‘Dark Nuns’: Melihat Praktik Eksorsisme dan Kuatnya Patriarki dalam Gereja Katolik

Dark Nuns membawa saya pada pertanyaan lama yang tersimpan dalam benak tentang pemimpin gereja Katolik. Dari diskusi dengan seorang pastor dan suster, saya melihat masih kuatnya pandangan patriarkis dalam gereja Katolik.

Saya seorang perempuan yang memeluk kepercayaan Katolik. Tumbuh besar dari keluarga dengan latar belakang beragam, saya mulai mengenal ajaran Katolik di bangku sekolah dasar hingga menengah atas. Ini lantaran saya belajar di sekolah yang dikelola oleh para suster. Pada saat di tingkat akhir sekolah menengah pertama, saya memantapkan hati memeluk agama Katolik.

Sejak kecil saya selalu bertanya dalam hati, “Kenapa ya, yang pimpin misa dan jadi pemimpin Gereja harus pastor? Kok nggak boleh suster?” Pertanyaan dalam benak saya akhirnya terjawab setelah menyaksikan film Dark Nuns dan diskusi dengan seorang pastor dan suster yang saya kenal.

Dark Nuns, karya Hyeok-jae Kwon merupakan spin off dari film The Priests yang tayang pada 2015. Film dengan durasi 1 jam 54 menit ini diproduksi oleh Zip Cinema dan dirilis 24 Januari 2025 di Korea Selatan. Hyeok-jae Kwon menggandeng sejumlah aktor-aktris diantaranya Song Hye-kyo (Suster Junia), Jeon Yeon-been (Suster Michaela), Moon Woo-jin (Hee-joon), Lee Jin-wook (Pastor Paolo), Kim Gook-hee (Hyo-won) hingga Shin Jae-hwi (Ae-dong).

Film Dark Nuns menceritakan dua orang Suster (Junia dan Michaela) dengan kemampuan supranatural membantu seorang remaja laki-laki (Hee-joon) melawan kuasa gelap dalam dirinya. Kedua suster berupaya melakukan segala cara walaupun bertentangan dengan ajaran Katolik hingga dijuluki “Dark Nuns” atau suster sesat.

Karakter suster Junia yang keras dan pemberani saat mengupayakan berbagai cara melawan kuasa gelap dalam tubuh Hee-joon menjadi daya tarik tersendiri. Sosoknya seakan menjadi antitesis dari pandangan umum tentang seorang suster. Langkah yang ia ambil bisa dibilang mendobrak ajaran dan tradisi Gereja Katolik yang selama ini dikenal hierarkis dan patriarkis.

Alasan Pemimpin Gereja Katolik Laki-Laki

Suster Junia yakin kalau Hee-joon dirasuki salah satu dari 12 manifestasi kekuatan jahat. Meski begitu, ia tak bisa serta-merta melakukan eksorsisme, walaupun punya kemampuan untuk mengusir setan.

Lewat sejumlah adegan penonton diajak melihat kompleksnya birokrasi gereja Katolik terkait tata cata dan aturan yang tak bisa seenaknya dibatalkan. Belum lagi suster Junia juga harus menghadapi para petinggi gereja yang semuanya laki-laki dengan pemikiran yang cenderung kolot.

Adegan-adegan ini seperti menegaskan pertanyaan-pertanyaan yang lama terpendam dalam benak saya soal kenapa pemimpin gereja Katolik harus laki-laki? Saya lalu bertanya pada pastor S dan suster M tentang hal ini.

Pastor S menjelaskan alasan pemimpin Gereja Katolik dipegang oleh laki-laki didasarkan pada konsep Inkarnasi dalam ajaran Gereja Katolik (dogma). ‘Allah menjadi daging dan menjadi manusia sebagai laki-laki tanpa ada sangkalan’.

Selain dogma, Pastor S membahas mengenai peristiwa Yesus memanggil 12 rasulnya yang semua laki-laki. Mereka inilah yang kemudian menjadi pemimpin Gereja Katolik. Itu sebabnya hanya laki-laki yang bisa mejadi pemimpin Gereja Katolik melalui sakramen Imamat.

Dalam film, Pastor Paolo sebagai pimpinan Gereja setempat wajib mengetahui aktivitas maupun keputusan para biarawan dan biarawati didikannya. Jika sebaliknya, ia dianggap melakukan kesalahan dan akan mendapat sanksi dari keuskupan setempat. Suster Junia dan Michaela harus tunduk terhadap keputusan pastor Paolo. Mereka kemudian memilih melangkahi pastor Paolo dan membawa Hee-joon kepada rekan ahli spiritualnya (Hyo-won dan Ae-dong).

Menurut Pastor S, suster Junia dan Michaela wajib taat pada keputusan Pastor Paolo selaku pastor pimpinan setempat.

“Ketaatan mengajarkan rendah hati (dalam) ajaran Yesus Kristus. Yesus mengajarkan ketaatan kepada Bapa dan seluruh biarawan-biarawati maupun hierarki seperti uskup, imam, dan diakon,” jelas Pastor S.

Singkatnya, langkah yang diambil suster Junia dan Michaela tidak rendah hati (gegabah). Ini karena mereka tidak mempertimbangkan berbagai hal sehingga memperkeruh suasana (snowball effects).

Pengusiran Setan dan Pandangan Patriarkis Gereja Katolik

Saya lalu bertanya pada suster M terkait eksorsisme dalam gereja Katolik. Siapa yang bisa melakukan eksorsisme, apakah seorang suster bisa melakukannya? Kalau tidak apakah ada kaitannya dengan nilai patriarki?

Praktik eksorsisme menurut suster M bisa dilakukan oleh seorang suster dalam situasi khusus.

“(Eksorsisme) bisa dengan suster kalau kondisinya terdesak dan atas persetujuan pastor setempat karena mereka (pastor) punya tahbisan (sakramen) Imamat. Keunikan Katolik ada pada tahbisan. Biarawati itu berkaul, cuma nggak ada tahbisan imamat oleh Gereja. Contohnya, di beberapa negara masih pegang patriarki seperti di Filipina,” paparnya.

Merujuk dari The Jesuit Post, biarawan dan biarawati terikat pada 3 kaul (janji) yang sama yakni kemurnian (chastity), ketaatan (obedience), dan kemiskinan (poverty). Kaul ini bertujuan untuk melepaskan segala jenis kemelekatan duniawi yang dimiliki. Mulai dari harta bernilai hingga aktivitas harian sebelum masuk biara saat terpanggil menjadi murid Yesus.

Suster M juga menyampaikan pandangan yang sejalan dengan pastor S terkait posisi laki-laki yang menduduki jabatan struktural/hierarki gereja.

“Struktur Gereja Katolik memilih pemimpin laki-laki karena Yesus cerminan pemimpin gereja diikuti peristiwa diangkatnya Petrus sebagai pemilik Kerajaan Surga. Bisa dikatakan, tidak ada kaitan dengan patriarki, tetapi pernah terbesit tentang patriarki dalam struktur gereja Katolik. Misalnya, kami (suster) hanya bisa pimpin ibadah saja dan membagikan Hosti saat Ekaristi,” jelasnya.

Soal Petrus yang ditunjuk menjadi pemilik kerajaan surga dan melanjutkan kepemimpinan gereja, bisa mengacu pada Injil Matius 16: 18-19. Yang tertulis, “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia ini akan terlepas di srrga.”

Petikan ayat ini menekankan ditunjuknya Petrus—salah satu murid Yesus, yang adalah laki-laki—sebagai pemilik kunci Kerajaan Surga menjadi parameter pemimpin gereja Katolik.

Baca juga: Misteri Kematian Paus dalam ‘Conclave’, Ada Peran Biarawati Walau Tampil Tipis

Helen Rose Ebaugh dalam artikelnya “Patriarchal Bargains and Latent Avenues of Social Mobility: Nuns in the Roman Catholic Church” menjelaskan upaya tawar-menawar yang dilakukan para suster dalam gereja Katolik.

Ia mengungkapkan asal-muasal patriarki dalam gereja Katolik terjadi sejak pemilihan 12 rasul oleh Yesus, sehingga laki-laki mendapat mandat lebih besar untuk menjalankan gereja ketimbang perempuan (suster). Secara khusus dalam rangkaian perayaan Ekaristi (misa), suster hanya dapat membantu membagikan hosti dan/atau memberikan pelayanan sekolah Minggu. Di luar itu, hanya diakon, frater, pastor hingga Paus yang terlibat penuh dalam perayaan Ekaristi.

Pernyataan suster M tersebut selaras dengan film, bahwa suster Junia dan Michaela hanya memiliki kewenangan sebagai pendamping pastor Paolo. Di akhir film, karakter pemberontak suster Junia berusaha menemui kenalan ahli spiritual dan utusan dari Vatikan. Upaya ini berbuah manis dalam mengusir kuasa gelap di tubuh Hee-joon walaupun nyawanya tak terselamatkan.

Bila berkaca dari film horor-religi Indonesia Kuasa Gelap, tugas suster Indah hanya sebatas mendampingi pastor Thomas dan pastor Rendra saat melakukan ritual eksorsisme. Saya juga bertanya pada pastor S terkait kemungkinan seorang suster menjadi pimpinan gereja Katolik.

“Bisa saja terjadi. Dengan catatan, apabila situasi yang mendesak seperti jumlah pastor terbatas dan peminatnya kurang diikuti persetujuan serta pertimbangan lain dari pusat (Vatikan),” jelasnya.

Baik pastor S maupun suster M mengaku belum pernah mendengar dan/atau melihat ritual eksorsisme dilakukan oleh seorang suster yang tidak memiliki sakramen Imamat. Lewat Dark Nuns dan penjelasan pastor S serta suster M, saya melihat pandangan patriarkis masih dalam gereja. Ini bisa ditemukan dalam ajaran maupun struktur gereja Katolik.

(Editor: Anita Dhewy)

Foto: imdb.com

Divya Sanjay Bhojwani

Seorang anak tunggal perempuan tertarik dengan isu gender walaupun tidak menjadikan sebagai konsentrasi bidang ketika kuliah dan kerap kali mendengar radio untuk mengisi waktu kosong. Bila tertarik dengan tulis-menulis, bisa coba kontak ke ig @divyasanjayb
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!