Anak dengan HIV

Mengapa Kami Beda dan Harus Minum Obat Tiap Hari? Cerita Anak dengan HIV

Ini adalah cerita para anak dengan HIV (ADHIV) yang masih harus menghadapi situasi sulit. Mereka kerap distigma, dipukul, diusir, dan ditelantarkan keluarga. Pun oleh negara, mereka tak banyak dapat perhatian.

Bayu (bukan nama sebenarnya) kala itu masih berumur 5 tahun, saat ayah Bayu meninggal karena komplikasi AIDS. Ibunya juga memeriksa kondisi Bayu, setelah mereka pergi ke pelayanan kesehatan untuk tes. Ternyata, mereka berdua dinyatakan terinfeksi. 

Sejak itu, mereka sampai saat ini harus minum obat antiretroviral/ARV setiap hari. Ini sebagai upaya untuk menekan jumlah virus dalam tubuh dan menghindari komplikasi. 

Bayu bukan satu-satunya anak dengan HIV (ADHIV) di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu, yang tengah didampingi Luthpi Dailami.

Ada enam [anak] yang sudah diterapi ARV. Ada tiga anak di bawah 18 bulan yang masih dalam pengawasan dan dikasih profilaksis. Jadi totalnya sembilan,” jelas Luthpi saat diwawancara Konde.co pada Kamis, (9/11).

Luthpi punya tugas untuk memastikan para orang dengan HIV (ODHIV) yang didampingi,  seperti Bayu dan ibunya, minum obat secara rutin. Makanya, dia melakukan pendampingan intensif dan asesmen berkala.

“Ketika anak baru didiagnosis, kita pantau terus seminggu dua sampai tiga kali. Jika bulan kedua sudah mulai terapi, kita pantau seminggu sekali apakah sudah tepat waktu, sesuai dosis, ada keluhan, dan tepatkah cara minumnya.”

ARV yang terasa pahit itu, harus diminum ODHIV setiap hari selamanya. Orang dewasa saja bisa lengah dan hilang motivasi, apalagi anak pada umur yang belum mampu paham soal HIV. 

Permasalahan Anak dengan HIV

Pahit yang dirasakan anak dengan HIV (ADHIV) tidak hanya itu. Dari kacamata Ayu Oktariani (Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia/IPPI), ADHIV punya permasalahan yang beda dengan orang dewasa. Refleksi ini didapatkannya sebagai ibu dari ADHIV.

“Anak saya itu nggak bisa bicara untuk dirinya sampai mendapat edukasi dan pengasuhan. Semua pertanyaan, ketakutan, dan asumsinya itu hanya disimpan sendiri. Jadi, berbeda dengan isu orang dewasa. Kita semua bisa maju ke depan. Aku bisa telepon Kemenkes, cari menteri, demo. Anak, kan, belum bisa melakukan itu,” ucap Ayu dalam Simposium Puan Lingkar HIV IPPI pada Rabu, (7/6).

Pemahaman anak soal HIV yang terbatas dan konflik orang tua/wali dalam membuka status kerap membuahkan pertanyaan dari kepala anak: “Mengapa kami berbeda? Mengapa kami harus minum obat setiap hari?”

Dari enam anak di atas 18 bulan yang didampingi Luthpi, hanya dua yang masih tinggal dengan orang tua. Yang lain, orang tuanya sudah meninggal. Penelantaran pada realitasnya tidak hanya terjadi pada ADHIV yang ditinggal mati, tetapi juga secara sengaja ditinggal pergi oleh keluarga.

Berdirinya rumah singgah bagi ADHIV, seperti Rumah AIRA Semarang atau Lentera Surakarta, membuktikan kasus penelantaran anak yang diketahui berstatus HIV masih kerap terjadi. 

Baca Juga: Pernikahan Bukan Jaminan Bebas Penyakit Menular Seksual: Kasus HIV dan Sifilis Meningkat

Jika tak ditelantarkan, mereka sering kali menerima perlakuan buruk dari keluarga terdekat. Ni Made Jenri, seorang konselor HIV dari Bali, bercerita tentang ADHIV yang peralatan makannya dipisahkan oleh nenek sendiri. Pakaiannya pun dicuci terpisah dari anggota keluarga lain dan disiram dengan air panas.

Dalam Community Transformation Conference 2023 oleh Koalisi AIDS Indonesia, Hartini Rahayu (Koordinator Program IPPI) mengungkapkan cerita diskriminasi yang ditemuinya. Seorang suami yang mengetahui status positif HIV tak lama pergi tanpa kabar dan menelantarkan istri juga anak secara finansial. 

Atau ada lagi yang tidak apa tetap menikah, tapi kamar berbeda. Dia nggak mau pegang anaknya. Ada yang lebih parah: diusir, dipukul, dianggap pembawa aib. Kasusnya banyak. IPPI punya laporannya,” ungkap Hartini pada Rabu, (8/11).

