Suroboyo Bus saat berhenti di halte (dok. pribadi)

Minimnya Transportasi Publik Perkotaan, Perspektif Gender Cuma Jadi Impian

Transportasi publik adalah kebutuhan esensial bagi warga perkotaan. Sayangnya tidak setiap kota punya transportasi publik yang memadai, dan pemerintah kota tidak mengerti hal ini. Transportasi yang berperspektif gender masih jadi impian.

Sore hari, sekitar pukul 17.00 WIB di kota Surabaya, Dini (25) seorang perempuan pekerja kantoran di wilayah jalan Tunjungan, Surabaya menaiki bus Suroboyo bus dengan kode SB17 rute Jalan Rajawali – terminal Purabaya. 

Sambil menenteng helm, ia memasuki angkutan umum tersebut dan duduk di area khusus perempuan yang berada di bagian tengah bis. Dini hampir setiap hari menggunakan moda transportasi ini untuk pulang pergi dari rumah ke kantor. Meskipun begitu, ia masih membawa helm karena ia harus melanjutkan perjalanannya dari halte ke rumahnya yang tidak mungkin ditempuh dengan berjalan kaki, sehingga ia menyambung perjalanannya dengan naik ojek online.

“Naik bis dari halte Siola sampai ke halte Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL), sampai sana itu kalau ke kost mungkin 2 kilometer-an. Jadi nyambung naik ojek online. Angkutan umum nggak ada yang masuk ke dalam, kalau jalan, ya jauh,” cerita Dini kepada Konde.co (01/02/2024).

Baca Juga: Transportasi Umum yang Aman untuk Perempuan: Tanggung Jawab Siapa?

Surabaya adalah salah satu kota yang angkutan umumnya banyak dibahas di beberapa media karena ketersediaan angkutan umum yang kurang memadai. Jika kota lain membahas angkutan publik mereka karena fasilitas yang bagus ataupun kenyamanan, Surabaya masih berkutat pada ketersediaan minimnya angkutan umum. 

Secara umum angkutan publik di dalam kota Surabaya sendiri terdiri dari 2 jenis, yaitu bus dan feeder. Bus di Surabaya terdiri dari Suroboyo bus yang diluncurkan pada 7 April 2018 dan Trans Semanggi yang diluncurkan pada 29 Desember 2021. Sementara feeder yang ditujukan untuk mengangkut penumpang ke helte biasa disebut Wira Wiri Suroboyo mulai mengaspal pada 3 Maret 2023.

Tingginya Pengeluaran untuk Mobilitas

Dini yang hampir setiap hari harus menempuh perjalanan dari selatan ke daerah pusat Surabaya hanya mampu menjangkau Suroboyo Bus melalui halte yang jaraknya cukup jauh, sementara feeder yang ditujukan mengangkut penumpang nyatanya tidak menjangkau sampai ke wilayah kediamannya. Alhasil, Dini harus merogoh kocek lebih dalam untuk menggunakan ojek online karena itu satu-satunya alternatif yang memungkinkan. 

Biaya untuk ojek online juga naik turun tergantung keramaian dan promo yang tersedia, namun Dini mengatakan rata-rata ia membayar sekitar Rp. 7.500 rupiah. Sehingga dalam sehari ia mengeluarkan biaya Rp. 15.000 untuk ojek online dan Rp. 10.000 untuk bus yang sekali jalan membayar Rp. 5.000. Praktis Dini dalam sehari harus mengeluarkan ongkos rata-rata Rp. 25.000 hanya untuk transport. Jadi untuk 22 hari kerja Dini, mengeluarkan ongkos Rp. 550.000 rupiah per bulan hanya untuk perjalanan. Biaya yang tidak sedikit untuk perjalanan.

Seorang pekerja perempuan dalam acara pertemuan salah satu serikat pekerja di Surabaya, mengungkapkan bahwa dirinya tidak bisa menyetir atau memiliki kendaraan sendiri. Ia menyesalkan sulitnya mencari pekerjaan yang jauh dari rumah karena terhalang ketersediaan transportasi umum. 

