Tahun lalu, saya berkesempatan untuk mengalami perayaan Maulid (peringatan hari lahir) Nabi Muhammad SAW 1446 H di Banda Aceh, kampung halaman saya. Di Provinsi Aceh, kenduri Maulid dilaksanakan selama tiga bulan dan sepuluh hari, yaitu sejak 16 September hingga 24 Desember 2024. Tahun ini, perayaan Maulid dimulai sejak 5 September dan akan berakhir pada 13 Desember 2025 mendatang.
Tradisi kenduri Maulid ini sudah ada sejak era Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam salah satu wasiat Sultan Ali Mughayat Syah yang disahkan pada 12 Rabiul Awal 913 H/23 Juli 1507, yakni wasiat ke-17, disebutkan: “Diwajibkan ke atas sekalian rakyat Aceh mengerjakan khanduri Maulid Nabi Muhammad SAW tiga bulan sepuluh hari waktunya supaya dapat menyambung silaturahmi kampung dengan kampung, datang-mendatangi, kunjung-mengunjungi, ganti-berganti makan khanduri.” Peringatan Maulid Nabi SAW selama tiga bulan sepuluh hari tersebut juga merupakan wujud kecintaan pada Rasulullah SAW dan bentuk syiar Islam. Nilai yang terkandung dalam maulid ialah ketaatan kepada Allah SWT dalam arti mengikuti dan mencintai Rasulullah.

Namun, saya memandangnya lain. Mari bergeser sedikit pada sebuah fenomena yang marak di Aceh: kekerasan berbasis gender. Ketika perayaan hari lahir Rasulullah begitu semarak, justru masih banyak sekali kekerasan terhadap perempuan dan anak yang disebabkan oleh ketidakadilan gender di tanah ini. Tindak kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dengan sengaja atau bentuk kekuatan lainnya pada pihak lain yang bisa mengakibatkan cedera, kematian, kerugian psikologis, salah perkembangan, dan/atau deprivasi. Penggunaan kekuatan lain pada tindak kekerasan bisa berupa ancaman hingga beragam perbuatan nyata.
Hakikat diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak dan menjadi rahmat bagi semesta. Di samping itu, di sepanjang fase kenabian, Rasulullah SAW selalu berpesan bahwa kaum perempuan harus diperlakukan dengan baik. Al-Quran sendiri tidak membedakan manusia dari jenis kelaminnya; pandangan Al-Quran sangat egaliter dan tidak diskriminatif. Lihat misalnya QS. Ali-Imran: 159, QS. An-Nahl: 97, QS. Al-Ahzab: 35, QS. Al-Hujurat: 13, QS. Ghafir: 40, QS. At-Taubah: 71, dan QS An-Nisa: 124.
Perayaan kenduri Maulid yang demikian lama tersebut hanya menjadi seremoni tidak bermakna. Sebab justru teladan dari Rasulullah SAW dibantah secara bengis dalam keseharian masyarakat di bumi Serambi Mekkah tersebut. Relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki malah dipertahankan dan dirayakan. Mari melihat lebih dekat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh untuk dapat memahami hal ini.
Mungkin, perempuan harus menjadi setan gentayangan baru bisa mendapatkan perlakuan yang adil?
Perkawinan Anak
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2023 mencatat bahwa angka perkawinan anak di Indonesia mencapai 1,2 juta kejadian. Dari jumlah tersebut, proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum usia 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak. Artinya, sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah di usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki: 1 dari 100 laki-laki berusia 20-24 tahun menikah saat usia anak.
Untuk Provinsi Aceh sendiri, jumlah perkawinan anak mencapai 4.319 kejadian (SUSENAS 2023) dengan sebaran terbanyak di Kota Subulussalam (248 kejadian), Kabupaten Aceh Utara (231 kejadian), Kabupaten Aceh Timur (228 kejadian), Kabupaten Aceh Barat (221 kejadian), dan Kabupaten Gayo Lues (218 kejadian).
Dampak negatif perkawinan anak bertentangan dengan tujuan-tujuan luhur dan baik syariat yang bersifat universa. Yang hendak menjaga dan melindungi agama, tubuh, jiwa, akal dan harta (Maqashid as-Syar’iah). Dalam Islam, terdapat perbedaan persyaratan untuk melakukan perbuatan hukum yang berbeda-beda.
