, kejadian yang sama berulang kembali. Kejadian tersebut berulang terus hingga membuat Surmi harus menjalankan lima operasi sepanjang 2021 hingga 2022 di kedua matanya.

Surmi mengatakan bahwa sebetulnya dokter menyuruhnya terus melakukan kontrol dan membeli kacamata. Namun kacamata tersebut seharga Rp 650.000 sementara subsidi yang diterimanya hanya sebesar Rp 150.000.

“Lama-lama ya saya berhenti sendiri. Kacamatanya nggak dibeli, kontrolnya berhenti sendiri. Sudah lama berhenti, satu tahun sekarang,” kisah Surmi.

Surmi tak memiliki uang untuk bolak-balik kontrol ke kawasan kota Indramayu dan Cirebon. Ia juga tak mampu untuk membeli kacamata. Apalagi penghasilannya turut drastis sejak matanya sakit.

“Semenjak sakit mata ya, enggak ada yang nyuruh kerja. Saudara sendiri juga kalau nyabut bawang atau apa, enggak ada yang nyuruh. Saya kuli sama suami saya dulu, sekarang enggak ada yang nyuruh,” kisah Surmi.

Saat ini, Surmi hanya bergantung pada ladang hasil pembebasan untuk menanam tumbuhan, untuk memenuhi kebutuhan hariannya.

Baca Juga: Catatan di Hari Perempuan: Pemerintah Masih Abaikan Perempuan Petani, Buruh dan Nelayan

Surmi merupakan salah satu dari perempuan yang berada di garda depan perlawanan terhadap PLTU. Melalui bantuan dari aktivis lain, Surmi mampu pergi hingga ke Jepang dan turut bernegosiasi agar PLTU 2 tak dilanjutkan.

Namun kekhawatiran pengambilalihan lahan tersebut masih membayang-bayangi Surmi. Ia meneteskan air mata selama menyampaikan kekhawatirannya.

“Khawatir sih, tetap khawatir. Takutnya ya, orang Jepang sudah kabur ya, takutnya ya, siapa tahu kan ada yang lain. Namanya perjuangan mah terus (berjalan),” ujarnya.

Menurut Surmi, gagalnya pemerintah mendapatkan pendanaan dari Jepang hanyalah “kemenangan kecil”. Surmi kini masih memiliki beberapa harapan lainnya, termasuk dihentikannya operasi PLTU 1 secara total.

Dengan situasinya hari ini, Surmi tak yakin bisa melakukan hal lain untuk mempertahankan hidupnya selain menanam. Surmi menyadari sekalipun pemerintah membangun proyek di sana, perempuan tani tak akan menjadi pihak yang direkrut menjadi tenaga kerja atau diuntungkan.

“Soalnya saya kan orang enggak sekolah. Jadi kalau (ada) proyek apa, saya kan juga nggak kepake. Saya mau kerja apa?” tanyanya.

PLTU meminggirkan perempuan tani

Berdasarkan analisis data dari Katadata, pemerintah memproduksi listrik secara berlebihan atau over supply sejak 2013. PLN masih terus mencoba untuk menangani masalah oversupply hingga tahun ini.

Namun pemerintah juga mengambil beberapa langkah yang kontradiktif. Presiden Joko “Jokowi” Widodo meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik sebesar 35,000 MW. Rencana pembangunan PLTU juga terjadi di sejumlah daerah, termasuk Indramayu dan Cirebon.

Berdasarkan sensus 2018, jumlah petani perempuan Indonesia sekitar 8 juta atau 24,04 persen dari total petani Indonesia. Namun data tersebut belum tentu mencerminkan angka sesungguhnya karena banyak petani yang tidak tercatat.

Di Mekarsari sendiri, Jatayu tak memiliki catatan jumlah petani, termasuk petani perempuan. Mereka hanya memperkirakan bahwa setengah dari petani yang ada merupakan petani perempuan.

Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, organisasi yang biasa mengadvokasi perempuan yang berhadapan dengan konflik lahan, menyampaikan bahwa pendataan peran perempuan di sektor pertanian memang masih terbatas.

Alasannya, banyak perempuan dan peran-perannya yang dihapuskan dari sektor pertanian. Dalam karirnya, Arma banyak menemui perempuan tani yang tak menyebut dirinya sebagai petani, tetapi hanya menyebut dirinya sebagai “ibu rumah tangga”.

