Menggugat pemiskinan perempuan

‘Menolak Tumbang’, Menggugat Pemiskinan dan Sistem yang Menindas Perempuan

Bukan 'sekadar' kemiskinan, perempuan kerap dibelenggu dalam pemiskinan sistemik. Saatnya menggugat penindasan terhadap perempuan.

Kemiskinan lazim diketahui sebagai kondisi yang berkaitan dengan ekonomi sebagai faktor tunggal. Tapi sesungguhnya ada kondisi miskin yang diciptakan oleh sistem untuk secara sengaja menindas masyarakat, utamanya perempuan. Hal ini diulas dalam buku ‘Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan’ karya Lies Marcoes Natsir.

Dalam buku itu, Lies Marcoes Natsir mengajak pembaca menyelami realitas perempuan yang terperangkap dalam jerat pemiskinan. Pemiskinan adalah sebuah proses sosial dan politik yang terus mereproduksi ketidakberdayaan. Dengan cermat, Natsir menunjukkan bahwa pemiskinan bukan sekadar fenomena yang dapat diukur melalui statistik dan angka.

Sebaliknya, pemiskinan adalah perjalanan panjang yang berakar pada keputusan-keputusan politik. Hal ini kemudian membentuk kehidupan perempuan. Mulai dari kebijakan ekonomi yang abai terhadap kesetaraan dan pembangunan yang mengesampingkan kebutuhan perempuan. Hingga pengelolaan sumber daya yang timpang, semua menjadi lahan subur bagi ketidakadilan yang terus berulang. Dengan demikian, pemiskinan perempuan tidak hanya berkaitan dengan kemiskinan material. Tetapi juga mencerminkan mekanisme kekuasaan yang mengekang tubuh dan kehidupan mereka.

Alih Kepemilikan Tanah dan Hilangnya Kuasa Perempuan

Salah satu bentuk nyata pemiskinan perempuan tampak dalam alih kepemilikan tanah. Bukan hanya merampas akses mereka terhadap sumber daya alam, hal itu juga menghapus peran mereka dalam sistem ekonomi dan sosial. Fenomena ini tergambar jelas dalam bagian ‘Miskin di Lumbung Sendiri’. Men Mo, seorang perempuan Bali berusia 70-an tahun, mengenang bom Bali 2005 yang meninggalkan jejak mendalam dalam ingatannya.

Men Mo, yang buta huruf dan berasal dari Banjar Pengubengan, memiliki tubuh mungil dan kulit legam. Ia hidup bersama putranya, Monastra. Perubahan pesat yang melanda Kuta bukan hanya menggeser sektor pertanian. Tetapi juga mempercepat praktik gadai tanah—sebuah proses yang membuat banyak petani kehilangan lahan secara permanen. Tragisnya, hampir tidak ada pemilik sawah yang mampu menebus kembali tanah mereka setelah berpindah tangan.

Baca Juga: Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin

Fenomena ini terjadi di berbagai tempat, tetapi Bali menawarkan contoh paling mencolok. Pertumbuhan industri pariwisata yang begitu pesat memaksa daerah ini memilih: mempertahankan sektor pertanian atau terus memperluas ekspansi wisata. Sayangnya, perluasan pariwisata kerap mengorbankan lahan pertanian. Bersama itu pula, perempuan tergeser dari peran mereka dalam mengolah tanah.

Namun, tanah bukan sekadar aset ekonomi. Ia adalah ruang hidup yang mengikat erat penghidupan, pengetahuan, adat, budaya, serta nilai-nilai kekerabatan. Termasuk yang berkaitan dengan gender dan agama. Perempuan memiliki peran fundamental dalam mempertahankan praktik pertanian. Tetapi ketika akses mereka terhadap tanah dirampas, mereka kehilangan kendali atas salah satu pilar utama dalam kehidupan. Kehilangan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan identitas dan warisan budaya mereka.