Dalam kaidah fikih (yurisprudensi Islam), diatur dua konsep kecakapan dalam kaitannya dengan perbuatan hukum tertentu. Pertama, al-Ahliyah al-Wujub, yakni kecakapan seorang subjek hukum untuk menerima haknya. Misalnya, dimungkinkannya seseorang yang masih di bawah umur untuk menerima hak warisan. Kedua, al-Ahliyah al-Ada, yakni kecakapan subjek hukum untuk menunaikan kewajiban tertentu. Misalnya, kecakapan seseorang untuk mengelola harta benda. Perkawinan meniscayakan peran dan fungsi yang membutuhkan kecakapan-kecakapan tertentu, maka diperlukan usia yang mencerminkan bobot psikologis dan kematangan mental yang sesuai dengan peran dan fungsi yang akan dijalaninya.
Sementara itu, mengacu pada konsep kedewasaan, di dalam fikih, terdapat tiga syarat seseorang bisa disebut dewasa, yakni:
1. Baligh, kematangan biologis, yang ditandai dengan keluarnya darah haidh bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki
2. Aqil, berakal, mengindikasikan kematangan mental
3. Rusyd, kecakapan memikul tanggung jawab dan bisa mengatur keputusan, seperti keuangan sendiri
Bila salah satu dari syarat ini belum terpenuhi, maka seseorang belum dianggap dewasa.
Selanjutnya, Al-Quran menyebutkan tiga istilah mengenai baligh, yaitu:
1. Balagha al-hulum (QS. An-Nur: 58-59)
2. Balaghu al-nikah (QS. An-Nisa: 6)
3. Balagha as-Syuddah (QS. Al-An’am: 152; QS. Yusuf: 22, QS. Al-Isra: 34, QS. Al-Qashas: 14, dan QS. Al-Ahqaf: 15
Balagha al-hulum tidak secara eksplisit menunjuk kepada batas kedewasaan untuk menikah, melainkan batas kedewasaan untuk memikul tanggung jawab dalam menjalankan ibadah wajib seperti shalat, puasa dan haji. Oleh karenanya, menjadi terbantahkan bahwa persyaratan baligh cukup untuk menjadi dasar bagi perempuan menikah, karena Al-Quran mengaitkan Balaghu al-nikah dengan Rusyd yang mensyaratkan kematangan biologis, pikiran, mental dan kecakapan dalam memikul tanggung jawab sebagai syarat untuk menikah.
Girls Not Brides melaporkan bahwa 16% anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun, dan 2% menikah sebelum berusia 15 tahun. Sedangkan hanya 5% anak laki-laki yang menikah sebelum berusia 18 tahun. Pemerintah mencatat bahwa perkawinan anak lazim terjadi di provinsi-provinsi tertentu. Namun di 2020, 21 dari 34 provinsi memiliki tingkat perkawinan anak yang lebih tinggi dari rata-rata nasional. Di Provinsi Aceh sendiri, dengan menggunakan proyeksi penduduk hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), nilai absolut perkawinan anak adalah 12.600 Angka absolut ini diperoleh dari mengalikan prevalensi perkawinan usia anak dengan proyeksi penduduk hasil SUPAS 2015.
Perjuangan terhadap pencegahan kawin anak telah dimulai sejak 1901, yakni ketika R.A. Kartini menulis “surat protes” tentang anak Bupati Ciamis yang dikawinkan di usia 13 tahun. Di 2015, sejumlah LSM mengajukan judicial review terhadap Pasal 7 (1) dan (2) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan untuk menaikkan batas usia menikah perempuan dari 16 menjadi 18 tahun (lihat Putusan MK No. 30-74/PUU-XII/2014). Baru di Desember 2018, Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi batas usia perkawinan (lihat Putusan MK No. 22/PUU-XV/2017) yang melahirkan UU No. 16/2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sehingga, usia perkawinan dengan persetujuan orang tua bagi anak perempuan sama dengan anak laki-laki, yakni 19 tahun.
