Kampung Nelayan, Cilincing, Jakarta Utara, termasuk salah satu kawasan miskin kota di Jakarta.

Ceritaku Datangi Kampung-Kampung di Jakarta: Pembangunan Maskulin Bikin Perempuan Jadi Miskin

Di tengah hiruk-pikuk pembangunan tanpa henti di Jakarta, nasib perempuan miskin kota di Jakarta sering terlupakan. Reporter Konde.co, Salsabila mendatangi kampung-kampung di Jakarta dan menceritakan pengalamannya di sini.

Status sebagai ibu kota tidak lantas menghilangkan fakta bahwa kemiskinan tidak lagi terjadi di Jakarta. 

Bukan bangunan mewah atau mall seperti yang biasa ditampilkan saat bicara tentang Jakarta. Nyatanya, masih banyak masyarakat Jakarta yang menjalani kehidupan seadanya. 

Kali ini aku mendatangi kampung-kampung nelayan dan kampung padat penduduk hingga tempat tinggal di kolong flyover di Jakarta

Bulan Agustus 2023 lalu, aku mendatangi salah satu kampung padat penduduk di Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. Di sana, waktu itu warga sedang menggelar pawai dalam rangka HUT RI ke-78.

Pawai warga RW 4 Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur dalam rangka HUT RI ke-78, Minggu (20/8/2023). Wilayah ini termasuk salah satu kawasan miskin kota di Jakarta. (dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)
Pawai warga RW 4 Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur dalam rangka HUT RI ke-78, Minggu (20/8/2023). (dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Jalan Dr. KRT Radjiman Widyodiningrat di Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur hiruk-pikuk pada Minggu pagi (20/8/2023). Bukan sembarang ramai; ada pawai warga dari berbagai RW di sana yang sedang berlangsung. Suasana santai namun meriah.

“Bapak dan ibu sekalian, pandemi sudah berakhir!” seru seorang bapak yang memandu pawai RW 4 melalui pengeras suara. Warga pun bersorak menyambut pernyataan tersebut.

Aku menemui Masyuti, salah satu guru dan warga RT 9 / RW 4 Rawa Terate sekaligus ketua Forum Masyarakat Kota Jakarta (FMKJ), RW-nya terdiri dari 16 RT. Satu RT sendiri mencakup 150-200 kepala keluarga (KK).

“Segini kita paling gede, di sini itu. Lebih nggak karuan,” jelas Tuti.

Baca Juga: ‘Mereka Menginterogasi dan Membotaki Kepalaku’ Hukum Tak Adil bagi Warga Miskin Kota
Tuti, ketua FMKJ dan warga RW 4 Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. Wilayah ini termasuk salah satu kawasan miskin kota di Jakarta. (dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)
Tuti, ketua FMKJ dan warga RW 4 Rawa Terate, Cakung, Jakarta Timur. (dok. Konde.co / Salsabila Putri Pertiwi)

Rata-rata perempuan di RW 4 saat ini bekerja sebagai ibu rumah tangga, sebut Tuti. Beberapa juga menjalankan usaha secara online

Pandemi COVID-19 memang jadi masa ‘pagebluk’ bagi masyarakat Indonesia. Khususnya kelompok miskin kota. Mereka dirumahkan, penghasilan berhenti, sementara kebutuhan rumah tangga terus bermunculan.

Tuti bercerita tentang kondisi warga di pemukimannya saat pandemi berlangsung. Baginya, situasi pada saat itu menyedihkan. Warga yang tinggal di sana termasuk kelompok menengah ke bawah, sehingga mereka sangat terdampak oleh pandemi.

“Susah banget waktu COVID. Pailit, kalau menurut saya. Agak sedikit mencekam,” Tuti menuturkan. “Karena banyak yang dirumahkan, banyak yang tidak ada penghasilan, sedangkan sekolah tetap harus berjalan. Menyedihkan banget.”

“Kontrakan-kontrakan pada kosong. Suami nggak kerja, ya pulang (ke kampung halaman).”

Suami Masyuti bekerja sebagai buruh pabrik tak jauh dari rumahnya. Kawasan Rawa Terate memang dikenal sebagai kawasan buruh. Banyak pabrik berdiri di sini, seperti pabrik baja, pabrik televisi, motor, belerang dan besi. Para buruh tinggal di sekitar pabrik.

Tuti sendiri bersyukur, suaminya tidak dirumahkan dari pabrik tempatnya bekerja, dan mereka bisa bertahan. Banyak kawan dari lembaga juga memberikan bantuan. Selama pandemi, Tuti sibuk membuat masker untuk dijual kembali bersama para perempuan di pemukiman tersebut. Tujuannya agar ibu-ibu di sana tetap mendapatkan penghasilan di tengah masa sulit.

Kini, masalah berkepanjangan lainnya ramai menghantui Jakarta: polusi. Tuti menyebut, warga sudah mulai berspekulasi kalau mereka akan kembali dirumahkan akibat polusi udara yang terus memburuk.