“Pilihan saya untuk apply pekerjaan sangat terbatas di Surabaya. Kalau ada kendaraan umum, mungkin saya bisa apply kerjaan walaupun letaknya jauh dari rumah. Di sini tuh susah kalau nggak punya kendaraan pribadi. Waktu saya merantau ke Jakarta, tidak ada masalah karena di sana banyak pilihan kendaraan umum,” terangnya.

Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita

Cerita lain datang dari Syakila (21). Ia adalah mahasiswi dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tidak jauh beda dengan Dini, Syakila juga menggunakan Suroboyo Bus dalam kesehariannya, namun hanya bisa berhenti di halte. Untuk melanjutkan perjalanan sampai ke rumah, Syakila dijemput oleh ayahnya.

“Ada ayah yang jemput kalau pulang. Kalau pergi ngampus kan turun di halte Royal Plaza Ketintang, kadang nebeng temen atau jalan kaki buat sampai kampus, kalau buru-buru ya naik becak atau ojek online depan mall sini banyak. Kalau transportasi umum lagi udah nggak ada sampai ke dalam,” jelas Syakila.

Dari tiga cerita perempuan di atas, dapat dipahami bahwa ketersambungan transportasi adalah permasalahan yang dirasakan pengguna bus di Surabaya. Feeder (Wira-Wiri) yang ditujukan sebagai angkutan pengumpan ke angkutan umum nyatanya belum menjangkau semua rute jalanan kecil. Feeder yang berbentuk mobil minivan itu terasa seperti angkutan umum di jalan besar yang tidak dilewati Suroboyo Bus, keduanya sama-sama menggunakan rute jalan raya namun berbeda tujuan saja. Suroboyo Bus dan bus Trans Semanggi lebih menggunakan jalan raya utama dari Surabaya utara ke selatan pulang pergi dan Surabaya timur ke barat pulang pergi. Feeder menggunakan rute jalan raya selain rute kedua bus tersebut. Sehingga, untuk jalanan kecil dan sempit tidak ada yang menjangkau.

Memudarnya Angkot di Surabaya

Angkutan umum di Surabaya adalah angkutan yang mengalami pasang surut. Pada era tahun 2000-2010, Surabaya memiliki banyak angkutan kecil berupa angkot, orang Surabaya menyebutnya bemo atau lyn. Angkot-angkot ini lebih banyak menjangkau jalan-jalan kecil dan objek penting hingga di tingkat kelurahan seperti pasar, puskesmas hingga sekolah. Dekade tersebut adalah era kejayaan angkot. Sementara untuk transportasi di jalan utama, ada beberapa jenis bis yang biasa dinaiki seperti bis kota dan bis ijo yang menjangkau hingga Sidoarjo.

Jumlah angkot di Surabaya terus berkurang seiring waktu. Pada tahun 2017 masih terdapat 4.667 unit angkot yang tersebar di seluruh kota, hingga pada tahun 2022 hanya tersisa 350 unit saja yang masih beroperasi dengan kondisi seadanya. 

(Foto: Angkutan kota di Kota Surabaya. Dok Pribadi)

Kehadiran Suroboyo Bus nyatanya belum bisa menjadi solusi atas kebutuhan transportasi publik. Semenjak jumlah angkot terus menurun, pemerintah kota tidak langsung menyiapkan alternatif atau solusi lain untuk kebutuhan transportasi. Keterlambatan ini diperparah dengan kehadiran transportasi online yang sangat luar biasa dalam melakukan akselerasi. Semua hal tersebut membuat angkot menjadi semakin terpojok dan perlahan menghilang dari jalanan di Surabaya.

Baca Juga: Pelecehan Seksual di Kereta: Tak Cukup Hanya Blacklist Pelaku, Harus Ada SOP Transportasi Aman

Kami bertemu dengan Ratu Fitri selaku bagian dari komunitas Bersama di Jalan yang anggotanya gabungan dari pengguna jalan dan transportasi umum Surabaya. 