Menarik untuk mencermati temuan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) ketika memantau pengaruh UU. No. 16/2019 dalam mengurangi angka perkawinan anak (penelitian kuantitatif terhadap 2.210 responden dari 34 provinsi), “Sebanyak 35,4% responden menolak pengaturan usia menikah oleh negara. Mereka merasa bahwa urusan menikah adalah urusan pribadi yang tidak seharusnya diatur dengan hukum. Beberapa juga berpendapat bahwa peraturan pemerintah justru akan membuat semuanya lebih rumit, dan sudah ada norma agama dan adat yang mengatur hal tersebut. Sementara itu, 62% responden berpendapat bahwa anak laki-laki yang berusia di bawah usia 19 tahun sebaiknya tidak menikah karena mereka ‘belum siap secara finansial’ dan ‘belum mampu memimpin keluarga’. Berkebalikan dari itu, 56,1% responden percaya bahwa anak perempuan di bawah 19 tahun sudah boleh menikah agar ‘terhindar dari zina’ dan ‘supaya ada yang mengurus’ (Oktober 2020)”.
Pendewasaan usia pernikahan dapat mencegah dampak negatif secara biologis maupun sosial, politik dan budaya. Organ reproduksi perempuan akan lebih siap dengan semakin matangnya usia, sehingga mencegah terjadinya komplikasi saat hamil, keguguran, ataupun kematian saat melahirkan. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) mencatat bahwa pada 2012, angka kematian ibu (AKI) sebesar 359 kasus per 100.000 kelahiran. Penyebabnya didominasi oleh usia ibu yang terlalu muda saat persalinan.

Di 2023, angka ini turun menjadi 305 per 100.000 kelahiran, namun masih jauh dari target Rencana Jangka Panjang Pembangunan Nasional 2020-2024 yang menargetkan AKI menjadi 183 per 100.000 kelahiran. Target pemerintah ini pun sesungguhnya merupakan diskon yang cukup fantastis dari target Sustainable Development Goals Tujuan 3 (Good Health and Well-being) untuk menurunkan AKI menjadi kurang dari 70 kematian per 100.000 kelahiran di 2030. Patut pula diingat, bahwa pemerintah Indonesia gagal mencapai target AKI sesuai dengan Millennium Development Goals, yakni 102 kematian per 100.000 kelahiran di 2015 lalu.
Perkawinan anak membawa dampak yang sangat rumit; terdapat lima hambatan nyata bagi keberlangsungan generasi bangsa. Pertama, risiko kegagalan dalam melanjutkan pendidikan. Perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun memiliki kemungkinan empat kali lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan di atas level SMA. Kedua, kemungkinan meningkatnya KDRT dan perceraian. Sebuah penelitian oleh AIPJ (2019) menunjukkan bahwa 24% dari total kasus perceraian melibatkan perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun. Ketiga, adanya peningkatan angka kematian ibu yang telah dijelaskan sebelumnya. Komplikasi yang terjadi selama masa kehamilan dan persalinan merupakan penyebab utama kematian terbesar kedua pada remaja perempuan berusia 15-19 tahun. Keempat, potensi bertambahnya angka kematian bayi (AKB). Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang berusia di bawah 20 tahun memiliki kemungkinan meninggal sebelum berusia 28 hari, dengan risiko 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang dilahirkan oleh ibu berumur 20-30 tahun. Kelima, potensi kerugian ekonomi. UNICEF memperkirakan bahwa perkawinan anak berakibat merugikan Indonesia sebesar 171.689.071 Rupiah pada tahun 2014, yang setara dengan 1,7% dari PDB nasional (Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, 2020).
Dengan terbukanya peluang untuk memilih regulasi yang paling tepat mengenai perkawinan anak, seharusnya prinsip maslahat diterapkan untuk membantu individu dalam menentukan hukum yang mendatangkan kebaikan dan keselamatan bagi anak. Keimanan mengajarkan kita untuk tidak berlaku zalim dan aniaya kepada sesama manusia, terutama mereka yang tidak berdaya seperti anak-anak, anak perempuan atau anak yatim. Sementara itu, perkembangan ilmu kesehatan, pendidikan, dan sosial telah membantu manusia untuk menetapkan kriteria dalam menilai tindakan zalim. Perkawinan anak yang lebih banyak menyebabkan mudharat (kerugian, bahaya, dampak negatif) dan mafsadat (kerusakan) daripada manfaat merupakan sebuah kezaliman/tindakan yang tidak adil.