Banyak ibu rumah tangga cemas karena wacana pabrik tempat suami mereka bekerja akan diliburkan lagi akibat isu polusi. Alhasil, penghasilan kembali terancam.

“Kok, dengar-dengar kabar, orang-orang di pabrik bilang begini. ‘Ini polusi kalau masih para, diliburkan lagi pabrik-pabrik itu’. Benar nggak, ya?”

Aku Pergi ke Kampung Nelayan

Pesisir utara Jakarta, adalah salah satu kawasan termiskin di Jakarta. Kebanyakan warganya berprofesi sebagai nelayan dan pengupas kerang. 

Salah satunya adalah para nelayan di Cilincing, Jakarta Utara. Mereka tiap hari berlayar untuk mengumpulkan ikan, udang, rajungan, kepiting, kerang hijau, dan sebagainya. Untuk mencari nafkah, mereka bisa berlayar jauh hingga ke wilayah Cirebon dan Banten. 

Banyak perempuan nelayan di sana bekerja mengupas dan membersihkan kerang hasil tangkapan nelayan. Pusat pengupasan kerang sendiri berada tak jauh dari area pesisir. Dari sana, hasil tangkapan laut didistribusikan ke daerah lain, seperti Muara Baru dan Muara Angke.

“(Dibayar) sekitar 50-60 ribu ya, kurang lebih, kalau (nelayan) lagi banyak bawa kerang,” ujar seorang ibu yang bekerja sebagai pengupas kerang, Sabtu (5/8/2023).

Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati, kondisi kemiskinan bukan hanya tentang kondisi pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal itu juga menyangkut persoalan sosial lainnya seperti kebersihan dan higienitas. 

“Memang situasi kebersihan, higienis, dan tata kotanya sangat jauh dari layak. Sehingga kita melihat bagaimana kondisi dan masih banyaknya titik-titik tempat tinggal yang mungkin berada di bawah flyover, atau di bawah jembatan penyeberangan,” ungkap Mike kepada Konde.co.

Faktanya, masih banyak masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah rawan bencana musiman, seperti banjir rob dan lain-lain. 

Meski pemerintah daerah mengklaim sudah menerapkan berbagai program, upaya tersebut kerap mengabaikan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan warga dan berperspektif gender.

“Selalu kan, alasan dari pemerintah daerah, ini adalah mentalitas dari warga masyarakat yang tidak mau ditertibkan. Tetapi upayanya itu kita tidak melihat, bagaimana pendekatannya? Bagaimana misalnya penyamaan visi bahwa hidup layak, sehat, higienis itu harus dibangun?” kata Mike.

Baca Juga: Perempuan Marjinal Kota: Kemiskinan Seperti Nyawa yang Tak Pernah Lepas dari Kehidupan Mereka

Ia pun menyebut, perempuan kerap tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan atau pembangunan kota yang sangat bermakna. 

“Kalau pun perempuan ada, itu hanya dilihat dari segi bagaimana secara jenis kelamin perempuan hadir. Tetapi tidak dipastikan kehadirannya itu memberikan kontribusi.”

Kesenjangan ekonomi juga dapat terlihat jelas di sejumlah wilayah di Jakarta. Mike mencontohkan kesenjangan di utara Jakarta. Di samping pembangunan massif pulau-pulau reklamasi megah, ada kampung-kampung nelayan yang berkutat dalam kemiskinan dan masalah sosial lainnya.

“Itu bahkan ada orang yang tinggal di lokasi-lokasi pengupasan kulit kerang. Mungkin tinggal di tempat-tempat yang sangat jauh dari kata ‘bersih’,” lanjut Mike.

“Dan juga mungkin masih tinggal di pembuangan-pembuangan sampah dari operasional pasar-pasar yang masih ada di wilayah Penjaringan atau Jakarta Utara. Sementara di lepas pandang situ, kita melihat komplek Pantai Indah Kapuk yang megah.”

Contoh lainnya adalah di Kepulauan Seribu. Ketika mayoritas wilayah di provinsi DKI Jakarta terang-benderang, masyarakat di kepulauan tersebut masih bergelut dengan krisis listrik. Kemiskinan di sana begitu parah hingga mereka masih menggunakan genset untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan listrik sehari-hari.

Baca Juga: Edisi Perempuan NTT: Potret Buram Kemiskinan, Para Perempuan Kehilangan Anaknya

Memang, pemerintah menerapkan sejumlah program untuk berupaya mengatasi persoalan wilayah seperti kampung kumuh di Jakarta. Misalnya, merelokasi warga ke rumah susun, seperti yang terjadi di Kampung Akuarium.

Selain itu, pemerintah juga pernah menjalankan program kampung deret dan merevitalisasi bangunan di beberapa kampung kumuh di Jakarta. Salah satunya di Cilincing. Warga menyebut, rumah-rumah di Kampung Nelayan dulunya terdiri dari bangunan semipermanen, sebelum direvitalisasi dan menjadi kampung deret.

