Feminisme liberal

Kritik Atas Feminisme Liberal: Abai terhadap Pengalaman Perempuan yang Beragam

Feminisme liberal dikenal sebagai aliran feminisme paling awal. Ia muncul dalam konteks masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai warga negara kelas dua. Dalam perkembangannya ia dikritik karena mengabaikan pengalaman perempuan dengan ragam warna kulit. Yuk cari tahu lebih jauh!

Feminisme liberal muncul pada abad ke-17 dan ke-18. Masa tersebut merupakan periode terjadinya perubahan sosial besar-besaran di negara-negara barat, Seperti revolusi Perancis dan Amerika, transisi dari masyarakat feodal ke masyarakat industri, peralihan dari negara monarki ke negara demokratis berdasarkan aturan hukum, perkembangan kapitalisme, dll.

Selain itu pada masa tersebut kemudian juga muncul gerakan-gerakan sosial besar, seperti gerakan buruh, abolisionis, dan feminis menyikapi perubahan perkembangan yang ada di masa itu.

Feminisme liberal merupakan aliran feminisme yang berpijak pada gagasan liberalisme. Liberalisme adalah filsafat politik yang muncul pada abad ke-17 dan ke-18 bersamaan dengan munculnya modernitas dan kebangkitan kapitalisme. Pada dasarnya ia adalah doktrin yang mendorong perkembangan kebebasan, khususnya di bidang politik dan ekonomi.

Gagasan utama liberalisme termasuk kebebasan individu, demokrasi, kesempatan yang sama, dan hak yang sama.

Aliran pemikiran ini juga meyakini bahwa negara yang adil menjamin kebebasan bagi setiap individu. Mereka juga menempatkan kapasitas nalar manusia sebagai prioritas yang didefinisikan dalam aspek moral dan prudensial. Aspek moral berkaitan dengan kapasitas untuk mengambil keputusan secara otonom, sedangkan aspek prudensial berhubungan dengan penggunaan akal untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Kaum liberal beranggapan bahwa hak harus diberikan sebagai prioritas di atas kebaikan. Dengan kata lain, setiap individu diberikan kebebasan untuk memilih yang terbaik bagi dirinya selama tidak merampas hak orang lain.

Feminisme liberal dengan demikian lahir di negara-negara barat yang dipelopori oleh perempuan-perempuan terpelajar dengan ide-ide liberal. Feminis liberal ingin menerapkan filosofi liberalisme pada kesetaraan gender, para feminis juga melihat bahwa penindasan perempuan terletak pada kurangnya hak politik dan sipil, ini terlihat dari minimnya perempuan dilibatkan dalam perjuangan sipil politik. 

Namun setelah periode kelahirannya berjalan, ada sejumlah kritik yang datang untuk feminisme liberal, salah satunya kurang memberikan ruang bagi perempuan dengan beragam warna kulit. Padahal perempuan dengan beragam warna kulit punya penindasan dan perjuangan yang berbeda-beda.

Kritikan untuk Feminis Liberal

Pada 1791 Charles Maurice yang menjabat sebagai Pangeran Talleyrand menulis laporan yang menyatakan perempuan hanya boleh menerima pendidikan dari keluarganya seperti orang tua, saudara, dan suami.

Saat itu tidak ada yang aneh dengan laporan tersebut. Budaya patriarki di masa-masa senja monarki absolut Prancis masih begitu kental dan dipandang lazim.

Namun beberapa perempuan revolusioner merasa sudah waktunya bagi mereka untuk bersuara dan menentang. Sikap ini dimotivasi oleh era Pencerahan Eropa dan pergolakan politik Prancis. Sayangnya ini tidak begitu bergaung di Prancis, paling tidak belum cukup menjungkirbalikkan persepsi gender di masyarakat. Tapi di Inggris Raya, cahaya baru muncul dari tangan perempuan, Mary Wollstonecraft.

Sebagai respons atas laporan tersebut setahun kemudian Wollstonecraft menulis karya monumentalnya, A Vindication of the Rights of Woman: with Strictures on Political and Moral Subjects. Lewat bukunya Wollstonecraft menyerang para ahli teori pendidikan dan politik yang percaya bahwa perempuan tidak perlu menerima pendidikan formal di sekolah. Dia menuduh laki-laki mendorong perempuan untuk menghamba pada emosi dengan mengekang pikiran perempuan.

Wollstonecraft juga membahas persoalan hak-hak kodrati dan mempertanyakan siapa yang mempunyai hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat dan landasannya. Wollstonecraft menjawab karena hak-hak kodrati diberikan oleh Tuhan, maka kelompok masyarakat yang menolak hak tersebut kepada kelompok lain menjadi berdosa. 