Manusia memiliki kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuannya dalam memilih kebijakan hukum yang berlandaskan fakta sosial serta perkembangan pengetahuan yang dapat mengevaluasi dampak dari perkawinan anak yang dianggap sebagai tindakan yang tidak adil. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) telah mengeluarkan tiga fatwa dalam kongres pertamanya yang berlangsung di Cirebon, 25-27 April 2017 lalu. Salah satu keputusan yang diambil adalah menegaskan pandangan bahwa hukum yang melarang pernikahan anak merupakan sebuah keharusan (Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI No. 02/MK-KUPI-1/IV/2017 tentang Pernikahan Anak).
Dalam buku Islam yang Disalahpahami: Menepis Prasangka, Mengikis Kekeliruan, Muhammad Quraish Shihab memberikan sanggahan yang sangat menarik menyangkut pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah r.a. yang dijadikan acuan oleh banyak Muslim sebagai legitimasi praktik perkawinan anak di masa kini. Beliau menyebutkan, “Terdapat beberapa riwayat menyangkut usia Sayyidah Aisyah ketika menikah [dengan Rasulullah SAW] dan riwayat yang menyebutkan bahwa usia beliau sembilan tahun saat itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Sungguh tidaklah wajar kaum Muslim menjadikan riwayat itu sebagai dasar untuk membolehkan perkawinan anak. Bahkan, kendati riwayat tentang usia itu diterima, seorang Muslim juga tidak wajar menyalahpahami dan menjadikannya dasar untuk membolehkan perkawinan anak, karena siapa pun dia, bukanlah Nabi SAW. Siapa pun tidak dapat mencapai peringkat akhlak dan kepribadian beliau sehingga yang menjadikan riwayat tersebut sebagai hujjah (dalil) di samping angkuh karena merasa diri seperti Nabi Saw, juga bodoh karena tidak mengetahui bahwa riwayat tersebut lemah. […] Salah satu pelajaran yang hendaknya diambil dari kasus yang diuraikan [di bagian ini] adalah ketidaktepatan untuk menjadikan semua pengamalan Nabi SAW -dalam bidang nonibadah murni- sebagai sesuatu yang baik untuk diteladani. Tidak saja karena beliau adalah Nabi yang mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda dengan kita, tetapi juga karena adanya perkembangan masyarakat yang menjadikan masa kita tidak sepenuhnya sama dengan masa Nabi. Ada nilai-nilai yang bergeser. Rasa keadilan dan kewajaran berubah. Adat kebiasaan pun berganti.”
Cakupan Imunisasi Rendah dan Kejadian Luar Biasa (Outbreak)
Vaksinasi tepat waktu diakui secara luas sebagai intervensi kesehatan masyarakat yang sangat berhasil. Misalnya, di kawasan Asia Tenggara, vaksinasi telah memberantas penularan polio liar dan tetanus maternal dan neonatal, serta secara signifikan mengurangi prevalensi campak, ensefalitis Jepang (Japanese encephalitis), dan hepatitis B.
Imunisasi dasar lengkap untuk bayi usia 0–12 bulan dapat mencegah sekitar 3 juta kematian anak setiap tahunnya akibat penyakit menular yang dapat dicegah dengan vaksin (vaccine-preventable diseases). Imunisasi juga dapat mencegah sekitar sepertiga dari seluruh kematian pada balita. Vaksin merupakan teknik yang paling hemat biaya dan efektif untuk mengurangi penyakit, kelumpuhan, dan kematian akibat penyakit menular. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO) mensyaratkan bahwa cakupan populasi sasaran harus mencapai minimal 90% cakupan vaksinasi nasional dan minimal 80% cakupan vaksinasi di setiap distrik/kabupaten dan kota untuk semua vaksin dalam program imunisasi nasional (herd immunity threshold) (Global Vaccine Action Plan 2011-2020).

WHO telah menyatakan Indonesia dan 10 negara Asia Tenggara lainnya bebas polio di 2014. Namun, Indonesia telah mengalami wabah polio dalam beberapa tahun terakhir. Di 12 November 2022, Kementerian Kesehatan melaporkan tentang kasus VDPV2 yang terkonfirmasi. Kasus tersebut adalah seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dari Kabupaten Pidie, Aceh, yang tertular AFP (acute flaccid paralysis atau kelumpuhan lembek akut) pada 9 Oktober 2022. Si anak belum menerima vaksin polio serta tidak memiliki riwayat perjalanan atau kontak dengan mereka yang telah bepergian.
