Merasakan panik karena habisnya masker dan obat pencuci tangan di apotek dan supermarket adalah hal yang dirasakan Linda, setelah Presiden Jokowi mengumumkan ada 2 warga Indonesia yang terjangkit Virus Corona atau Covid-19. Situasi seperti ini membuat Linda menjadi stress. Ia melihat banyak sekali orang yang menggunakan masker di jalanan dan angkutan umum di Jakarta
*Luviana- www.Konde.co
Konde.co- Jika awalnya Linda merasa bahwa waspada adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan, namun sekarang ia merasakan panik karena lingkungan sekitarnya juga merasa panik.
“Kemarin kita merasa tenang walau harus selalu waspada, tapi ketika semuanya menjadi panik, orang-orang menggunakan masker, berebut membeli masker, keluargaku jadi panik, aku juga ikut panik,” kata Linda.
Di pusat perbelanjaan, Linda juga melihat orang-orang yang berlari-lari mencari sabun tangan saling berebut dengan yang lain. Orang menjadi terbatas ngomong dengan yang lain, berbisik-bisik. Semua tampak panik, bahkan ada yang sudah mulai membatasi diri untuk keluar rumah.
Situasi panik yang sama juga saya rasakan di whats app group. Ada yang menawarkan masker dan obat pencuci tangan dengan harga yang sangat tinggi dan penyebaran informasi harga yang sangat masif, orang berbondong-bondong memborongnya. Hal yang tak pernah saya bayangkan situasi seperti ini.
Saya hanya berpikir, jika masker saja dijual dengan harga Rp. 350 ribu per-box-nya, bagaimana orang miskin bisa membeli masker dengan harga semahal itu?
Situasi panik ini pasti juga dirasakan ibu hamil yang harus bolak-balik untuk memeriksakan kandungannya ke rumah sakit, ibu yang memeriksakan anaknya yang sedang sakit, juga perawat dan dokter yang setiap saat harus berjaga disana.
Kepanikan ini pasti juga dirasakan di China sejak adanya virus Covid-19. Kini, virus Covid-19 telah menginfeksi 89.212 orang di 68 negara dan 3.048 orang dilaporkan meninggal, dan angkanya masih terus bertambah tiap saat.
Situasi yang sama sebenarnya beberapakali terjadi di Indonesia. Saya pernah menyaksikannya ketika melakukan peliputan flu burung di beberapa rumah sakit di Jakarta. Semua tampak panik, masyarakat ketakutan, pemerintah melakukan razia unggas dimana-mana dan menyatakan Indonesia sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Kepanikan Covid-19 ini kemudian menjalar ke media. Lihat saja ada stasiun TV yang melakukan live reporting dimana reporternya menggunakan masker yang biasa digunakan untuk meliput peristiwa demonstrasi ketika para demonstran menghadapi gas air mata. Reportase seperti ini justru membuat panik dan menandakan bahwa udara di sekitar kita sama sekali sudah tidak aman untuk dihirup.
Sejumlah media juga melakukan hal panik lain terhadap korban dan tetangganya, yaitu dengan menyebutkan nama korban dan mengambil gambar rumahnya. Walau sudah seringkali dikritik, tapi ini masih saja terjadi. Entah media yang ingin secara terang-terangan memberitahu masyarakat agar berhati-hati ataukah punya tujuan apa?. Namun memberikan nama korban, mengambil gambar rumah adalah sesuatu yang mengganggu privacy.
Bahkan dulu ada pameo, media terutama televisi tak mau menyebutkan nama korban, namun tetap saja mewawancarai keluarga korban, atau mewawancarai teman korban. Ini merupakan upaya yang sama yang dilakukan media untuk menggiring dan memberitahukan identitas korban kepada publik. Jika terus berlanjut, penggiringan pada identitas ini bisa menimbulkan diskriminasi dan stigma.
Situasi ini disebut sebagai: media telah melakukan kekerasan yaitu memberikan nama korban kepada masyarakat dengan tanpa izin, juga melakukan sensasionalisme terhadap korban.
