Penjual es campur sedang menyiapkan pesanan. (Foto: Aqeela Ara/Konde.co)

‘Jualan Takjil Biar Dapur Ngebul dan Beli Baju Lebaran’, Perempuan Cari Cuan di Bulan Ramadan

Para perempuan penjual takjil punya banyak tantangan. Mereka bisa masak 3 kali dalam sehari. Pertama harus bangun sangat pagi untuk menyiapkan sahur di rumah, lalu masak lagi untuk buka puasa, setelah itu bikin takjil untuk dijual di sore hari.

Sore jelang buka puasa, Taslimah dan Nasiyah berdiri di depan meja dagangan takjil-nya. 

Baru jam 3 sore, tapi takjil atau penganan berbuka puasa sudah berjejer siap dijual. Ada lontong, mie goreng, kue lapis, kolak pisang dan gorengan. Di samping gorengan, ada keripik kacang dan keripik teri.

Mereka duduk di kursi menunggu pembeli datang. 

“Silahkan pak, bu, dibeli takjilnya,” Nasiyah mencoba menyapa pengendara yang lewat di lapaknya. Banyak yang mampir dan membeli dagangannya.

Salah satu pembeli mengatakan, dagangan Nasiyah enak, bumbunya kerasa. Maklum setiap Ramadan, banyak penjual takjil yang berpuasa, jadi kadang makanan yang dijual kurang bumbu atau kurang garam.

“Tapi mie di sini enak, lontongnya juga, semua enak, kerasa banget,” ujar Nisa, salah satu pembeli.

Harga makanan di sini bervariasi, dari Rp 3000 hingga Rp 5000 untuk penganan. Sedangkan keripik harganya Rp 15 ribu. 

Baca Juga: Jalan-Jalan Ramadan: Aku Menemui Para Perempuan Pedagang Takjil
Perempuan penjual takjil. (Foto: Aqeela Ara/Konde.co)
Nasiyah, penjual takjil. (Foto: Luviana/Konde.co)

Dari jam 9 pagi, Taslimah dan Nasiyah sudah masak takjil. Lapak dagangan yang mereka tunggu ini, bukan milik mereka sendiri. Mereka hanya ikut memasak dan menunggui makanan dijual. Lapak ini punya saudara sepupu Nasiyah. 

“Ini punya saudara, kita masak dari pagi dan nungguin dagangan sampai jam 6 sore.”

Sehari-hari Nasiyah bekerja di rumah saudaranya yang punya usaha katering ini. Karena puasa, maka kateringnya libur dan berganti usaha jualan takjil. Nasiyah yang membantu. Kerjaan Nasiyah biasanya masak untuk pesanan katering dari pagi sampai sore. 

Sedangkan Taslimah adalah ibu rumah tangga, anaknya 3 sudah besar. Dulu dia pernah bekerja di bagian katering kantin sekolah sebagai juru masak, tapi sejak Covid-19, katering ini tutup karena anak-anak belajar dari rumah. Covid-19 sudah mereda, Taslimah tak juga bekerja. Jadi selama bulan puasa ini, ia kemudian ikut menjajakan takjil.

“Dulu kerja di sekolah, bantuin katering, tapi ya tutup sejak Covid karena anak-anak kan belajar di rumah, ya,” kata Taslimah.

Suami Taslimah bekerja sebagai ojek online. Jadi selama puasa Taslimah bisa masak dan menunggu takjil. 

Sedangkan suami Nasiyah bekerja sebagai satpam sekolah. Lumayan, dalam sehari mereka bisa mendapatkan masing-masing Rp 50 ribu rupiah. Uang ini akan disimpannya untuk lebaran.

“Buat tambahan beli makanan dan baju untuk lebaran, buat tambahan dapur ya, lumayan…” ujar Tasliman dan Nasiyah hampir berbarengan ketika ditemui Konde.co kemarin.

