Ilustrasi penganut Kristen Mormon

Pengalaman Natal Nabilla, Penganut Kristen Mormon dan Stigma yang Dirasakannya

Nabilla adalah salah penganut Kristen Mormon. Ia banyak kena stigma sebagai orang yang beragama sesat. Bahkan pernah bantuannya bersama teman-teman gerejanya untuk sebuah panti asuhan, ditolak hanya karena ia penganut Mormon.

Nabilla Wahyu Aprianti (26) adalah penganut Kristen Mormon atau orang menyebutnya penganut Orang-Orang Suci Zaman Akhir (The Church of Jesus Christ of Later Day Saint/LDS), atau penganut aliran Mormonisme.

Gereja ini memiliki jumlah pengikut yang lebih sedikit dibanding gereja Kristen lainnya. Tak ayal jika ada masyarakat yang asing dengan aliran ini. Orang lebih mengenal Kristen Protestan, Kristen Advent, Kristen Baptis, dll.

Nabilla bercerita, minimnya pengikut dan salahnya orang memahami sejarah Kristen Mormon, menyebabkan Nabilla dkk nya sering dikasih stigma sebagai gereja sesat dan percaya pada sekte tertentu, karena dianggap memiliki pandangan yang berbeda dari gereja Kristen pada umumnya.

Stigma tersebut misalnya dianggap setuju dengan poligami, tidak diakui sebagai aliran agama, dianggap haram, dan banyak stigma lainnya yang kerap ditempelkan.

Gereja Mormon disebut lahir ketika Amerika didominasi oleh penganut Kristen Protestan. Orang-orang Kristen pada zaman tersebut pun menganggap kalau ajaran yang dibawa oleh Smith di tahun 1823 itu merupakan salah satu bentuk kesesatan. Kontroversi tersebut membuat pemerintah wilayah Illinois, Amerika Serikat mengambil keputusan. Gubernur setempat melakukan pemanggilan terhadap Smith serta para pengikutnya. Pemanggilan tersebut pun berujung pada eksekusi Smith beserta pengikutnya pada 27 Juni 1844. 

Nabilla adalah satu dari 70-an anggota Gereja LDS di Bekasi, Jawa Barat. Meski sedikit jumlah anggotanya, tetapi Billa tak pernah merasa kesepian. Ia selalu diajak untuk melakukan pelayanan ke berbagai tempat seperti panti asuhan. Terlebih di momen Natal seperti ini, umat Kristiani turut berbagi kebahagiaan dan sukacita Natal kepada orang di sekitar lewat pelayanan.

“Natal kali ini memberiku kesempatan yang lebih lagi untuk melayani sesama,” ucap Billa kepada Konde.co pada Selasa (19/12/2023). 

Baca Juga: Kata Teolog Feminis, ‘Bapa Kami’ Bukan Satu-satunya Cara Menyebut Tuhan

Sebagai gereja yang bergerak secara global, ada program rutin yang diadakan setiap menjelang Natal yaitu Light The World. Program ini mengajak seluruh umat Gereja LDS memberi sumbangan kepada beberapa negara atau shelter yang membutuhkan. Bahkan di Amerika Serikat sendiri, terdapat vending machine (mesin penjual raksasa) untuk mengumpulkan sumbangan dari orang-orang.

“Balik lagi, wahyu dari Nabi yang dari Presiden Nelson karena perintahnya adalah untuk membagikan kebahagiaan, membagikan pelayanan kepada sesama,” tegas Billa.

Pelayanan seperti ini sudah dijalani Billa selama dua tahun sejak ia bergabung sebagai anggota jemaat Gereja LDS. Ia bisa merasakan indahnya kebersamaan dan kebahagiaan bersama jemaat di Gereja LDS, mereka juga akan saling membantu jika ada masalah.

Perayaan Natal di Gereja LDS hampir sama dengan gereja pada umumnya. Jemaat akan terbagi dalam beberapa lingkungan. Nantinya, setiap lingkungan akan merayakan Natal dengan cara yang berbeda.

“Lingkunganku sendiri biasanya sediain makanan, makan bareng satu lingkungan dari mulai anak kecil sampai yang tua kumpul. Dan kita biasanya ada ibadah bareng, kita kebersamaan aja,” cerita Billa.

Tak hanya itu, lingkungan ibadahnya pun memberi kesempatan anggota gereja untuk unjuk bakat. Mereka sangat antusias dan penuh percaya diri. Ada pula pembagian hadiah bagi anak-anak kecil dan pembagian sembako kepada orang yang dianggap lebih membutuhkan.

“Aku sendiri benar-benar menantikan momen dimana bisa kumpul di gereja untuk bersama-sama keluarga di gereja karena LDS itu gerejanya kekeluargaan banget,” ucapnya sambil tersenyum lepas.

Sayangnya, tak semua pelayanan disambut baik oleh masyarakat. Billa pun menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke sebuah panti asuhan. Kala itu, Billa bersama rombongan gerejanya tengah membagikan sembako ke panti asuhan. Alih-alih menyambut dengan hangat, mereka justru dihadapkan dengan berbagai pertanyaan tudingan dari pihak panti.

Baca Juga: Buat Saya, Natal adalah Momen Berbagi untuk Mereka yang Terlupakan

Hal serupa juga terjadi dalam keluarganya. Billa memang memeluk agama yang berbeda dari kedua orang tuanya. Meski begitu, mereka tetap hidup rukun dalam satu atap, terlebih Billa juga anak tunggal. Penolakan justru berasal dari saudaranya yang tidak mau menerima pemberiannya.

“Dibilang nggak mau terima dari orang Kristen, apalagi Kristen Mormon kayak gitu soalnya sesat, pasti haram,” ujar Billa.

Pada akhirnya, Billa memilih diam. Ia tak mau banyak berkomentar untuk mengubah pola pikir seseorang yang sudah terdoktrin negatif soal agamanya. Yang jelas, Billa tidak akan membalas perbuatan tersebut dan berpikir bahwa ada orang lain yang lebih membutuhkan pertolongannya.

Gereja LDS: Disebut Sesat Hanya Karena Tak Sependapat

Situs resmi LDS menyebut, jika menilik sejarahnya, jauh sebelum Joseph Smith mendirikan Gereja LDS, ia mengaku pernah mendapat penglihatan dari Allah Bapa dan Yesus. Apa yang disampaikan oleh Allah Bapa dan Yesus menjawab pertanyaan Smith saat itu. Bahwasanya tidak ada gereja Yesus Kristus yang sejati di bumi ini. Ia pun diutus untuk memperbaiki hal tersebut.

Setelah Joseph Smith mencari lempengan emas, menerjemahkan, hingga akhirnya mendirikan gereja, ia harus berhadapan dengan gubernur setempat. Ia bersama sebagian pengikutnya ditahan di penjara. Nahasnya, mereka ditembak mati dan tewas pada 27 Juni 1844.

Sejarahnya yang pelik inilah yang membuat masyarakat terus memberi stigma negatif pada pengikut Gereja LDS. Terlebih umat LDS juga tidak pernah mengumbar apa yang ada di dalam bait suci, sebuah tempat yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang dianggap layak oleh keuskupan suatu lingkungan.

“Apapun yang terjadi di bait suci itu nggak boleh keluar sama sekali. Jadi apapun yang terjadi di sana akan stay (bertahan) di sana,” jelas Billa.

Sebab, bait suci adalah tempat yang suci dan sakral bagi Gereja LDS. Wajar jika umatnya tidak boleh mengumbar apa yang ada di dalamnya. Walau pada akhirnya masyarakat akan bertanya-tanya dan menyebut Gereja LDS sebagai sebuah sekte sesat.

Belum lagi soal stigma sebagai gereja “peminum darah bayi”, menormalisasi poligami, serta perempuan dari gereja LDS yang dicap sebagai perayu. Hanya karena perempuan ini memiliki sifat yang ramah dan suka membantu, mereka dituduh melakukannya untuk menggandeng laki-laki agar mau bergabung dengan LDS.

