Ilustrasi perempuan Palestina

We Stand With Victim: Perempuan Jadi Korban di Pusaran Konflik Israel dan Palestina

Dalam ruang konflik, terjadi penjajahan berlapis terhadap perempuan, termasuk opresi atas hak seksual dan reproduksi mereka. Ini terjadi pada perempuan Palestina dan Israel yang hidup di pusaran konflik.

Banyak sejarah menyebut, perempuan selalu jadi korban di pusaran konflik dan perang.

Kali ini pusaran konflik itu terjadi di Israel versus Palestina dan bagaimana negara-negara barat menguasai wacana kuasa konflik disana.

Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia di media sosial mengajak untuk berdiri bersama korban: we stand with victim.

Ada banyak sekali korban diantara konflik itu, dan perempuan yang menderita paling sengsara disana.

Konflik Israel dan Palestina, Perempuan dan Anak Jadi Korban

Sejak 7 Oktober 2023, agresi militer Israel terhadap Palestina pecah dan masih berlangsung hingga saat ini.

Israel secara intens menggempur wilayah Palestina dengan misil, bom, hingga gas fosforus putih beracun.

Di Gaza, tercatat sebanyak 8.805 warga Palestina tewas dalam rangkaian serangan Israel. Angka itu mencakup setidaknya 3.648 anak-anak dan 2.187 perempuan. Sementara itu, 22.240 orang terluka akibat serangan tersebut.

Warga dunia mengutuk keras agresi militer yang dilakukan Israel terhadap Palestina. Mayoritas negara yang tergabung dalam Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menuntut agar Israel melakukan gencatan senjata dan menghentikan serangan kepada Palestina. Namun, melalui Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Israel menolak prospek gencatan senjata tersebut.

Banyak yang menyebut bahwa situasi antara Israel dan Palestina adalah penjajahan dan ‘kolonialisme pemukim (settler colonialism)’. Salah satunya Intan Paramaditha, penulis buku ‘Sihir Perempuan‘.

“Ketimbang berpartisipasi dalam olimpiade penindasan (…), kita perlu memandang struktur kolonialisme sebagai sesuatu yang saling terkait secara transnasional,” cuit Intan melalui akun X pribadinya, Rabu (1/11/2023).

Alih-alih perang, yang terjadi adalah genosida. Israel membunuh sebanyak mungkin warga Palestina, juga pihak-pihak yang berseberangan dengan Israel. Jauh sebelum 7 Oktober 2023—sejak tahun 1947 hingga saat ini—Israel telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang masif di wilayah Palestina.

Namun, aktivis keberagaman lulusan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Muchlis Ainur Rofik dalam X menyatakan bahwa kita harus kritis melihat ini, bahwa Palestina melalui Hamas juga melakukan serangan terhadap Israel. Muchlis mengajak untuk sudahi perang, dan saatnya berdamai.

Dalam X @muchlis_ar menulis:

1.Konflik ini hanya akan berhenti kalau kita bisa menerima kedua negara hidup berdampingan damai. Saya kritik Hamas karena itu.

2.Penjajah dan terjajah dah gak relevan di konflik ini. Begitu juga perdebatan teologis siapa yg paling berhak. Itu semua hanya memperdalam konflik. Narasi harus diarahkan ke solusi damai.

3. Hindari sikap sektarian. Jangan Hamas selalu benar karena muslim, dan Israel selalu salah karena Yahudi. Sikap sektarian itu sudah terbukti menghancurkan Lebanon, Suriah, Yaman, Irak dll. Kita jangan terseret ke situ.

4. Propagada kedua pihak hanya bisa dilawan dg debat terbuka. Uji semua fakta dengan logika dan akal sehat. Jangan dikit2 bawa Tuhan.

Aktivis perempuan, Damairia Pakpahan juga punya pandangan pentingnya berdiri bersama korban. Dihubungi Konde.co, Damairia menyatakan pentingnya kita berdiri bersama korban diantara konflik dan perang yang terjadi di Israel dan Palestina.

“Pemerintahan apartheid Israel bermasalah dan menindas orang Palestina. Juga dampak penjajahan Inggris dan Perancis. Namun penting juga mempertimbangkan bahwa kejadian Hamas menyerang penduduk sipil dan kibutz itu juga masalah. Lingkar kekerasan harus di stop. Di Indonesia kan masalah Palestina malah jadi masalah agama. Padahal kita tahu beragam sekali di sana. Jangan lupa ada Fatah ya. Bukan hanya Hamas. Namun penting kita bersuara menyerukan perdamaian dan stop korban.”

Damairia Pakpahan menggarisbawahi pentingnya kita berdiri bersama korban, jangan malah kita terseret dan menjadikan ini sebagai konflik agama.