Padahal, keluarga seharusnya menjadi tempat ADHIV memperoleh perlindungan dan pembelajaran informal. Namun, diskriminasi tidak berhenti di tengah keluarga, tapi berlanjut saat dirinya memasuki lingkungan pendidikan formal.

Dilansir dari Project Multatuli, terdapat 14 ADHIV yang pernah ditolak masuk sekolah di Solo, Jawa Tengah, karena protes orang tua siswa. Seorang anak lain di Jawa Barat dengan kasus diskriminasi serupa terserang mentalnya sehingga menolak minum ARV dan meninggal akibat Tuberkulosis (TBC) serta gizi buruk. Dilansir dari Narasi TV, seorang ADHIV keluar dari sekolah karena ejekan dan paksaan menggunakan masker karena dilabel “penyebar virus”.

Baca Juga: Di PHK Dari Pekerjaan Karena HIV/ AIDS: Diskriminasi Pekerja

Kurangnya sosialisasi soal HIV membentuk miskonsepsi dan minim empati di tengah masyarakat. Stigma tercipta, meruncing, lalu menyudutkan ODHIV ke dalam segregasi sosial yang dieksklusi. Kasus yang dialami ADHIV di atas hanya sedikit cerita jika dibandingkan dengan yang tidak pernah tersuarakan selama ini.

Kritik Penanganan Pemerintah soal ADHIV

Berkaca pada segala diskriminasi pada ADHIV yang pernah terjadi, Ayu mengkritik sistem dan pola penanganan yang dilakukan pemerintah saat ini.

“Kalau saya melihat dari kacamata IPPI, anak hanya diukur [negara] dengan angka.”

Menurut Ayu, jumlah ADHIV yang tidak sebanyak orang dewasa membuat negara tidak memprioritaskan penanganan terhadap mereka. Akibatnya, dokter anak tidak dibuat berjaga terus-menerus, negara tidak memprioritaskan pembelian obat ramah anak karena masalah kuota, dan program ADHIV dibuat ala kadarnya. 

“Perhitungannya adalah data, relate to budget, dan relate to implementasi. Jadi, kayak hukum demand creation,” tambahnya.

Salah satu strategi pemerintah yang dinilai Ni Luh Eka Purni Astiti (Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/PKBI Bali) cukup berdampak baik pada penanganan ADHIV adalah dibuatnya aturan baru soal pendamping tes HIV. 

Dalam aturan Permenkes No. 74/2014, pendampingan terbatas hanya dapat dilakukan oleh keluarga. Eka menilai pendampingan orang tua ini “menantang” jika anak tersebut yang berperilaku seks berisiko. Kini, Permenkes No. 23/2022 mengatur bahwa wali atau petugas lapangan juga dapat mengantar. Walau begitu, Eka menilai masih ada masalah lain yang perlu dituntaskan negara.

“Ada masalah lagi di fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak terinformasi dengan peraturan yang baru. Jadi, akhirnya perlu ada sosialisasi dan sensitisasi pada pelayanan kesehatan yang menyediakan tes HIV,” terang Eka saat diwawancara Konde.co pada Rabu, (8/11).

Lebih lanjut, dalam mengeliminasi infeksi HIV dari ibu ke janin, program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) yang diatur juga dalam aturan tersebut perlu diimplementasikan dengan sesuai.

Baca Juga: Hari AIDS 1 Desember: ‘Saya Ingin Hidup Lebih Lama’, Bagaimana Cara Kita Mendukung ODHA

Empat strategi PPIA yaitu pencegahan pada perempuan usia produktif; pencegahan kehamilan tak diinginkan dan perencanaan kehamilan bagi perempuan dengan HIV (PDHIV); pencegahan penularan PDHIV pada janin; serta dukungan dan perawatan pada PDHIV dan bayinya.

Hartini mengkritik bahwa strategi ketiga hanyalah yang terfokus di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa banyak fasilitas kesehatan yang menolak melayani perencanaan kehamilan pada PDHIV yang belum positif hamil.

Bahkan, capaian dari strategi ketiga yang dianggap “paling difokuskan negara” masih belum memuaskan. Kementerian Kesehatan pada Mei lalu menyatakan bahwa hanya 24% dari 7.153 ibu hamil dengan HIV yang melakukan pengobatan. Dari persentase tadi, Hartini menambahkan bahwa tidak semua ibu yang minum ARV lalu melakukan tes pada bayinya.

“Dari 1.000 sekian [bayi yang dites HIV], yang positifnya 99. Jadi, banyak yang tidak akses. Tidak balik lagi si ibunya. Pindah. Entah pindah rumah, pulang kampung. Nanti datang lagi dengan kondisi anaknya sudah kena IO (infeksi oportunistik),” pungkasnya.  

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!