Fundamentalisme, Kemiskinan, dan Pembatasan Perempuan

Selain kehilangan akses terhadap tanah, ideologi konservatif juga berperan dalam membatasi ruang gerak perempuan di ranah publik. Dalam ‘Fanatisme Agama & Pemiskinan Perempuan’, Lies Marcoes menunjukkan globalisasi ekonomi yang memperdalam ketimpangan sosial. Pada gilirannya, ini memicu reaksi balik dari kelompok fundamentalis. Mereka melihat globalisasi sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional. Kemudian, mereka meresponsnya dengan memperketat kontrol atas perempuan. Baik melalui larangan eksplisit, seperti pembatasan perempuan bekerja atau menduduki posisi kepemimpinan; maupun secara simbolik, dengan mengatur ekspresi diri mereka. Termasuk dalam berpakaian.

Fenomena ini tergambar jelas dalam kisah Fira, seorang perempuan berusia 55 tahun. Fira lahir dari keluarga yang menekankan pentingnya pendidikan. Ia berhasil meraih gelar sarjana farmasi dan membangun karier sebagai apoteker di Jakarta sebelum akhirnya pindah ke Bandung. Hidupnya tampak mapan dan penuh harapan. Hingga pada usia 27 tahun, keluarganya mulai cemas akan status lajangnya dan segera mencarikan jodoh baginya. Pertemuannya dengan seorang lelaki yang dianggap religius dan ‘tepat’ menjadi titik balik dalam hidupnya.

Setelah menikah, Fira terpaksa meninggalkan pekerjaannya atas desakan suaminya. Ia juga dituntut mengenakan atribut keagamaan dan secara bertahap membatasi aktivitasnya di luar rumah. Berusaha menjadi istri ideal sesuai dengan ajaran suaminya, ia semakin tenggelam dalam peran domestik. Namun, seiring waktu, beban yang ia tanggung kian berat. Suaminya lebih banyak menghabiskan waktu berdakwah dan berpindah ke daerah konflik. Sementara Fira harus mengurus rumah tangga sepenuhnya tanpa bantuan. Dari seorang perempuan berpendidikan tinggi dan mandiri, ia berubah menjadi sosok yang dikurung dalam keterbatasan peran domestik.

Baca Juga: Disertasi Rieke Diah Pitaloka: Perempuan Desa Makin Marjinal Akibat Tak Akuratnya Data

Penyingkiran perempuan dari ruang publik, seperti yang dialami Fira, bukan sekadar pembatasan kebebasan. Tetapi juga memperdalam kemiskinan struktural. Ketika akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi dikekang, mereka semakin terperosok dalam ketergantungan. Situasi ini diperparah oleh kebijakan diskriminatif. Termasuk berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang membatasi hak-hak perempuan di banyak wilayah.

Di Aceh Timur, misalnya. Pemerintah melarang anak perempuan menari dengan dalih menjaga moralitas agar mereka tidak ‘terlalu bebas’. Sementara itu, di Aceh Utara, Bupati Muhammad Thaib melarang perempuan dewasa menari dengan alasan menghindari godaan bagi laki-laki. Pembatasan ini semakin menguat ketika dua camat perempuan dipindahkan dari jabatannya akibat tekanan yang menganggap perempuan tidak pantas menjadi pemimpin. Dengan berlindung di balik norma agama dan moral publik, kebijakan semacam ini terus mempersempit ruang perempuan. Juga membatasi peran mereka dan menempatkan mereka dalam posisi subordinat yang dilegitimasi oleh sistem hukum dan sosial yang diskriminatif.

Kemiskinan Perempuan yang Tersembunyi dalam Statistik

Pembatasan terhadap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari ekspresi budaya hingga kepemimpinan, tidak hanya mencerminkan diskriminasi sosial. Tetapi juga memperdalam ketidaksetaraan ekonomi. Ketika perempuan kehilangan akses terhadap ruang publik dan peluang kerja yang setara, mereka semakin rentan terhadap kemiskinan. Namun, kerentanan ini sering kali tidak tercermin dalam data statistik. Sebab pendekatan pengukuran masih berpusat pada rumah tangga sebagai satuan analisis. Padahal, dalam satu rumah tangga bisa jadi terdapat beberapa keluarga dengan kondisi ekonomi yang berbeda.

Untuk mengatasi keterbatasan ini, PEKKA sejak 2012 mengembangkan metode riset yang lebih inklusif dalam mengidentifikasi perempuan kepala keluarga. Hasil riset tersebut mengungkapkan kenyataan yang mencengangkan: lebih dari setengah keluarga yang dikategorikan miskin, dipimpin oleh perempuan. Bahkan, hanya sekitar sepertiga dari para keluarga ini yang termasuk dalam 10% keluarga termiskin di antara seluruh sampel yang disurvei. Fakta ini menunjukkan bahwa perempuan kepala keluarga lebih rentan mengalami kemiskinan ekstrem. Ini mencerminkan hambatan struktural yang lebih besar dalam mengakses kesejahteraan ekonomi dibandingkan dengan keluarga yang dipimpin oleh laki-laki.

Dengan data yang dikumpulkan secara mandiri, PEKKA berhasil memperkuat definisi kepala rumah tangga secara lebih inklusif dan mendalam. Pertama, mereka mengedukasi masyarakat mengenai kenyataan bahwa banyak perempuan yang sebenarnya berperan sebagai kepala keluarga. Kedua, mereka menekankan bahwa status perempuan sebagai kepala keluarga seharusnya dikaitkan dengan peran sosial dan ekonominya, bukan semata-mata status pernikahan. Ketiga, mereka mengusulkan agar definisi ‘rumah tangga’ dan ‘keluarga’ lebih mencerminkan fungsi sosialnya. Bukan hanya mengikuti norma-norma sosial yang ada.

Baca Juga: Belajar dari Vandana Shiva: Wadon Wadas Dimiskinkan oleh Pembangunan, Mau sampai Kapan?

Perempuan kepala keluarga hadir dalam berbagai bentuk dengan latar belakang yang beragam. Ada yang menjadi janda akibat kematian suami, ada yang bercerai. Serta ada pula yang suaminya merantau atau tidak menetap di rumah. Tidak jarang, perempuan juga menjadi tulang punggung keluarga meski belum menikah. Misalnya dengan merawat anak-anak atau mengurus keluarga tanpa dukungan pasangan yang tidak bekerja atau mengalami sakit. Bahkan, perempuan dalam perkawinan poligami yang hanya memperoleh sedikit nafkah dari suami juga tercatat dalam riset PEKKA.

Mendobrak Ketidakadilan dan Membangun Kesadaran Kolektif

Terlepas dari cara pengukuran yang dilakukan, kenyataan tetap menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan terhadap kemiskinan. Ini akibat stereotipe, peran gender, dan kebijakan yang diskriminatif. Meskipun kesenjangan kesejahteraan antara laki-laki dan perempuan perlahan menyempit, perbaikan ini tidak serta-merta mengubah kondisi struktural yang memarginalkan perempuan. Namun, dengan tersedianya data yang lebih akurat, upaya identifikasi dan penanganan kemiskinan dapat dilakukan secara lebih tepat. Tanpa mengabaikan realitas perempuan kepala keluarga yang selama ini tersembunyi dari pandangan masyarakat.

Buku ‘Menolak Tumbang: Narasi Perempuan Melawan Pemiskinan’ menyajikan gambaran mendalam tentang perempuan yang terperangkap dalam lingkaran pemiskinan. Lingkaran ini dibentuk oleh kebijakan sosial, ekonomi, dan politik. Dengan menelaah pengalaman perempuan yang terpinggirkan, Lies Marcoes menantang kita untuk memahami bahwa pemiskinan bukan sekadar akibat faktor ekonomi. Melainkan konsekuensi dari keputusan politik yang mengabaikan hak dan kesejahteraan perempuan.

Tanpa kesadaran kolektif terhadap dampak ketidakadilan ini, perjuangan perempuan akan terus berlangsung dalam diam. Buku ini mengingatkan bahwa kemiskinan bukanlah sekadar nasib, melainkan konstruksi sosial yang dapat dan harus diubah. Kini, lebih dari sebelumnya, penting bagi kita untuk mendobrak kesenyapan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Agar perempuan dapat keluar dari belenggu ketidaksetaraan dan membangun kehidupan yang lebih adil.

Editor: Salsabila Putri Pertiwi

Sekar Jatiningrum

Pecinta karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan, penggemar cinema of contemplation, dan penikmat rutinitas monoton yang tampak membosankan, namun sejatinya membebaskan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!