Khristianti Weda Tantri: Dear Calon Presiden 2024, Sudahkah Anda Peduli dengan Isu Kekerasan Seksual?

Kekerasan terhadap perempuan termasuk pelanggaran HAM yang serius, sayangnya para calon presiden seolah tak menganggapnya penting karena tak banyak dibahas dalam visi dan misi maupun saat debat Capres. Weda Tantri, pengurus HopeHelps menuturkan pengamatannya pada Konde.co

Konde.co menyajikan Edisi Khusus Akhir Tahun soal refleksi perempuan muda yang  berjudul: Ini Tahun Politik, Girls, Refleksi Perempuan Muda di Akhir Tahun 2023. Edisi ini bisa dibaca 28 Desember 2023- 1 Januari 2024

Khristianti Weda Tantri adalah salah satu pendiri HopeHelps, sebuah layanan aduan kekerasan seksual di perguruan tinggi. 

Berawal dari topik skripsi, kini Weda menjadikan penanganan kekerasan seksual sebagai bidang yang ditekuni. Ia kemudian menjadi Direktur Hubungan Masyarakat (Humas) dan Jaringan HopeHelps sejak Januari 2023.

Sejumlah kasus berhasil ia tangani bersama HopeHelps. Ini kondisi yang tak mudah bagi perempuan Indonesia. Maka Weda Tantri merasa bahwa persoalan kekerasan seksual adalah persoalan serius, namun sayangnya, tak ada dalam debat-debat Capres. Perempuan seolah ditinggalkan.

Sudahkah Capres Peduli Kekerasan Seksual?

Debat Calon Presiden 2024 putaran pertama telah digelar pada Selasa (12/12/2023). Tema pembahasannya terkait hukum, hak asasi manusia (HAM), pemerintahan, pemberantasan korupsi, dan penguatan demokrasi. Dari kelima tema tersebut, apakah calon presiden (capres) sudah banyak membahas soal kekerasan seksual atau kekerasan terhadap perempuan?

Weda dengan tegas mengatakan bahwa para Capres tidak membahas kekerasan seksual atau kekerasan terhadap perempuan secara khusus. Padahal salah satu tema debat adalah membahas soal hukum dan HAM.

“Kayaknya nggak ada tuh yang secara khusus (membahas) soal kekerasan seksual atau mungkin kekerasan terhadap perempuan,”ujar Weda.

Jadi kita bisa berharap apa dari para Capres ini?. Dari visi dan misi Capres, setiap Capres sudah menyebut soal penguatan hak perempuan dan kesadaran gender, namun harus ada pembahasan lebih mendalam bagaimana rencana jangka panjang dalam menerapkan visi dan misi tersebut.

“Menurutku sih masih perlu diperdalam lagi. Itu kan juga masih visi misi, belum yang memang rencana jangka panjang (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/RPJPN) yang memang sudah bisa dijabarkan per tahunnya,” imbuhnya.

Weda khawatir apabila persoalan kekerasan seksual ini hanya dijadikan komoditas politik saja oleh para pemangku kepentingan. Apalagi pembahasannya selalu menjadi sesuatu yang sensasional. Belum lagi banyaknya tekanan dari publik yang kontra karena belum teredukasi.

Baca juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

“Kita nggak bisa meraba juga ya bagaimana pandangan tiap calon ini soal kekerasan seksual atau soal perempuan secara umum atau kesetaraan gender,” ucapnya.

Pada akhirnya, para Capres harus mulai membagikan pandangannya soal kekerasan seksual atau kekerasan terhadap perempuan. Sebab, masyarakat juga berhak mengetahui langkah apa saja yang akan dilakukan capres terpilih untuk memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan.

Harusnya isu kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan tak hanya menjadi komoditas saja. Para Capres harus bisa merealisasikan janji-janji politiknya, bagaimanapun juga, realisasi janji tersebut adalah bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Generasi muda sebagai pemilih mayoritas juga harus bijak dalam memilih Capres, terlepas dari tren di media sosial. Pasalnya, tren media sosial seolah mengarahkan pengguna untuk melihat apa yang menjadi ketertarikannya. Meski demikian, bukan berarti generasi muda mudah “disetir” oleh situasi politik.

“Harapannya ke depan akan selalu stick kepada bagaimana mengutamakan kepentingan korban dan juga bagaimana bisa mengurangi kasus kekerasan seksual, memberikan keadilan bagi korban, dan memperbaiki ke depan ya masyarakat secara umum terkait pandangannya soal penanganan kasus.”

Perjuangan HopeHelps untuk Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Namanya perkumpulan, pasti anggotanya ada banyak. Per tahun 2023, sebanyak 17 kampus negeri di Jawa dan Bali sudah menjadi local chapter dari HopeHelps Network.

Salah satu kampus yang terdapat perkumpulan HopeHelps ini adalah Universitas Airlangga (UNAIR). Weda yang mendirikan perkumpulan tersebut bersama teman-temannya. Sebelumnya, HopeHelps di Jawa Timur hanya tersedia di Universitas Brawijaya saja.

