Buku 'Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori' karya Mega Arnidya (Mpokgaga)

Buku ‘Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori’ Perjuangan Penyintas KDRT Berdamai dengan Masa Lalu

Karya 'Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori' yang ditulis oleh Mega Arnidya atau Mpokgaga ini, bercerita tentang perjuangan perempuan penyintas KDRT. Proses pulihnya yang berliku dan cara-cara yang Ia lakukan untuk terus berdamai dengan diri. Sebelum membaca ini, pastikan kamu siap mental ya, karena cukup triggering!

Menjalani hidup dengan membawa segudang trauma bagaikan menggenggam sekuntum bunga mawar yang dipenuhi duri di tangkainya. Sakit dan harus tetap dijalani. 

Dalam novel bertajuk “Amigdala: Perjalanan Meresapi Memori”, Ishtar sebagai tokoh utama dalam cerita ini, berjuang untuk bisa berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan diri sendiri, dan soal trauma-trauma yang penuh di dalam pikirannya.

“Hidup adalah tentang bagaimana kamu menghadapi kegagalan dari sekian banyak rencana yang telah kamu susun sedemikian rupa. Hidup adalah tentang bagaimana kamu menghadapi ketakutan tentang segala ketidakpastian dan berbagai macam kemungkinan-kemungkinan yang bisa kapan saja terjadi,” Kutipan ini merupakan sepenggal kalimat dari blurb ‘Amigdala: Perjalanan Merepresi Memori’. 

Bercerita mengenai seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang tengah berjuang untuk sembuh dan berdamai dari trauma masa lalunya. Karya yang ditulis oleh Mega Arnidya atau Mpokgaga ini bukan hanya menceritakan sekian dari banyaknya cara untuk berdamai. Alih-alih itu, pembawaan alur cerita ini juga unik karena kompleks dan sulit ditebak.

Awal Mula Lahir Amigdala

Sesuai dengan judulnya, “Amigdala” adalah salah satu bagian otak yang memiliki peran dalam mengolah dan menafsirkan emosi, perilaku, dan memori manusia. 

Sebelum itu, penulis Mpokgaga melakukan observasi individu melalui media sosial dengan fenomena yang cukup absurd. Ia jalankan observasi itu selama tiga tahun lamanya. Dalam penelitiannya, ia melihat sering sekali orang-orang meng-self diagnosed terhadap penyakit mental yang berseliweran di media sosial. Pada tahun tersebut, bahasan mengenai penyakit mental memang sedang populer dibahas di berbagai platform media sosial. 

Fenomena ini cukup miris, sebab banyak warganet mulai self diagnosed mengenai banyaknya unggahan mengenai ciri-ciri umum terhadap suatu penyakit mental. Pun banyak dari mereka melakukan tes sederhana untuk mengetahui penyakit mentalnya dengan mengisi kuis dari website atau form yang tidak diketahui asal-usulnya dari mana. Hasil yang muncul pun sederhana tanpa adanya penjelasan medis dari psikolog, serta informasi yang simpang siur tersebut segera disimpulkan sendiri hingga diaminkan. Percayalah, hal tersebut sempat marak kala Covid-19 terjadi dan banyak orang merasa bangga karena memiliki suatu penyakit mental tertentu.

Dari hal itulah Mpokgaga menyadari bahwa tidak semua orang mendapatkan hak istimewa atau akses berkonsultasi masalah kejiwaan mereka. Atau sesederhana mendapatkan ruang berkisah untuk masalah sehari-hari. Belum lagi menyoal mengenai stigma buruk bagi orang yang memiliki penyakit kesehatan mental, dianggap sebagai orang gila yang harus dihindari. 

Ide dari Mpokgaga yang merupakan seorang penyintas KDRT juga muncul atas dasar kegelisahan-kegelisahan yang terus ia rasakan. Akhirnya ia mengadakan diskusi, bertukar pikiran, bertukar ide yang memungkinkan untuk memicu pikiran dan inisiatif yang baik. 

Alur dan Jalan Cerita ‘Amigdala’

‘Amigdala: Perjalanan Meresapi memori’ ini merupakan buku pertama dari trilogi semesta Amigdala. Buku yang dicetak pertama kali pada 2022 ini diawali dengan dialog berakhirnya hubungan antara Ishtar dan Jeff. 

Sebelumnya, Ishtar dan Jeff masing-masing pernah membangun sebuah keluarga. Dalam kutipan-kutipan Jeff menjelaskan bahwa ia sudah tidak tahan lagi dengan penyakit mental yang Ishtar punya. Pasalnya, Ishtar memiliki beberapa penyakit mental dan seringkali muncul di saat-saat tertentu. 

Alih-alih Jeff berjuang bersama untuk kesembuhan Ishtar, justru ia menyerah dan meninggalkan Ishtar sebab tabungan kesabarannya sudah habis.

Ishtar adalah seorang penyintas KDRT bertahun-tahun lalu. Ia memutuskan cerai dengan mantan suaminya, Riri, sebab Riri sering bermain kasar terhadap Ishtar. Riri memukul, meludah, memaki, mencela, dan merampas uang bonus milik Ishtar, membuat pihak perempuan terus merugi dan sakit hati. 

Baca Juga: Apa yang Harus Kamu Lakukan Jika Kamu Jadi Saksi Kasus Kekerasan Seksual?

Busur-busur panah yang keluar dari mulut Riri menancap sangat dalam di hati Ishtar. Menciptakan lubang yang menganga dan sukar untuk ditutupi. Dari luka yang berkelanjutan itulah akhirnya timbul trauma yang kesembuhannya sangat diperjuangkan.