“Padahal pas ditanyakan ‘selain mengurus rumah tangga, ngapain?’, ya mereka bilang berkebun atau bertani,” ujar Arma.

Hampir tak adanya data peran perempuan, menurut Arma, menunjukkan bagaimana pemerintah memang menghapus peran mereka dari sejarah. Apabila dilihat lebih jauh, pemerintah juga tak pernah berperan dalam memberikan perlindungan atau pemenuhan hak perempuan tani.

“Kehadiran negara itu hanya dalam bentuk program yang mengarah pada kepentingan investasi,” jelas Arma.

Baca Juga: Lewat Medsos, Rihanna Ajak Dunia Perhatikan Protes Petani India

Desakan negara untuk terus memproduksi listrik juga menunjukkan bahwa orientasi pemerintah memang lebih besar ke arah investasi, alih-alih melindungi hak petani.

Saat berbicara tentang PLTU dengan bahan bakar batubara, Alma melihat prosesnya, mulai dari pengerukan batubara, distribusi, hingga operasi di PLTU, selalu merugikan perempuan dan anak.

Pasalnya, peran perempuan secara budaya sangat lekat dengan air. Mayoritas perempuan bertanggung jawab atas kebutuhan air, termasuk untuk minum, masak, dan sanitasi keluarga. Kehadiran batubara merusak kondisi air di daerah tambangnya, serta mencemarkan air dan udara pada proses distribusi dan operasinya.

“Kebutuhan air perempuan lebih banyak karena perempuan akan dihadapkan pada situasi reproduksi, pada situasi biologisnya, di mana dia harus menstruasi,” ujar Arma.

“Dia juga harus bergelut dengan sistem sosial, dia harus bergelut dengan domestik di aman dia harus mencuci air, memasak, dan sebagainya. Tentunya, itu bukan laki-laki yang akan mencarinya (air), tetapi perempuan,” lanjutnya.

Baca Juga: Tak Menyerah di Tengah Pandemi: Para Perempuan Petani Lahirkan Coklat Mboro

Perempuan yang hidup di kawasan pembakaran batubara juga lebih rentan terkena masalah reproduksi, sementara tingkat kesuburan justru meningkat saat PLTU ditutup.

Pencaplokan lahan, sebagaimana yang hampir terjadi untuk pembangunan PLTU 2, juga menjadi langkah untuk memiskinkan perempuan.

“Perempuan kehilangan pekerjaan itu, perempuan terpinggirkan. Apa dampaknya dari peminggiran itu? Perempuan gak bisa lagi bertani, perempuan gak bisa lagi mengandalkan hidupnya dari pertanian,” jelas Arma.

Arma menyebut langkah tersebut sebagai “pemiskinan struktural” atau sebuah usaha untuk memiskinkan perempuan tani secara sadar oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan dan proyek yang dilangsungkan.

Penurunan pendapatan pun dirasakan oleh seluruh perempuan buruh tani di sana.

Baca Juga: Bulan Madu Cara Baru: Bekerja Bersama Petani

Bagi sebagian orang, seperti Surmi, ia sudah tak lagi mendapatkan uang dari pekerjaan tersebut pasca matanya sakit. Surmi mengandalkan hasil tanamnya yang ada, tetapi tidak dengan kebutuhan beras. Pasalnya, padi sudah sulit tumbuh di sana. Berbeda dengan sebelumnya, Surmi bisa mengantongi setidaknya Rp 100 ribu dari hasil kerjanya seharian.

Sebagian lagi, seperti Satiah, ia tak memiliki pendapatan sama sekali. Kegagalan hasil tani justru menyisakan utang yang ia gunakan sebagai modal awal.

Perempuan tani yang tergabung di Jatayu masih secara aktif mempertahankan lahannya hingga hari ini. Mereka berharap agar PLTU 2 tak dilanjutkan dan PLTU 1 diberhentikan operasinya.

“Saya maunya menanam padi aja terus, jangan sampai dibangun-bangun, (proyek) apapun, jangan diubah-ubah (lahannya), apa pun, seperti dulu aja. Ibu kan takut, benar-benar takut,” ujar Ramini.

“Jangan dibangun-bangun lah. Saya berjuang di sini, sampe pensiun, sampe nenek kakek,” pungkas Ramini.

Liputan ini merupakan kolaborasi dengan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) dalam rangka fellowship “Pentingnya Coal Phase-Out dalam Upaya Krisis Iklim di Indonesia”

Fadiyah Alaidrus

Jurnalis lepas di Jakarta

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular