Cerita film “Sehidup Semati” dibuka dari Renata (Laura Basuki) dan boneka mainannya semasa kecil.
Kehidupan pernikahan yang indah, sepasang suami dan istri duduk bersama di meja makan. Sayangnya, realita hidup Renata tak seindah permainannya.
Amarah ayah yang tak segan menyakiti ibunya terekam jelas di benak Renata, bahkan hingga dirinya menginjak usia dewasa. Alih-alih mengajak Renata pergi dari rumah dan bercerai, ibunya justru mengajak Renata untuk berdoa. Ia menitip pesan, “apa yang sudah dipersatukan, tidak boleh dipisahkan.”
Keyakinan tersebut dibawa Renata hingga dewasa. Ia memutuskan menikah dengan lelaki pilihannya, Edwin (Ario Bayu).
Pesta pernikahannya cukup meriah dibalut dengan kasih sayang dan romantisme pengantin baru.
Warna layar bioskop yang awalnya cerah mendadak berubah biru tua. Renata terbangun dari tidurnya. Tubuhnya tak berisi seperti dulu lagi. Lebam dan luka bekas cambuk baru terlihat di balik pakaiannya. Apa yang terjadi dengan Renata?
Sekilas Renata terlihat seperti perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang tak punya kuasa untuk melawan. Namun, siapa sangka bahwa Ia bisa membalaskan kesakitannya akibat penindasan yang dialaminya.
Baca Juga: Perjanjian Pra-nikah Bukan Cuma Soal Cinta Pasangan, Tapi Juga Menghindari KDRT
Akal cerdas sutradara Upi Avianto dalam mematahkan stigma tentang perempuan korban KDRT perlu diacungi jempol. Ia mengemas cerita Sehidup Semati dalam sebuah film bergenre horror thriller. Tak ada hantu dalam film ini. Namun, ketakutan dan ketegangan bisa dirasakan penonton sepanjang film diputar.
Visual yang disajikan pun terlihat sangat kontras. Penggunaan warna biru tua menggambarkan suasana suram dan mencekam. Ditambah lagi pencahayaan yang minim menambah kesan mistis dalam film.
Sehidup Semati membawa penonton lebih jauh memaknai kalimat “apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan manusia”. Bagaimana jika sebuah keluarga harus bercerai karena pernikahan yang tak lagi sehat? Apakah pernikahan tersebut harus dipisahkan oleh maut jika kekerasan demi kekerasan dialami istri atau korban?
Ruang Gerak Terbatas yang Tak Aman
Dalam setiap kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), korban seolah dijauhkan dari kehidupan luar. Mereka hidup seorang diri, tak berinteraksi dengan orang di sekitar, serta jauh dari keluarga dan teman dekat.
Renata harus bertahan hidup di sebuah apartemen yang sudah tak layak huni. Para penghuni berbondong-bondong keluar dari apartemen. Hanya Renata–dan dua penghuni lain–yang masih berada di sana. Rencananya, apartemen tersebut akan dialihfungsikan menjadi pusat perbelanjaan. Pemilik apartemen membiarkan gedungnya rusak agar para penghuni segera pergi.
Sesuai dengan doktrin yang diterima Renata sejak kecil: istri harus patuh dan tunduk pada suami, Ia tak meninggalkan apartemen tersebut, sekalipun untuk keluar dari ruangan. Aktivitasnya di luar tak jauh-jauh dari berbelanja, mencuci pakaian, dan membuang sampah.
Edwin berdalih agar Renata aman di dalam apartemen. Ia tak akan mengganggu pergerakan suaminya di luar sana setiap hari. Yang ia tahu, suaminya bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Sayangnya, apartemen justru menjadi tempat paling tidak aman bagi Renata. Selain karena setiap hari harus menerima perlakuan buruk Edwin, Renata juga merasa ada orang lain yang tinggal di sana. Teror silih berganti memunculkan rasa penasaran Renata akan sebuah ruangan terlarang.
Baca Juga: 19 Tahun UU Penghapusan KDRT, Perempuan Masih Marak Jadi Korban
Kasus KDRT masih dianggap sebagai kekerasan di ranah privat. Tidak sepantasnya orang lain ikut campur dalam urusan tersebut. Padahal, pertolongan dari orang lain mampu membantu perempuan korban keluar dari jeratan suaminya.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta agar masyarakat segera melapor jika ada kasus KDRT terjadi di sekitar. Mengingat KDRT adalah kekerasan berbasis gender yang tidak boleh diabaikan dan harus ditindak secepat mungkin.
Korban KDRT juga manusia yang berhak berinteraksi dengan siapa saja. Suami yang menjadi pelaku KDRT nyatanya adalah manipulator handal. Ia akan membatasi ruang gerak istri dan menjadikannya tak berdaya. Dari situ, istri akan merasa sangat bergantung pada suami.
Langgengnya Doktrin Patriarkis Halangi Kebebasan Korban
Hadirnya Asmara (Asmara Abigail) dalam kehidupan Renata membuat kehidupan Renata berbeda dan menambah dinamisasi film ini.
Selama ini masyarakat patriarkis mengamini kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dibanding perempuan. Ini menjadi sebuah doktrin yang terus digaungkan kepada anak cucu. Tak heran jika pemahaman tersebut masih langgeng hingga sekarang.
Suburnya doktrin patriarkis ini memengaruhi setiap lini. Hal ini tentu saja menyulitkan korban KDRT untuk mencari perlindungan dan melaporkan kasusnya. Bahkan masih ada saja orang yang mencari celah menyalahkan perempuan. Perempuan korban dianggap tak becus mengurus suami, tak heran jika ia diberi hukuman keji.
Mereka yakin, perempuan yang sabar dan berbakti pada suami akan masuk Surga. Namun, mereka menyingkirkan fakta bahwa kekerasan yang terjadi dalam sebuah hubungan adalah racun yang dapat berdampak buruk. Perempuan korban akan merasa rendah diri, tidak berdaya, lemah secara fisik, hingga memiliki keinginan untuk bunuh diri.
Kondisi ini juga dialami oleh Renata. Suatu ketika, ia kembali ke rumah, berharap mendapat pembelaan dan perlindungan dari keluarga. Namun, yang didapat justru ceramah tak berkesudahan. Beban Renata pun bertambah: tidak pernah ada sejarah perceraian dalam keluarga mereka.
Stigma Korban KDRT Dipatahkan
Renata harus berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tangga. Perpisahan di pengadilan bukanlah jawaban atas masalah tersebut. Lantas, bagaimana dengan perpisahan karena kematian?
Tahun 2023 lalu, kasus femisida selalu viral dan diberitakan media. Menurut Komnas Perempuan, jumlah perempuan korban mencapai 159 kasus, 109 diantaranya adalah femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, dan mantan pacar.
Upi Avianto memberikan cerita berbeda dalam Sehidup Semati. Perempuan korban KDRT harus berani bangkit melawan ketidakadilan. Hidupnya yang selama ini direnggut oleh keegoisan laki-laki harus direbut kembali.
Perempuan berhak merdeka dari segala bentuk kekerasan.
Foto: cuplikan trailer film ‘Sehidup Semati’ (sumber: tangkapan layar YouTube StarVisionPlus)