“Bagaimanapun hal yang buruk itu bakalan selalu diingat sama semua orang sepanjang masa, sampai seumur hidup, jadi sampai sekarang itu masih melekat,” tambahnya.

Baca Juga: Paskah Dan Kisah Yesus Yang Jadi Korban Pelecehan Seksual Ketika Disalib

Gereja LDS didirikan pada tahun 1830 di Amerika Serikat oleh Joseph Smith. Situs resmi LDS menjelaskan, Mormonisme mengurai ajaran gereja yang dipulihkan ke bumi melalui Nabi Joseph Smith. Aliran ini akan sering bicara tentang kasih terhadap Yesus Kristus Juruselamat sebagai inti dari Mormonisme.

Sejak awal kemunculan Gereja LDS, pengikutnya memang terbilang cukup banyak. Inilah yang membuat orang-orang curiga dan menyebutnya sebagai sekte. Terlebih Mormon memiliki tiga kitab pendukung Alkitab, yaitu Kitab Mormon, Ajaran Perjanjian, dan Mutiara yang Sangat Berharga. Mereka juga percaya akan adanya wahyu modern.

“Kalau misalnya gereja lain percaya Wahyu itu berhenti di Yesus Kristus, di gereja kami itu percayanya Wahyu terus ada sampai zaman modern sekarang,” ujar Nabila.

Kepercayaan tersebut membuat Gereja LDS masih memiliki nabi hingga saat ini dan akan terus berlanjut hingga akhir zaman. Nabi modern yang dimiliki Mormon setelah Yesus Kristus adalah Joseph Smith, orang yang mendirikan Gereja LDS. Kini, Nabi yang masih hidup adalah Presiden Russel M. Nelson.

“Kami percaya bahwa setelah nabi yang ada meninggal itu, Yesus sendiri yang menunjuk nabi-nabi yang selanjutnya,” tambahnya.

Pada Natal 2023 ini, Billa berharap agar kedamaian Natal bisa dirasakan oleh semua orang. Semoga tak ada lagi perdebatan yang terjadi antar agama dan keyakinan di Indonesia. Billa juga sangat berharap agar segala stigma yang sering disematkan pada jemaat Gereja LDS bisa perlahan menghilang.

Baca Juga: Dinilai ‘Vulgar’, Alkitab Ditarik dari Sekolah di Utah Amerika

“Aku pengen sense of peace (rasa damai) ini bisa ditularkan, jadi semua orang bisa melakukan apa yang mereka percayai, juga bisa merasakan kehangatan Natal, dan bisa merasakan bahwa setiap orang berhak untuk bahagia dan berhak tenang merayakan apa yang mereka percayai,” pungkas Billa.

Gereja LDS juga memiliki tata cara ibadah yang sebenarnya tak jauh berbeda dengan gereja lainnya. Mereka tetap ibadah di gereja setiap Minggu bersamaan dengan diberinya sakramen. 

Jika ceramah di gereja biasanya dipimpin oleh pendeta, pastor, atau seseorang yang memiliki jabatan penting di gereja, maka hal ini tak berlaku di Gereja LDS. Setiap anggota berkesempatan untuk ceramah dengan tetap diawasi oleh keuskupan.

“Di kami lebih mengutamakan belajar bareng-bareng, jadi anggota pun diberi kesempatan untuk ceramah di depan meskipun tetap diawasi oleh keuskupan,” jelas Billa.

Usai beribadah, semua anggota wajib menghadiri Sekolah Minggu. Di sana ada empat kelas yang tersedia yaitu Sekolah Minggu wajib bagi anak-anak kecil, Pratama bagi anak usia 8 hingga belasan tahun, remaja lajang, dewasa lajang muda, dan Lembaga Pertolongan yang diikuti oleh perempuan.

“Perempuan itu juga ada peran penting yang harus dikasih chance (kesempatan) untuk bisa berkontribusi juga di gereja. Makanya itu ada Lembaga Pertolongan Khusus untuk perempuan-perempuan di Gereja LDS,” tambahnya.

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!