Kepada Konde.co (15/03/2024), Ratu Fitri mengatakan bahwa kehadiran Suroboyo Bus pada awalnya memanglah tidak ditujukan sebagai transportasi massal. Hal ini karena keterbatasan rute dan tidak terintegrasi. Oleh karena itu pada awal kemunculannya, Suroboyo Bus tidak menarik biaya atau uang dari penumpang, hal ini ditujukan untuk merubah kebiasaan masyarakat agar mengenal bus sebagai transportasi. Karena itulah Suroboyo Bus pada masa itu masih berupa bus dengan plat merah yang artinya kendaraan pemerintah, alih-alih menggunakan plat kuning sebagai kendaraan umum.

“Pertama dari sejak awal Suroboyo Bus keluar, Dishub juga nggak berani stating ini transportasi umum karena rute terbatas. Dalam ilmu tata kota, benefit dari transportasi umum itu sudah terintegrasi. Itulah makanya pemerintah tidak mau mengenakan biaya di awal. Ini hanya sebagai changing behavior dengan bayar pakai plastik. Tapi gimmick bu Risma (mantan walikota Surabaya-red) seakan-akan ramah lingkungan nggak berhasil. Makanya dulu waktu masih plat merah tidak dikenakan biaya, pas sekarang pakai plat kuning baru penumpang membayar,” jelas Ratu.

Ratu yang kesehariannya juga bergantung pada transportasi publik ini juga berbagi kekurangan dari transportasi massal yang sudah tersedia, diantaranya adalah masalah integrasi dan waktu tunggu. Sebelum ada feeder Wirawiri, Ratu lebih susah menjangkau halte untuk naik bus, setelah Wirawiri mulai mengaspal, ia kini lebih mudah untuk sampai ke halte. Meskipun begitu, kekurangan lain adalah waktu tunggu yang tidak menentu. Wirawiri sebagai angkutan yang ditujukan mengantar penumpang ke angkutan utama memiliki waktu tunggu yang lama dan tidak menentu. Oleh karena itu, angkutan ini belum bisa digunakan untuk orang-orang atau pekerja yang membutuhkan kecepatan dan mobilitas tinggi.

Baca Juga: Taksi Perempuan di Uganda: Atasi Kekerasan Perempuan di Transportasi Publik

“Sejak ada feeder jadi bisa naik di beberapa rute, meskipun naik kendaraan umum pasti memilih di waktu aku lagi slow, soalnya waktu tunggu bisa lama 15 menit, kalau bus (Bus Suroboyo dan Trans Semanggi) lumayan cepat. Jadi takut telat. Kendaraan umum cuma berlaku mahasiswa atau mungkin freelancers ya yang waktunya fleksibel. Kalau orang yang butuh kepastian waktu sepertinya nggak bisa” ucap Ratu.

Waktu tunggu yang lumayan lama tentu tidak membuat kendaraan umum tidak bisa diandalkan untuk semua orang. Sebenarnya posisi setiap bus yang beroperasi bisa dipantau dari aplikasi Gobis milik Dishub kota Surabaya, namun menurut Ratu hal itu tidak memberikan waktu tunggu karena lamanya perjalanan tidak bisa diprediksi. Bus Suroboyo sendiri tidak memiliki jalur khusus sehingga harus terjebak macet juga seperti kendaraan lainnya. Ratu juga menambahkan tidak semua orang memiliki aplikasi tersebut. Lebih baik jika di halte disediakan estimasi atau perkiraan waktu bus akan datang sehingga penumpang tidak perlu memantau lewat handphone.