Namun perbaikan infrastruktur juga berkaitan dengan penggusuran dan masalah-masalah sosial lainnya. Pembangunan yang selama ini berlangsung juga tidak serta-merta menyelesaikan kondisi masyarakat miskin secara keseluruhan. Yang utama, kelompok yang paling terdampak dari situasi ini adalah perempuan, marjinal, dan kelompok rentan lainnya. 

“Mungkin juga mereka yang terus-menerus mengalami penggusuran. Karena mereka tidak memiliki sertifikat yang itu merupakan janji pemerintah daerah DKI. Bahwa sebetulnya mereka memiliki hak tinggal pada wilayah-wilayah tertentu,” kata Mike.

“Kita juga perlu cek lagi, rusunawa-rusunawa itu apakah sudah memberikan izin tinggal permanen bagi warga? Atau hanya pinjaman yang pada tenggat tertentu itu harus dikembalikan lagi, atau bagaimana?”

Perempuan Jadi Kelompok Paling Terdampak

Bukan cuma dihadapkan pada kemiskinan. Perempuan serta kelompok marjinal dan kelompok rentan lainnya juga lebih rawan mengalami diskriminasi berlapis.

“Mereka tidak bisa mengakses, misalnya, jamkesmas atau BPJS karena ternyata mereka tidak punya KTP,” ujar Mike. “Atau anak-anak yang tidak bisa sekolah karena tidak bisa mengakses akte kelahiran, dan lain-lain.”

Kondisi tersebut sudah berlangsung bahkan sebelum pandemi COVID-19 melanda. Tentunya saat pandemi terjadi di Indonesia dan dunia, kondisi kemiskinan semakin memprihatinkan. Misalnya, para nelayan di pesisir Jakarta jadi tidak bisa lepas melaut dan penjualan hasil tangkapan mereka menurun. Kelompok masyarakat miskin kota juga lebih rentan terpapar penyakit.

Selain masalah kesehatan, persoalan lain yang timbul saat pandemi adalah gelombang massif pemutusan hubungan kerja (PHK). Hal ini sangat mempengaruhi masyarakat miskin kota, khususnya perempuan.

Ketika dirumahkan dari kerja sektor publik, perempuan kehilangan mata pencaharian sekaligus harus tetap menjaga kebutuhan rumah tangga terpenuhi di tengah situasi sulit. Apa lagi, kondisi ekonomi perempuan miskin kota sehari-hari saja pada dasarnya sudah minim. Kondisi tersebut juga membuat perempuan kian rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Dan tidak ada juga jaminan bagi perempuan yang dirumahkan, di-PHK tidak jelas. Tetapi tidak ada ketentuan yang jelas bahwa mereka akan dipekerjakan kembali,” kata Mike. “Ini membuat potret kemiskinan perempuan semakin parah.”

Pandemi memang sudah dinyatakan berakhir saat ini. Tapi tetap saja, tidak ada perubahan berarti bagi masyarakat miskin kota, khususnya perempuan. Seringkali perempuan miskin kota bekerja tanpa kontrak yang kuat secara hukum. Sehingga ketika situasi seperti pandemi terjadi dan mereka ‘dirumahkan’ atau di-PHK, mereka tak bisa menuntut hak-hak mereka dari pemberi kerja.

Menanti Pembangunan Kota yang Lebih Berperspektif

Menurut Mike, KPI melihat bahwa pembangunan di kota Jakarta sangat kuat di area infrastruktur. Pemandangan pembangunan jalan protokol serta halte-halte transportasi publik yang mewah dan diklaim accessible hadir di mana-mana. Tapi di sisi lain, masih banyak persoalan fasilitas umum yang belum inklusif. Seperti jembatan penyeberangan yang berbahaya bagi anak-anak, disabilitas, dan lansia. 

“Jadi kita melihat pembangunan di kota Jakarta masih sangat fisik, iya, tetapi itu diperuntukkan untuk melihat kementerengan kota Jakarta sebagai metropolitan. Tidak melihat bagaimana akses-akses, atau misalnya, drainase-drainase kebersihan di wilayah-wilayah slum di Jakarta Utara,” ujar Mike.

“Misalnya di daerah Penjaringan, yang setiap hari udaranya sudah tidak layak hirup karena udaranya berbau sampah, berbau busuk. Nah, itu bagaimana caranya juga melihat pembangunan kota?”

Perempuan dan kelompok rentan mesti lebih dilibatkan dalam pembangunan kota. Harus ada ruang bagi perempuan, khususnya perempuan miskin kota, untuk menyampaikan aspirasi kebutuhannya. Pembangunan kota yang inklusif adalah kuncinya. Jika tidak, ungkap Mike, pembangunan di Jakarta akan terus berorientasi maskulin.

“Semua berorientasi yang besar, fisik besar; pembangunan jalur-jalur, pembangunan gedung. Tetapi ketika itu harus ditanyakan, apakah itu semua dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat, tidak terkecuali latar belakangnya apa?” katanya. 

“Selama cara berpikirnya masih sangat netral gender. Kelompok perempuan, marjinal, disabilitas itu akan menjadi kelompok-kelompok yang semakin terpuruk dan rentan mengalami kemiskinan yang lebih buruk lagi.”

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!