Meskipun corak pemikiran Wollstonecraft cukup teologis, tapi gagasannya membentuk konsep awal feminisme dan etika yang berhubungan dengan hak-hak perempuan. Pengaruh gagasannya terutama muncul dalam budaya populer pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu contohnya adalah novel berjudul Herland yang ditulis oleh feminis Amerika, Charlotte Perkins Gilman. 

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Patriarki? Kamu Harus Pelajari Makna Sebenarnya 

Novel Gilman yang dipublikasikan pada 1979 ini menggambarkan sebuah masyarakat perempuan yang terisolasi, yang melahirkan dengan cara partenogenesis. Partenogenesis adalah bentuk reproduksi aseksual yakni kemampuan suatu ovum untuk berkembang menjadi individu baru tanpa dibuahi sperma. Masyarakat matriarkal ini digambarkan sebagai tatanan sosial ideal yang bebas perang, konflik, dan dominasi.

Melalui novel tersebut, Gilman memberikan pesan tersirat jika masyarakat ingin berbudi luhur, mereka harus mencontoh fiksi utopia dalam ‘Herland’. Namun selama perempuan bergantung pada laki-laki secara ekonomi, perempuan akan terus dikenal karena sikapnya yang suka mengabdi. Sementara laki-laki akan terus dikenal karena kesombongannya. 

Terlepas dari gaya penulisannya yang bernuansa feminisme separatis, Herland tetap penting. Pasalnya novel ini secara dramatis membayangkan utopia yang secara filosofis mengkritik ketergantungan tidak wajar perempuan pada para pencari nafkah/laki-laki. 

Ketika Terry, tokoh di Herland, mengungkapkan mayoritas perempuan di Amerika lebih banyak tinggal di rumah dibandingkan “bekerja”, para perempuan tersebut bertanya-tanya. Apa maksudnya dengan mengatakan perempuan tidak “bekerja”, apakah mengasuh anak tidak dianggap sebagai pekerjaan? 

Meski gagasan Gilman bertujuan membantu memberdayakan perempuan di tempat kerja, gagasan feminisme semacam ini belakangan meluas ke ide-ide supremasi feminisme kulit putih. Biasa disebut juga feminisme liberal yakni cabang feminisme yang mengabaikan isu-isu perempuan kulit berwarna.

Saya jadi teringat esai lawas berjudul “Decolonizing Feminism” (1995) yang ditulis oleh Susanna Ounei, feminis kulit hitam asal New Caledonia. Saya menerjemahkannya untuk teman-teman Sophia Institute beberapa minggu yang lalu.

Dalam esainya, Susanna menyoroti penindasan yang dialami masyarakat New Caledonia akibat kolonialisme dan praktik perbudakan yang dilakukan Prancis. Susanna menyadari gerakan feminisme yang digaungkan perempuan-perempuan Eropa sudah menyebar secara eksponensial selama beberapa dekade.

Sayangnya mereka tidak pernah menyoroti penindasan yang dialami perempuan kulit berwarna di New Caledonia, Papua, dan Afrika. Alih-alih memberikan dukungan pada perempuan kulit hitam dari penjajahan, perempuan-perempuan kulit putih justru menjadi bagian dari penjajahan itu sendiri.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Misogini Atau Kebencian terhadap Perempuan

Selain itu, Susanna juga menyayangkan pandangan feminisme liberal dan separatis yang menganggap bahwa masalah semua perempuan adalah sama. Ia mengutip Angela Davis, tokoh feminisme sosialis. Ketika perempuan kulit putih mengeklaim kemerdekaannya sebagai individu dan menuntut kesetaraan, di sisi lain perempuan kulit hitam bersama laki-laki kulit hitam masih bergumul dengan perbudakan dan rasisme yang dilakukan laki-laki dan perempuan kulit putih.

Karena itu Susanna menyebut feminisme liberal sebagai borjuis kecil. Ini membikin gerakan feminisme liberal, di mata Susanna dan Angela Davis, terkesan bukan sebagai gerakan radikal dan revolusioner. Sebaliknya ia abai terhadap rasisme dan kolonialisme. 

Ratna Megawangi, pengajar dan penulis, juga menyoroti hal ini dalam pengantar buku The Tao of Islam karya penulis Jepang, Sachiko Murata. Dia menyebut perempuan modern terutama perempuan yang mengadopsi feminisme liberal sebagai male clone.