Circulating Vaccine-Derived Polio Type 2 (VDPV2) adalah galur virus polio langka yang dimodifikasi secara genetik dari galur aslinya yang terkandung dalam vaksin polio oral (OPV). VDPV hanya dapat muncul ketika kekebalan populasi (herd immunity) sangat rendah dan suatu populasi rentan terhadap virus polio, baik dari virus polio turunan vaksin maupun virus polio liar.
Di 25 November 2022, tiga isolat cVDPV2 yang terkait secara genetik dilaporkan berdasarkan hasil laboratorium sampel tinja yang diambil dari tiga anak sehat yang berada di komunitas yang sama tetapi bukan kontak dekat dari kasus yang terkonfirmasi. Hasil identifikasi materi genetik (genome sequencing) menunjukkan 25 perubahan nukleotida untuk kasus AFP dan 25-26 perubahan nukleotida untuk tiga anak tanpa gejala. Hasil ini merupakan bukti penularan virus dan memenuhi kriteria untuk diklasifikasikan sebagai VDPV2 yang bersirkulasi (cVDPV2). Oleh karenanya, Pemerintah Indonesia menetapkan kejadian luar biasa (KLB) polio di Provinsi Aceh.
Di Indonesia, wabah cVDPV tipe 1 pernah dilaporkan di Provinsi Papua pada tahun 2019. Kemudian, di awal 2023, wabah polio terjadi di Purwakarta, Jawa Barat. Antara November 2022 hingga Juli 2024, Indonesia telah mengonfirmasi 12 kasus polio di delapan provinsi, yakni Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Banten.
Provinsi Aceh memiliki cakupan vaksinasi polio yang sangat rendah dalam program imunisasi rutin. Cakupan vaksin polio oral bivalen (OPV3) adalah 50,9%, dan vaksin polio inaktif (IPV) adalah 28,2% di 2021. Sementara untuk kabupaten Pidie di tahun yang sama, cakupannya hanya 17,7% untuk OPV3 dan 0,5% untuk IPV. Data di April 2016 melaporkan bahwa terdapat kekebalan populasi yang rendah terhadap semua virus polio dan terutama tipe 2 pada anak-anak yang lahir setelah peralihan dari OPV trivalen ke bivalen.
Selain itu, Provinsi Aceh merupakan provinsi dengan tingkat vaksinasi rutin anak terendah; tingkat vaksinasi rutin di Aceh hanya sebesar 19,54% (Riset Kesehatan Dasar/RISKESDAS, 2018). Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, tingkat penerimaan imunisasi rutin di Provinsi Aceh turun menjadi 42,7% pada tahun 2020 dan 38,4% pada tahun 2021. Sebelumnya, di kurun waktu Oktober hingga November 2017, Aceh bersama 10 provinsi lainnya melaporkan kejadian luar biasa difteri (Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Timur).
Ada sedikitnya tiga penelitian yang bisa memberikan penjelasan mengenai rendahnya capaian vaksinasi di Aceh. Pertama, studi Ofriani dan Martha (2023) mengenai Barriers and Facilitators to Improving Routine Immunization Coverage in East Aceh during the COVID-19 Pandemic: A Qualitative Study, menunjukkan bahwa peran suami atau ayah sangat signifikan dalam menentukan apakah anak-anak akan divaksinasi. Temuan ini sejalan dengan beberapa penelitian lainnya (S. Wahyuni, dkk, 2021; F. Diba, 2021). Dalam model sosio-ekologis, mikrosistem menunjukkan bahwa suami, sebagai kepala keluarga, dianggap sebagai pengambil keputusan utama. Oleh karena itu, istri sering kali harus menerima keputusan tersebut sebagai keputusan akhir. Penolakan para istri terhadap vaksinasi anak mereka dipengaruhi oleh perilaku pasangan yang serupa.