Baca Juga: Jalan-Jalan Ramadan: Aku Menemui Para Perempuan Pedagang Takjil

Di kawasan Puri Beta, Ciledug, dimana Nasiyah dan Taslimah berjualan, penjual takjil ini banyak bermunculan seperti di tempat lainnya. Macam-macam yang dijual, selain takjil juga ada kelapa muda, Sushi, Gohyong sampai bakso dan mie ayam. 

Takjil hanya muncul di hari lebaran, sedangkan makanan lainnya selalu dijual tiap hari di kawasan ini, karena daerah ini ada terminal busway nya, selalu ramai, hiruk-pikuk setiap hari, orang lalu lalang mencari makanan.

Sudah menjadi budaya setiap bulan Ramadan di setiap pinggir jalan terdapat banyak penjual takjil. Makanan yang dijual pun beragam, mulai dari kudapan, es buah, gorengan, hingga berbagai macam minuman segar yang dapat menghilangkan dahaga. 

Latar belakang mereka juga beragam, ada yang memang menjual takjil karena mencari peruntungan di momentum Ramadan, hingga pemasukan menjual takjil penyambung hidup mereka.

Taslimah dan Nasiyah bukan sekali saja jualan takjil seperti ini, tapi sudah lebih dari 4 tahun. Jadi ketika puasa datang, ini merupakan kesempatan bagi para perempuan untuk berjualan atau menunggui takjil. Bisanya jam 6 sudah habis, mereka tinggal mengemas kursi dan meja.

“Lumayan banget ini untuk kita, biar dapur tetap ngebul karena banyak kebutuhan,” kata Nasiyah.

Di bulan Ramadan ini, umumnya orang-orang yang berpuasa dan yang tidak berpuasa gencar-gencarnya berburu takjil. Menyalakan mode mata elang untuk menganalisis “buruan” mereka ke setiap pinggir jalanan. 

Baca Juga: Makanan Takjil dan Cerita Perempuan

Rupanya, membeli takjil juga biasanya dilakukan sebagai reward atas suksesnya berpuasa satu hari penuh. Selain itu, takjil-takjil juga terkadang menjadi sasaran alternatif bagi mereka yang tidak menghidangkan makanan untuk berbuka puasa.

Biasanya, para pembeli mulai mengerubungi penjual-penjual takjil dari dimulainya adzan Ashar. 

Di kawasan Citorek, di Lebak, Banten, juga terdapat satu warung yang menjual sop buah, jus, dan berbagai macam varian frozen food yang dibakar. Warung Laela Hasnawati atau biasanya warga memanggilnya Teh Eneng. Ia rutin membuka warung takjil persis di depan rumahnya setiap bulan Ramadhan.

“Buat sampingan, buat bulan Ramadhan,” ucap Teh Eneng ketika ditemui Konde.co.

Baca Juga: Dear Ortu, Batasi Konsumsi Manis Penyebab Obesitas Pada Anak
Teh Eneng sedang melayani pembeli takjil. (Foto: Aqeela Ara)
Teh Eneng sedang melayani pembeli takjil. (Foto: Aqeela Ara)

Ia rutin membuka warung tersebut setahun sekali sebagai tambahan sampingan. Kerjanya pada jam-jam ramainya masyarakat turun ke jalan untuk ngabuburit. 

Menunggu pelanggan, bangkit dari duduknya untuk melayani pelanggan, membayar tunai, transaksi selesai, terkadang ia perlu mengeluarkan energi ekstra untuk mengipas bakaran frozen food  atau memotong-motong buah untuk membuat jus. 

Sop buah buatannya paling sering habis, ia memotong cincau, buah-buahan, dan menuangkan pemanis lainnya sebagai resep andalan Teh Eneng. Cincau dan buah-buahan yang menjadi isi utama dari sop buah tersebut dimasukan ke dalam cup dan siap dijual.

Baraha? (berapa?),” ujarnya di sela-sela perbincangan kami kepada pelanggan yang sedang menaiki motor.