Selepas memutuskan hubungan dengan Riri, selang beberapa tahun kemudian ia berkencan dengan Jeff dan memiliki hubungan spesial. Melupakan sakitnya yang ada di masa lalu sangat tidak mudah. 

Seringkali terjadi dialog-dialog atau reka ulang kejadian beberapa tahun silam yang terputar dalam benak dan pikiran Ishtar. Celaan-celaan yang dilontarkan oleh Riri di masa lalu telah menyakiti Ishtar dan menciptakan ketakutan-ketakutan yang sebetulnya belum tentu mungkin terjadi. Ketakutan-ketakutan itu ia curahkan kepada Jeff, tetapi Jeff pada awalnya bisa maklum dan paham dengan kondisi mental Ishtar.

Namun, lambat laun Jeff akhirnya muak tatkala Ishtar terus-terusan mengeluhkan kesehatan mentalnya dan seringnya Ishtar bertanya mengenai hubungan mereka ke jenjang lebih serius. Hal itu membuat Jeff muak dan berakhir meninggalkan Ishtar. 

Trauma yang diakibatkan oleh Riri saja belum sembuh, apalagi ditambah dengan dicampakkannya ia oleh Jeff. Hal itu semakin membuat ia bersedih dan frekuensi jadwal ke psikolog, psikiater, serta hipnoterapisnya semakin sering. 

Baca Juga: Aktivis Ajak Publik Empati Pada Korban, Melki Sedek Terbukti Lakukan Kekerasan Seksual

Kepala Ishtar seringkali berisik, mual luar biasa, dan tentu saja kantung mata semakin menghitam. Sudah terhitung puluhan hingga ratusan kali ia terapi kepada para medis yang ia percayai.

Ada kalanya ia sempatkan waktu untuk mencari pasangan lain melalui aplikasi biro jodoh. Bertemulah ia bersama pria bernama Mike. Mike menyukai Ishtar dan begitupun sebaliknya. 

Akan tetapi, dimulainya kisah cinta baru dari Ishtar, memiliki interupsi-interupsi yang rumit. Mengenai masalah sebenarnya Ishtar belum berdamai dengan masa lalu, belum berdamai dengan diri sendiri, pun ia masih memiliki rasa sayang kepada Jeff dalam sepersekian persen. Meskipun, Ishtar dan Mike sudah bertunangan.

Ishtar tetap menjadi Ishtar, ia masih belum sembuh dan terus berjuang mengenai trauma di masa lalunya. Satu hal yang ia takutkan dan mempertimbangkan hubungannya dengan Mike adalah ia masih belum percaya kepada setiap laki-laki yang ia kencani. 

Ia masih yakin bahwa mereka yang ia kencani memiliki kesempatan untuk mengencani perempuan lain, dibanding Ishtar. Terlebih dari itu, ia juga takut untuk ditinggalkan oleh prianya sebagaimana yang Jeff lakukan pada saat itu. 

Sebetulnya, Ishtar memiliki banyak kesempatan untuk melanjutkan hidup lebih baik karena terdapat pria-pria di sekelilingnya yang siap untuk hidup bersama Ishtar. Namun, akibat trauma masa lalu yang digoreskan oleh Riri membuat pikiran Ishtar kacau balau dan perlu memilah skala prioritas di hidupnya. Perasaan bersalah, takut, dan, tidak percaya diri untuk membangun suatu hubungan, Ishtar ungkap dalam novel ini. 

Baca Juga: Film ‘Women from Rote Island’, Panjangnya Perjuangan Perempuan Adat Lepas Dari Kekerasan Seksual

Sebetulnya, kejadian Riri dan Ishtar sudah tertinggal jauh di belakang, tetapi amigdala di sudut otak Ishtar masih menyimpan remah-remah memori pada saat itu.

Bagaimana kehidupan Ishtar selanjutnya? Apakah dia bisa memulihkan dirinya? Atau Ia masih terus harus berjuang dengan trauma dan kenangannya di masa lalu?  

Novel yang apik untuk dibaca sehari-hari, tetap dalam catatan serius, pembaca sangat diharuskan dalam kondisi mental yang stabil. Banyak pembaca yang tidak mengindahkan itu dan justru men-trigger mereka karena dialog-dialog yang di dalam novel ini cukup ekstrem. 

“Tidak hanya mental, bahkan beberapa pembaca di buku pertama timbul reaksi fisik seperti pusing, mual, muntah dan bahkan insomnia. Meskipun saya sudah memperingatkan untuk membaca buku ini dalam kondisi mental yang stabil, beberapa pembaca tidak ambil pusing dan kebanyakan berkomentar buku ini GILA,” ucap Mpokgaga dalam siaran persnya.

Novel yang memiliki 252 halaman ini cukup apik, tetapi tidak ada imbauan batasan umur untuk membacanya. Sebab, dalam kisah cerita novel ini banyak diiringi adegan-adegan dewasa, dialog “dewasa”, pembahasan yang biasa orang-orang dewasa bahas. 

Jika novel ini dibaca oleh anak di bawah umur mungkin pesan tersirat yang ingin disampaikan tidak tersampaikan. Sebab, banyak hal-hal tersirat yang cukup atau hanya disadari oleh orang-orang yang sudah “dewasa”. 

Pun, karena pembahasannya cukup berat dan banyak melibatkan trigger, tidak adanya imbauan untuk menyiapkan diri dalam menyiapkan mental yang lebih stabil. Selamat membaca!

Aqeela Ara

Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang kini magang sebagai reporter di Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!