Tidak Ada Menstruasi Saat Krisis Sanitasi dan Minim Privasi

Bagaimana dengan hak perempuan? Gempuran Israel secara khusus juga mempengaruhi pemenuhan hak seksual dan reproduksi perempuan. Dan tentu ini juga terjadi pada perempuan di Israel ketika Hamas menyerang Israel.

Selain berbagai persoalan kehamilan dan persalinan yang mengkhawatirkan, perempuan Palestina juga menghadapi kesulitan saat mengalami menstruasi.

Situasi lingkungan yang tidak mendukung, membuat perempuan Palestina sampai mengonsumsi obat kontrasepsi dan obat untuk menunda menstruasi.

Dalam ruang konflik, seperti perang hingga genosida, perempuan mengalami penjajahan dan penindasan berlapis. Bukan hanya dilukai, dibunuh, dan diusir dari tanahnya sendiri. Perempuan Palestina juga terenggut hak seksual dan reproduksinya dalam situasi ini. Begitu juga perempuan Israel terenggut haknya disini.

Di Palestina, serangan militer Israel terus menggempur wilayah Palestina. Tidak hanya meluncurkan peledak yang menewaskan ribuan warga Palestina. Israel juga memutus sambungan listrik dan air di kawasan Gaza, Palestina, menurut Human Rights Watch. Akibatnya, Palestina sempat terisolasi selama beberapa waktu dan mengalami masalah sanitasi seperti krisis air bersih.

Baca Juga: PBB Didesak Hentikan Serbuan Pasukan Israel ke Al-Aqsa

Kondisi tersebut secara umum tentu paling menyulitkan bagi perempuan yang mengalami menstruasi. Minimnya sanitasi membuat mereka harus berjuang ekstra keras untuk menjaga kesehatan seksual dan reproduksi. Hal itu belum ditambah fakta bahwa perempuan Palestina terusir dari kediaman mereka, mesti hidup di pengungsian yang penuh, dan kekurangan akses terhadap produk-produk menstruasi.

Bukan hanya soal akses produk menstruasi. Perempuan harus tinggal bersama puluhan orang lainnya dalam satu rumah dan menghadapi keterbatasan stok air bersih. Alhasil, sekadar buang air atau mandi pun harus bergiliran dan dilakukan beberapa hari sekali untuk menghemat air.

Situasi itu juga menghilangkan hak privasi perempuan dalam merawat diri, terutama saat menstruasi. Dengan kenyataan bahwa menstruasi secara umum masih dipandang sebagai tabu, serta pilihan beberapa perempuan untuk membuatnya jadi urusan privat. Kondisi menjadi lebih sulit ketika perempuan harus berbagi kamar mandi yang bahkan tidak memiliki sambungan air mengalir.

Ruba Seif (35), salah satu perempuan Palestina yang diwawancarai oleh Aljazeera, mengungkapkan kendala tersebut. Tinggal di pengungsian membuatnya kewalahan mengatasi menstruasi. Akhirnya, ia meminta saudara laki-lakinya untuk mencarikannya obat penunda haid.

“Saya tahu efek samping negatifnya, tapi pil-pil ini tidak dapat lebih berbahaya ketimbang misil, kematian, dan kehancuran di sekitar kami,” tutur Ruba, seperti dilansir dari Aljazeera.

Menunda Menstruasi dengan Obat-Obatan

Ketidakpastian situasi dan krisis sanitasi membuat perempuan di Palestina mengonsumsi obat-obatan untuk menunda haid, seperti norethisterone. Obat itu biasanya diresepkan untuk mengatasi pendarahan menstruasi akut, endometriosis, dan nyeri menstruasi.

Dengan menggunakan obat tersebut, mereka berusaha menghindari rasa tidak nyaman dan nyeri saat haid. Norethisterone juga menjaga kadar hormon progesteron tetap tinggi agar uterus berhenti menggerus lapisan dindingnya dan menunda menstruasi.

Salah satu perempuan Palestina yang dikisahkan melakukan cara itu adalah Salma Khaled (41). “Saya mengalami hari-hari tersulit dalam hidup saya selama perang ini,” ungkap Salma, seperti dikutip dari Aljazeera.

“Saya mengalami menstruasi dua kali dalam bulan ini sejauh ini—yang sangat tidak biasa bagi saya—dan menderita pendarahan hebat,” lanjutnya.

Di tengah serangan militer Israel, berbagai toko dan apotik yang masih buka di Palestina tidak memiliki stok pembalut yang memadai karena tingkat kebutuhan yang tinggi. Sedangkan, obat penunda menstruasi lebih banyak tersedia karena biasanya tidak banyak diperlukan.

Efek Samping

Mengonsumsi obat tertentu mungkin dapat membantu perempuan Palestina menunda menstruasi di tengah serangan Israel yang tanpa henti. Namun, masalah lain juga menghantui mereka: efek samping obat-obatan tersebut terhadap kondisi tubuh perempuan.