Situasi yang sama pernah juga terjadi ketika ada penyakit flu burung atau ketika ada warga Indonesia yang dinyatakan terkena HIV/ AIDS.
Komisi Informasi Publik (KIP) Pusat melalui pernyataan persnya menyatakan bahwa tersebarnya identitas penderita virus Corona di Depok Jawa Barat, berisi daftar anggota keluarga, profesi hingga tempat kerja yang bersangkutan secara terbuka adalah pelanggaran hak-hak pribadi.
KIP meminta media untuk memberitakan secara bijaksana kejadian ini. Ketidakhati-hatian dan kekurangcermatan dapat menyebabkan viktimisasi yang bersangkutan dan berpotensi melanggar Kode Etik Jurnalistik terkait perlindungan hak pribadi.
Para jurnalis yang tergabung dalam Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK) Indonesia, JBK Indonesia, organisasi profesi jurnalis yang concern terhadap isu bencana dan krisis di Indonesia meminta media massa menyudahi penyebutan identitas dan alamat pasien dengan lengkap.
Media tidak harus meliput dan memotret rumah pasien karena tak relevan dengan penghentian penanganan wabah Covid-19. Penghormatan dan melindungi para penyintas adalah bagian dari Kode Etik jurnalistik (KEJ).
Erick Tanjung, Sekjend JBK juga melihat bahwa situasi ini juga terjadi karena pemerintah Indonesia yang belum menyediakan informasi secara transparan kepada publik mengenai penapisan dan hasil pemeriksaan yang dilakukan, protokol pencegahan dan perlindungan masyarakat dari wabah Covid-19.
“Tidak adanya transparansi, justru menempatkan publik menjadi lebih berisiko sehingga dampak wabah bisa lebih dalam,” kata Erick Tanjung.
Dalam situasi ini, pemerintah Indonesia seharusnya punya penanganan menyeluruh, lebih proaktif melakukan pemeriksaan di daerah-daerah berisiko dan menyiapkan rumah sakit di daerah agar mampu menangani perawatan pasien Covid-19. Crisis Center harus disediakan agar bisa diakses warga tanpa terkecuali.
Media dan publik merupakan cerminan bagaimana pemerintahnya. Jika pemerintah juga panik, belum mempunyai penanganan menyeluruh yang bisa diakses oleh banyak orang, maka publik juga akan merasa panik. Media juga akan ikut membuat panik.
Padahal media akan memainkan peran yang sangat penting dalam situasi ini, media memberikan suara bagi masyarakat, memberikan informasi sekaligus memberikan kritik pada pemerintah.
Jika media dan publik adalah cerminan bagaimana pemerintahnya, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah tak membuat panik dan memberikan penanganan kesehatan dan akses informasi bagi masyarakat.
Jurnalis Bencana dan Krisis menyatakan bahwa komunikasi risiko memiliki peran penting dalam meminimalkan dampak ikutan bencana. Komunikasi risiko ini menuntut adanya pertukaran informasi yang berkualitas dan transparan antara otoritas, para ahli dan para pihak lain yang berkompeten, dengan publik yang berisiko menghadapi ancaman wabah penyakit. Tujuannya agar publik bisa memproteksi diri dan keluarga sehingga bisa meminimalkan dampak dan kekacauaan saat dan setelah wabah.
Kegagalan komunikasi risiko, selain memicu ketidakpercayaan publik, juga bisa melemahkan kesiapsiagaan, kepanikan, dan kekacauaan yang bakal memperdalam dampak bencana.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut, menyatakan ada hal penting yang juga harus ditulis media antaralain media harus menghindari informasi yang membuat publik menjadi panik. Media bisa menuliskan untuk menumbukan optimisme bahwa yang sakit bisa disembuhkan dengan memberikan informasi melalui data-data, juga media bisa mendorong dan membantu pemerintah agar terus melakukan sosialisasi tentang standardisasi penanganan yang dilakukan dan bisa diakses publik dan tak memberikan kepanikan masyarakat.
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Luviana, setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar ilmu komunikasi di sejumlah universitas di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas