Seumur-umur saya tidak pernah tinggal menetap di Jakarta. Tetapi, entah kenapa, cerita-cerita seputar Jakarta selalu berdatangan ke arah saya. Bukan hanya karena media massa kita yang gandrung minta ampun dalam memberitakan apa-apa yang terjadi di Jakarta, tapi juga karena di tanah perantauan, saya kerap bertemu dengan orang-orang yang berasal dari Jakarta.
Dari berbagai cerita yang ada, kalau tidak mengangkat nuansa muram kota, cerita yang berdatangan tak lebih dari sekadar glorifikasi. Kali ini, sekali lagi, saya mendapatkan cerita soal Jakarta. Bukan dari media massa. Bukan pula dari seorang teman. Tetapi, dari sebuah buku tipis bersampul nge-jreng gubahan Andina Dwifatma. Judul bukunya barangkali adalah sebuah kalimat yang ingin diwujudkan oleh semua orang: Menua dengan Gembira.
Menua dengan Gembira berisi kumpulan esai yang kebanyakan membawa cerita tentang kehidupan di pinggiran Jakarta. Tentu saja beberapa cerita sudah kerap saya dengar, seperti kisah tentang betapa “horor” gerbong Kereta Rel Listrik (KRL), tentang kehidupan kawula muda di sana, atau tentang sederet tempat nongkrongnya.
Bedanya dengan cerita-cerita lain yang kerap saya dengar, buku ini memperlihatkan hiruk-pikuk Jakarta melalui narasi yang tak sekadar getir, tapi juga penuh humor. Cerita seperti itu, misalnya, dipertontonkan oleh Andina dalam esai berjudul “Numpang Parkir”. Konon, kebanyakan warga pinggiran Jakarta adalah kelas menengah totok, yang cukup kaya membeli lebih dari satu mobil, tapi tak cukup punya uang membangun garasi buat menampung jumlah kendaraannya yang terus bertambah.
Baca juga: Buku ‘Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori’ Perjuangan Penyintas KDRT Berdamai dengan Masa Lalu
Singkat cerita, ada salah seorang tetangga yang risau dengan perilaku tetangga lain yang terus-terusan numpang parkir. Lantaran sudah kelewat jengah, si tetangga itu memasang tulisan DIJUAL pada kaca belakang mobil sialan yang selalu teronggok di bahu jalan depan rumahnya itu, yang berujung pada peristiwa adu mulut antara keduanya.
Tidak hanya piawai memilih sisi humoris dari suatu peristiwa, Andina Dwifatma juga gemar menyodorkan sebuah pembahasan yang sebenarnya cukup serius, tapi tetap terasa renyah untuk dibaca. Hal itu, barangkali, karena penulis yang pernah memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta itu selalu mengawali esainya dengan sebuah pengalaman yang membuat tulisan-tulisan yang ada tampak begitu personal. Walau begitu, sebenarnya apa yang ia tulis pada dasarnya merupakan persoalan orang banyak.
Kita bisa melihat itu pada esai Andina Dwifatma berjudul “Yang Kalah Pindah Agama”. Pada esai tersebut, selepas menceritakan pengalaman memberi materi dadakan soal “kewarganegaraan” kepada anak-anak yang berceloteh “yang kalah pindah agama” ketika bermain, Andina juga menyodorkan hasil penelitian bahwa pada dasarnya anak-anak sebenarnya memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi ketimbang orang dewasa.
Ada lagi tulisan lain yang terlihat sangat personal, tapi sebenarnya adalah sebuah persoalan sosial yang cukup serius. Esai tersebut berjudul “Menua dengan Gembira”. Pada esai itu, Andina mengulas soal kaitannya industri kecantikan dengan media sosial. Menurutnya, narasi iklan industri kecantikan yang mengarah ke bagaimana cara membentuk tubuh yang sempurna hanyalah omong kosong kapitalisme, dan adalah hal yang alamiah kalau di tubuh kita terdapat lipatan-lipatan kulit yang menggelap, terlebih lagi bagi seorang perempuan yang pernah hamil dan melahirkan.
Baca juga: Adania Shibli Penulis Palestina Suaranya ‘Dibungkam’ di Pameran Buku Frankfurt
Sayangnya, bagi pembaca tulisan Andina Dwifatma, esai-esai yang ada di buku Menua dengan Gembira bukanlah hal baru. Sebab, kebanyakan esai yang ada sudah pernah diterbitkan di media massa dan blog pribadi. Itulah yang membuat saya sedikit kecewa ketika pertama kali mengamati daftar isi pada buku tersebut.
Buku ini merupakan kumpulan esai pertama Andina. Sebelumnya ia sudah menerbitkan dua novel, Semusim dan Semusim Lagi dan Lebih Senyap dari Bisikan. Novel pertamanya memenangkan sayembara menulis novel yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada 2012. Novel keduanya terpilih sebagai Buku Pilihan Tempo 2021 kategori prosa. Esai ini ditulis dari pengamatan dan pengalamannya sehari-hari sebagai warga pinggiran Jakarta.
Tetapi, kalau pun Anda sudah akrab dengan tulisan Andina di media massa maupun di blog pribadinya, jangan pernah sungkan untuk membaca buku ini. Sebab, kebanyakan esai yang sebelumnya pernah terbit itu sudah disunting ulang yang membuatnya lebih enak dibaca. Lagi pula kita tidak bisa berbohong dengan sensasi yang timbul ketika membaca buku fisik, kan?
Buku ini layak dibaca sambil leyeh-leyeh menikmati hari yang begitu-begitu saja. Atau dalam konteks hari ini, patut dijadikan tempat pelarian di tengah kabar berbagai berita politik yang malah bikin sinting. Walau tampak sulit, semoga menua dengan gembira–tentu tak hanya bagi warga pinggiran Jakarta– bukanlah sesuatu yang mustahil.