Pelanggan itu menggerakkan tangan dengan memberi simbol dua di jarinya, Eneng menyebutkan nominal, pembeli tersebut menyerahkan uang selembar Rp 10 ribu, transaksi selesai. Satu cup yang dijual Teh Eneng senilai Rp 5 ribu. Teh Eneng berkisah saat di bulan-bulan biasa, bukan bulan Ramadhan, ia membuka pre order kue-kue basah atau kue-kue pasar serta kue-kue ulang tahun .

Per harinya, Eneng menjajakan sop buah sebanyak 50 cup. Namun, apabila sop buah tersebut tidak habis terjual, ia dengan sukarela memberikan cup-cup berisi sop buah tersebut kepada orang-orang yang berbuka puasa di masjid terdekat. 

Situasi yang paling tidak menguntungkan baginya adalah ketika derasnya hujan yang mengakibatkan terhentinya aktivitas masyarakat dalam mencari takjil. Ia sebelumnya telah menyiapkan minuman segar tersebut dengan harapan banyak pembeli, tetapi harapan itu jatuh bersama ribuan kubik air hujan.

Satu Tusuk Cilok, Satu Tunas Harapan Penyambung Hidup

Menyusuri jalanan lain, juga terlihat ibu-ibu penjual cilok. Ini bukan cilok yang biasa berseliweran di internet, tetapi cilok jadul atau cilok yang hanya diketahui segelintir orang. Rasa dan bentuknya khas, dibuat dari tepung tapioka dengan campuran bumbu rahasia lainnya, kemudian dibentuk bulat-bulat kecil, dan ditusuk. 

Dalam satu tusuk satai, terdapat empat bola-bola kecil, yang kemudian digoreng di minyak panas dan dilumuri bumbu kacang. Cilok bumbu kacang ini diberi harga Rp 1.000 per tusuknya.

Jika kamu mengunyahnya, kesan garing renyah dan disusul rasa gurih dari bumbu kacang. Itulah cilok jadul yang dijual oleh Marohaeni selama empat tahun terakhir. 

Tidak hanya di bulan Ramadhan saja, Marohaeni atau Maroh sering menjual cilok-cilok tersebut di hari-hari biasa juga. Seringnya ia menjual cilok dengan ngider keliling dari tetangga ke tetangga atau berjualan lepas saat acara samen kenaikan kelas yang diadakan setahun sekali di setiap sekolah-sekolah yang ada di desa.

Sehari-hari menjual cilok bumbu kacang adalah keahliannya, Maroh menjualnya berdasarkan keinginannya sendiri karena tidak ingin hidup menganggur. Ibu tunggal atau single parent ini menjadikan cilok bumbu kacang sebagai pemasukan utamanya sehingga sangat bergantung terhadap penghasilan cilok yang ia jual untuk menghidupi dirinya dan anak perempuannya.

“Pemasukan utamanya itu (berjualan cilok),”  ujarnya Maroh di tengah-tengan menunggu pembeli.

Baca Juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Pengalamanku ke Tempat Ibadah Yang Menghargai Keberagaman

Dalam sehari, paling banyak Maroh menyiapkan 80 tusuk cilok bumbu kacang, yang berarti seharusnya ia mengumpulkan Rp 80 ribu per hari.

“Gak (sampai) sehari habis, kadang cuma dua jam (habisnya),” ujarnya.

Dalam berjualan cilok, terkadang terdapat hari-hari tertentu ketika ia tidak menghabiskan penjualannya. Terkadang ia hanya mendapatkan Rp 50 ribu dari penjualannya jika jarang ada yang membeli. Cilok-cilok yang tidak habis tersebut akhirnya ia bagikan kepada saudara-saudaranya.

Selain berjualan cilok jadul, Maroh juga rajin membantu tetangganya untuk sekadar bersih-bersih rumah atau membantu memasak untuk acara besar di desanya dengan imbalan upah. 

Bantuan itu biasanya sukarela, tetapi Maroh selalu saja mendapatkan imbalan yang setimpal. Perlu kegigihan untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah sebab ia harus menghidupi anak satu-satunya. Maroh tidak bisa meninggalkan usahanya sebagai penjual cilok jadul meski banyak pekerjaan yang ia lakukan sebelumnya, sebab ia merasa selalu ada hasil yang lebih ketika ia berjualan.