Terkait angkutan kecil yang mengantar penumpang yang akan menaiki angkutan utama, Ratu juga mengenang angkot atau bemo yang dulu sempat menguasai jalanan Surabaya. Angkot lebih memiliki rute yang jauh dan dalam sampai ke jalan-jalan kecil, selain itu angkot bisa berhenti di mana saja sehingga lebih fleksibel. Namun, kekurangan angkot adalah ngetem untuk mengumpulkan penumpang karena harus mengejar setoran. Sementara itu feeder yang kini beroperasi dirasa lebih aman dan nyaman karena selain tidak ngetem, feeder juga dilengkapi dengan helper yang ada di kursi penumpang.

“Enaknya feeder itu ya, ada helpernya, dan kadang petugasnya perempuan. Jadi kita merasa aman dari pencopet atau pelecehan seksual” jelas Ratu.

Perencanaan Transportasi Umum tidak Berperspektif Gender

Ratu juga menyoroti pentingnya pembangunan transportasi yang harusnya lebih inklusif. Ratu mengatakan sekitar 80 % penumpang adalah perempuan, namun tidak banyak rute yang menjangkau kebutuhan-kebutuhan perempuan seperti pasar ataupun Puskesmas. Rute angkutan publik di Surabaya lebih mementingkan jalan besar saja dan pusat perbelanjaan. Banyak pusat perbelanjaan yang menjadi titik turun dan naik penumpang namun tidak dengan pasar tradisional.

“80 persen penumpang itu perempuan. Tapi rute untuk kebutuhan perempuan kurang. Kalau untuk Mall bisa turun pas di depannya. Selain itu angkutan massal idealnya juga terjangkau untuk melayani pekerja malam. Pas tahun baru kemarin, layanan sudah berhenti di jam 19.00 malam, bandingin dengan MRT di Jakarta yang lebih reliable. Menurutku harusnya minimal jam 23.00 baru kembali ke pool. SDM juga bisa ditingkatkan untuk menghadapi kelompok rentan. Misalnya hari disabilitas: kita ada acara naik Suroboyo Bus. Helper sama driver kagok tidak tau caranya membuka rem untuk kursi roda, tidak ada tempat duduk juga untuk kursi roda,” cerita Ratu. 

Operasional Suroboyo Bus memang dirasa kurang memadai. Bus ini hanya melayani penumpang sampai pukul 22.00 waktu setempat. Ratu bercerita bahwa jam tersebut adalah waktu di mana bus sudah masuk kandang sehingga pelayanan efektif justru berakhir sebelum jam tersebut.

Kekurangan transportasi massal di Surabaya tak selesai sampai di situ, Ratu menceritakan lebih lanjut hal-hal yang sering dikeluhkan oleh komunitasnya selama ini, diantaranya adalah kepastian pemerintah dalam merubah rute sewaktu-waktu, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan jalur khusus yang seharusnya diperuntukkan bagi transportasi publik.

Baca Juga: Takut dan Tak Bisa Teriak: Pengalaman Pelecehan di Transportasi Umum

“Kalau keluhan masih ada beberapa seperti pemerintah suka nggak jelas, layanan bis listrik nggak jadi keluar, Kalau ada perubahan rute tidak diumumkan jadi bikin orang nunggu, Headway masih lama nunggu nya, mungkin juga karena kurang armada, sudah seharusnya ada jalur khusus buat bis,” pungkas Ratu.

Ratu juga berharap terdapat tempat khusus untuk barang bawaan penumpang yang selama ini belum disediakan, sehingga penumpang membawa barang bawaan mereka ke dalam bus yang membuat padat. 

Angkutan umum adalah salah satu keperluan yang harusnya disediakan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan mobilitas warganya. Namun, nyatanya masih belum semua pemerintah wilayah menyadari akan hal itu. 

Di lain sisi, banyak yang mengandalkan solusi instan namun tidak solutif. Seperti memperlebar jalan atau membangun jalan layang (fly over) dan underpass dalam kota untuk mengurai kemacetan. Selama transportasi publik belum menyediakan solusi bagi masyarakat, maka selama itu pula kendaraan pribadi akan menjadi pilihan dan kemacetan akan semakin panjang.

(Foto: Ika Ariyani)

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!