Melansir dari NHS, diketahui sejumlah perempuan yang mengonsumsi norethisterone melaporkan berbagai efek samping. Seperti siklus menstruasi tidak teratur, perubahan kondisi payudara, mual, sakit kepala, serta gangguan mood dan hasrat seksual. Obat-obatan juga punya kemungkinan mengubah kondisi hormon seseorang.

Meski mengetahui efek samping obat-obatan penunda menstruasi, kondisi konflik membuat perempuan Palestina juga tidak punya banyak pilihan dalam memastikan hak kebersihan menstruasi mereka terpenuhi.

Persoalannya, ketika pemenuhan hak kebersihan menstruasi luput dari perhatian, dampaknya akan serius terhadap kesehatan seksual dan reproduksi perempuan. Minimnya kebersihan menstruasi dapat menyebabkan infeksi serius, seperti hepatitis B hingga jamur.

Penindasan Berlapis terhadap Tubuh Perempuan

Kondisi menstruasi yang dihadapi perempuan Palestina adalah satu dari sekian hal yang menandai adanya penindasan berlapis pada perempuan dalam ruang konflik. Begitu juga pada perempuan Israel.

Opresi tersebut terutama berdampak pada tubuh perempuan.

Bagi perempuan, penjajahan dan konflik bukan hanya soal perampasan hak hidup hingga hak bermukim. Pembatasan akses terhadap hak-hak menstruasi perempuan dalam konteks tersebut juga dapat dipandang sebagai bentuk penindasan.

Dalam situasi konflik dan krisis kemanusiaan, perempuan sering menghadapi berbagai hambatan dalam mengakses produk-produk menstruasi, fasilitas kesehatan, dan layanan kesehatan reproduksi yang diperlukan. Pembatasan ini dapat mengakibatkan dampak negatif serius pada kesehatan fisik, mental, dan emosional perempuan.

Selain krisis produk sanitasi dan menstruasi, persoalan lain yang dihadapi perempuan terkait menstruasi di daerah konflik adalah terganggunya fasilitas kesehatan. Hal ini terjadi di Palestina, ketika banyak rumah sakit dan fasilitas kesehatan darurat turut menjadi target pengeboman Israel. Alhasil, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang penting menjadi terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali.

Baca Juga: Adania Shibli Penulis Palestina Suaranya ‘Dibungkam’ di Pameran Buku Frankfurt

Aspek kekerasan berbasis gender juga merupakan bentuk penindasan lain yang dialami perempuan terkait isu menstruasi serta seksual dan reproduksi secara umum. Perempuan dapat menjadi korban kekerasan seksual atau eksploitasi terkait menstruasi mereka. Hal itu merupakan penindasan serius yang rawan terjadi di tengah situasi kritis.

Feminis telah lama menyoroti krisis menstruasi yang dialami perempuan di tengah konflik dan peperangan. Situasi yang dihadapi perempuan ini sering kali terabaikan dalam upaya bantuan kemanusiaan dan penanganan darurat.

Hal ini mestinya perlu mendapat perhatian serius untuk memastikan hak-hak reproduksi dan kesehatan perempuan di tengah kondisi krisis terpenuhi. Penting pula adanya akses yang adil dan aman terhadap produk-produk menstruasi serta layanan kesehatan reproduksi di daerah konflik.

Gloria Steinem adalah salah satu penulis dan feminis asal Amerika Serikat yang aktif mengadvokasi hak menstruasi perempuan dalam situasi perang atau konflik. Menurutnya, akses yang adil dan setara terhadap produk menstruasi, fasilitas kesehatan, serta layanan kesehatan reproduksi penting untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan perempuan di tengah situasi krisis.

Baca Juga: A Distant Dream: A Feeling of Safety for Women in Palestine

Steinem juga menyoroti bahwa pembatasan akses terhadap hak-hak menstruasi perempuan dalam situasi perang adalah bentuk penindasan terhadap perempuan yang harus dihadapi secara serius. Ia memperjuangkan kesadaran akan isu-isu ini.

Steinem mendorong pula agar perempuan di daerah konflik memiliki akses yang aman dan setara terhadap layanan kesehatan yang mereka perlukan.

Mengatasi pembatasan dan keterbatasan akses hak menstruasi perempuan dalam situasi seperti yang dialami perempuan Palestina itu penting. HAM perempuan tentunya harus terlindungi. Semua pihak mesti memastikan akses yang adil dan setara terhadap layanan kesehatan reproduksi serta produk menstruasi yang diperlukan.

Menyadari dan mengatasi penindasan ini merupakan langkah penting menuju kesetaraan gender dan perlindungan hak-hak perempuan di masa konflik dan krisis kemanusiaan.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!