Di bulan Ramadan ini, banyak dari mereka yang berjualan takjil untuk menyerahkan harapannya kepada para pembeli. Para ibu-ibu saling menunjukkan kreativitasnya masing-masing dan disalurkan melalui barang dagangan agar menarik dibeli oleh pengunjung.

Perempuan Berkreasi di Bulan Ramadan, Harus Didukung Keluarga

Kebanyakan penjual takjil ini rata-rata adalah perempuan. Ini menunjukkan bahwa perempuan juga berkreasi untuk ekonomi keluarga di bulan Ramadan. 

Misalnya mereka berjualan takjil dengan buka lapak sementara atau berjualan makanan secara daring. 

Selama lebaran ini, pedagang perempuan memang makin banyak bermunculan. Usaha perempuan dalam Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran besar untuk menopang perekonomian Indonesia. Pada bulan Ramadan mereka berjualan karena harga-harga yang mulai melambung tinggi dan kebutuhan yang banyak di saat lebaran.

Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti ketika dihubungi Konde.co menyatakan, setiap tahun selalu ada Ramadan dimana banyak perempuan penjual takjil bermunculan. Emmy Astuti juga mengakui bahwa di tahun ini, jumlah perempuan yang berjualan mengalami peningkatan paska pandemi.

“Ini karena tren wirausaha perempuan, anak-anak muda yang berjualan semakin meningkat. Hal lain, ini dilakukan banyak perempuan karena terbukti meningkatkan ekonomi perempuan. Mayoritasnya adalah perempuan dan bisa menjadi ruang untuk berkreasi dan mengeluarkan ide dan inovasi di bidang kuliner,” kata Emmy Astuti pada Konde.co, 26 Maret 2024 kemarin.

Pelaku UMKM ini sering jualan di event atau bazar yang difasilitasi oleh swasta atau pemerintah, tapi dengan Ramadan ini, perempuan seperti punya ruang baru lagi.

Baca Juga: Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Cara Minoritas Tionghoa Rawat Keberagaman di Kampung Kami

“Ini momen bagus untuk perempuan, pemerintah bisa memfasilitasi pelaku UMKM ini, bisa menyediakan akses ke finance, ada yang butuh memanfaatkan ramadan ini untuk berkreasi atau jelang Ramadan bisa kasih pelatihan untuk perempuan.”

Data UMKM di Indonesia terdapat 65 juta pelaku UMKM, dan yang paling banyak di sektor mikro dan 90% dikelola oleh perempuan. Ini merupakan sektor informal, banyak yang tidak mengakuinya sebagai sektor penting, padahal bisa menyerap 97% tenaga kerja. Jadi ini bisa menyerap tenaga kerja perempuan. 

Hal lain yang diingat Emmy Astuti yaitu, soal beban perempuan jadi lebih berat di bulan puasa, mereka bangun untuk menyiapkan makanan di jam-jam yang tidak biasa, lalu jualan, mengurus anak dan mengurus rumah. 

Jadi tantangan ini seharusnya tak boleh hanya dibebankan untuk perempuan, tapi laki-laki atau suami juga harus melakukannya, karena banyak perempuan mencari cuan di masa ramadan dan ini tak lain untuk kebutuhan rumah tangga.

“Pentingnya suami mendukung istri yang sedang mencari cuan, maka penting untuk berbagi peran di rumah tangga,” kata Emmy.

Emmy Astuti menambahkan, selama Ramadan misalnya, perempuan bisa menyiapkan makanan 2 kali dalam sehari, harus memasak lebih sering dan di jam-jam yang sangat pagi dan tak biasa, dan setelah itu berjualan. 

Maka di sinilah peran suami dibutuhkan untuk mendukung perempuan karena pekerjaan rumah tangga harus diselesaikan bersama-sama.

Luviana dan Aqeela Ara

Pemimpin redaksi dan reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!