Menurutnya gagasan feminisme liberal yang menuntut kesamaan hak dalam berbagai aspek terutama politik dan ekonomi membuat banyak perempuan masuk ke dunia maskulin. Para perempuan ini berkiprah bersama laki-laki, hal ini berkebalikan dengan novel utopia Herland. Ratna berargumen perempuan bukan hanya memasuki dunia maskulin tapi juga mengadopsi nilai-nilai maskulin yang mereka kritik sendiri. 

Doktrin liberal yang dipakai kelompok feminis ini juga meresap ke dalam sebagian besar wacana feminis yang didasarkan pada kesetaraan gender. Ideologi inilah yang melatarbelakangi wacana perempuan untuk mengakses level korporasi yang dulunya hanya diisi oleh laki-laki.

Baca Juga: Kamus Feminis: Bagaimana Pandangan Feminisme Terhadap Aborsi Aman Bagi Korban Perkosaan?

Dengan mengadopsi nilai liberal-individualis dan menempati ruang-ruang dalam struktur kapitalis patriarki, feminis liberal kemudian beradaptasi dan mereproduksi stratifikasi sosial sendiri. Dengan begitu feminisme liberal dibangun sebagai sebuah gerakan yang terbatas pada mereka yang berada di puncak piramida sosial.

Dalam praktik individualistis, feminisme liberal membatasi emansipasi perempuan hanya pada kelompok tertentu. Feminisme liberal juga hanya menjual pidato pemberdayaan yang tidak realistis bagi sebagian besar orang.

Aliran feminisme ini kurang memiliki karakter revolusioner dan tidak mempersoalkan struktur yang opresif seperti disinggung Susanna dan Ratna. Pada akhirnya feminisme liberal menjadi penglaris bagi kepentingan elitis yang menjadi dasar kapitalisme dan eksploitasi.

Baca Juga: Melihat Childfree dari Perspektif Feminis Eksistensialis

Jadi tidak heran kalau feminisme liberal mendapat tempat istimewa di berbagai dimensi bahkan mendapat dukungan dari laki-laki yang berkecimpung di bisnis. Alih-alih membebaskan perempuan, sistem ini malah membuat diskursus keperempuanan menjadi dangkal dan menciptakan ilusi “kekuatan perempuan”.

Manipulasi semacam ini akan menciptakan tabir yang hanya akan menyulitkan perempuan menyadari penindasan dan eksploitasi yang selama ini mereka alami. Dalam esainya, Susanna menulis, Feminis liberal Prancis kelas menengah vokal berbicara tentang kedamaian dan kesetaraan hak. Mereka suka menyoroti eksploitasi yang dialami perempuan di masyarakat Kanak sembari bernyanyi ‘We are all women. All women unite‘. Betapa konyolnya! Bagaimana kami (perempuan Kanak) bisa bersatu dengan perempuan liberal Prancis ketika mereka turut berpartisipasi menjajah negara kami? Slogan mereka jelas dibuat untuk membutakan perempuan Kanak dari perjuangan.”

Feminisme liberal tampaknya hanya berlaku untuk orang kulit putih di negara maju dan orang kaya di negara miskin dan berkembang. Seolah-olah gerakan ini dirancang untuk melayani kelas menengah dan atas. Pasalnya percuma banyak perempuan terlibat aktif dalam politik dan pengambilan kebijakan tapi tidak peduli terhadap perempuan lain dan hak-hak mereka. 

Feminis liberal menghindari konfrontasi dengan laki-laki dan mempertahankan status quo dibanding mencari kebebasan yang layak bagi perempuan. Mereka senang diberi tempat duduk mewah agar bisa mendapatkan remah-remah daripada mengambil palu dan menghancurkan sistem yang menindas. 

Saya kira jika laki-laki misoginis dan kapitalisme mendukung jenis feminisme ini, seharusnya ini menjadi pertanda bahwa feminisme liberal kurang efektif. Feminisme seharusnya menjadi ancaman bagi laki-laki misoginis. Ini lantaran feminisme menuntut agar perempuan berani mencari dan memperjuangkan kebebasannya dari sistem yang menindas dan patriarki.

Pada akhirnya, pembebasan perempuan yang sesungguhnya bergantung pada revolusi yang menumbangkan sistem kapitalis, patriarki, dan rasisme. Sebelum semua perempuan bebas, pembebasan perempuan tidak akan pernah terjadi.

Fadlan

Penulis saat ini berkecimpung aktif di Sophia Institute. Di waktu senggang, penulis biasa menghabiskan waktu dengan menonton tayangan podcast di YouTube yang membicarakan filsafat dan sains, atau juga belajar bahasa di Duolingo.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!