“Kebetulan di UNAIR waktu itu nggak ada organisasi sejenis yang menyediakan layanan hotline untuk pengaduan kekerasan seksual,”ucap Weda pada Minggu (17/12/2023).

Weda tak merasa kesulitan saat dipercaya untuk mendirikan HopeHelps di UNAIR. Ia meyakini bahwa kekuatan jaringan organisasi maupun individu yang menangani kekerasan seksual itu cukup kuat. Sebab, antar mahasiswa pun bisa saling tunjuk siapa yang kompeten dalam menangani kasusnya. Terkadang mereka juga tak berafiliasi pada organisasi berkaitan dengan kekerasan seksual atau gender tertentu.

Saat itu, Weda juga bergabung bersama Amnesty International Indonesia local chapter UNAIR. Ia menganggap kajian hak perempuan yang dibahas oleh organisasi tersebut sangat berhubungan dengan HopeHelps. Ia pun langsung menarik teman-temannya untuk bergabung bersama HopeHelps UNAIR.

Sebelumnya, Weda tak pernah punya pengalaman menangani kasus kekerasan seksual. Ia hanya menggunakan isu tersebut sebagai topik skripsinya saja. Namun, Weda bisa mengklaim bahwa dirinya dekat sekali dengan pengalaman kekerasan seksual. Inilah yang membuatnya semakin mantap menjadi bagian dari HopeHelps Network.

Baca juga: Apa Saja yang Dilakukan Kampus untuk Hentikan Kekerasan Seksual?

Saat Weda bergerak di HopeHelps, belum ada aturan mengenai tindak kekerasan seksual di kampus. Bahkan satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS) pun belum terbentuk. Tempat pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman justru berlaku sebaliknya.

“Karena tempat pendidikan gitu ya, mungkin (masyarakat) mikirnya pasti aman dari segala hal yang sifatnya kekerasan. Tapi ternyata kenyataannya sama saja gitu, jadi pasti sedih, prihatin juga, marah apalagi,”ujar Weda.

Komnas Perempuan mencatat sebanyak 67 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di lingkungan pendidikan periode 2015-2021. Dalam hal ini, perguruan tinggi menempati urutan pertama untuk kasus kekerasan seksual.

Menanggapi fenomena tersebut, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan ini terbit sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan oleh DPR RI.

Webinar HopeHelps bersama Perempuan Berkisah

Weda sama seperti perempuan muda  pada umumnya yang bisa merasakan sedih, marah, dan tertekan saat mendengar cerita kekerasan seksual. Selama mendampingi kasus, ia merasa senang bisa membantu teman-teman yang membutuhkan. Bahkan terkadang laporan kasus juga didapatkan dari luar jangkauan HopeHelps UNAIR.

Jika demikian, HopeHelps tidak akan lepas tangan begitu saja. Pihaknya akan merekomendasikan jaringan terkait yang bisa diakses oleh korban. Apabila tidak ada layanan aduan di kampus, maka HopeHelps akan membantu korban untuk dirujuk ke forum pengada layanan di kota atau provinsi yang dekat dengan korban.

Tak jarang Weda ikut terenyuh mendengarkan cerita korban. Ia tak menepis pernah merasa kewalahan dan perasaan yang campur aduk. Oleh karena itu, HopeHelps Network selalu menyarankan dan mewajibkan relawan untuk datang ke psikolog apabila membutuhkan.

“Aku dan teman-teman selalu harus ingat, kalau mau bantuin teman-teman korban, jangan lupa yang perlu diprioritaskan tentu diri sendiri dulu. Dan itu selalu di-reminder jangan lupa kita ada konseling gratis nih, kalau mau silakan kontak,”ujarnya.

Baca juga: Fatia Maulidiyanti: Joget Gemoy? No! Anak Muda Butuh Politik Gaya Baru

Namanya perkumpulan, tentu kemampuan mengontrol anggotanya pun terbatas. Weda harus membagi waktu antara bekerja sebagai karyawan swasta dan menjadi Direktur Humas dan Jaringan HopeHelps Network. Perlu manajemen waktu yang baik, terlebih berkomunikasi dengan pihak eksternal.

Setiap pagi, Weda selalu menyempatkan waktu mengecek undangan untuk HopeHelps Network yang masuk melalui email. Selanjutnya, ia memastikan siapa yang akan menghadiri undangan tersebut. Jika dari HopeHelps Network tidak ada yang bisa hadir, ia akan melempar undangan kepada local chapter.

Ia juga harus memastikan para relawan local chapter bisa menangani kasus kekerasan seksual yang masuk. HopeHelps Network akan menanyakan dan membantu jika local chapter mengalami kesulitan. Biasanya, setiap dua bulan sekali HopeHelps Network akan mengadakan pertemuan daring dengan local chapter.

“Lebih ke gimana kita bisa tetap menjaga independensi juga profesionalitas untuk mendampingi korban dan kasus. Dan juga nggak terpengaruh dari luar,”imbuhnya.

(Foto: Linkedln.com)

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!