Kedua, penelitian Nurlinawati dan Faatih (2022) mengenai Immunization Coverage and Associated Factors in Aceh, Indonesia, menunjukkan bahwa terdapat kesalahpahaman di antara orang tua, sehingga mereka kesulitan dalam memberikan imunisasi lengkap kenapa anak-anaknya. Alih-alih melindungi dari penyakit menular, mereka malah meningkatkan risiko terjangkit karena percaya bahwa kekebalan alami lebih baik dibandingkan dengan imunissai. Selain itu, hoaks yang beredar dari media sosial dan internet, serta misinformasi yang disebarkan oleh kelompok penentang vaksin, membuat orang tua merasa cemas mengenai keamanan vaksin.
Ketiga, riset Yayasan Sehat Hebat Data Aceh Indonesia, Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dan UNICEF Perwakilan Aceh (2025) yang bertajuk “Kajian Perspektif Masyarakat dan Tenaga Kesehatan untuk Mengatasi Kesenjangan Imunisasi pada Anak Usia Bawah Dua Tahun di Aceh” melaporkan bahwa hanya 19% dari total 47 anak tenaga kesehatan berusia 0-24 bulan di Banda Aceh yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Sementara di Kabupaten Pidie, hanya 6% dari 161 anak tenaga kesehatan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hasil analisis riset tersebut menemukan berbagai tantangan imunisasi di kalangan tenaga kesehatan dan orang tua, yakni terkait keamanan vaksin, penanganan kejadian ikutan pasca imunisasi, literasi yang rendah, serta banyaknya informasi hoaks di media sosial yang terlambat diatasi serta belum berimbangnya promosi kesehatan.
Ikhtiar warga dunia dalam memberantas penyakit menular yang bisa disembuhkan dengan vaksin membawa kita pada sejarah pemberantasan smallpox. Smallpox adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus variola, anggota famili orthopoxvirus. Vaksin smallpox diciptakan oleh Edward Jenner di tahun 1796; vaksin pertama yang berhasil dikembangkan. Edward Jenner mengamati bahwa pemerah susu yang sebelumnya terjangkit cacar dari sapi (cowpox), tidak lagi terjangkit smallpox. Edward Jenner kemudian menunjukkan bahwa inokulasi serupa dapat digunakan untuk mencegah penularan smallpox pada orang lain.
WHO meluncurkan rencana intensif untuk memberantas smallpox di tahun 1967. Imunisasi dan surveilans yang meluas dilakukan di seluruh dunia. Kasus alami smallpox yang terakhir dilaporkan di Somalia di tahun 1977. Di tahun 1980, WHO menyatakan smallpox berhasil diberantas (eradicated); satu-satunya penyakit menular yang berhasil mencapai status ini. Selama setidaknya 3000 tahun, smallpox telah menghancurkan umat manusia karena menyebabkan jutaan kematian.
Sesungguhnya, dalam pencapaian terbesar sejarah manusia untuk memberantas smallpox, ada kontribusi seorang dokter Muslim berkebangsaan Persia, yakni Abu Bakar Muhammad bin Zakaria Ar-Razi (864-930 M). Di 910 M, dokter Ar-Razi mengamati bahwa orang yang selamat dari penyakit smallpox tidak akan terkena penyakit ini untuk kedua kalinya seumur hidup mereka. Pengamatan ini membuat Ar-Razi mencetuskan teori adaptive immunity, yang dikenal juga dengan beberapa istilah serupa yaitu acquired immunity, specific immune system, dan immunological memory. Sederhananya, kekebalan tubuh memiliki memori. Ketika seseorang tertular penyakit ganas tertentu dan berhasil sembuh/bertahan hidup, maka ketika terpapar untuk kedua kalinya di masa mendatang, maka tubuh akan mengenali penyakit tersebut dan merespons lebih cepat untuk memeranginya sehingga tidak akan menyebabkan sakit yang berkelanjutan.
Dalam bukunya Kitab al-Jadari wal-Hasba (Risalah tentang Smallpox dan Campak), Ar-Razi menjadi orang pertama dalam sejarah yang mendeskripsikan secara detail gejala dan tanda penyakit smallpox dan campak berdasarkan teknik pemeriksaan fisik. Saat itu, banyak dokter tidak mampu membedakan keduanya. Bahkan, tidak menyadari bahwa ini adalah dua penyakit berbeda. Teknik yang digunakan Ar-Razi menjadi dasar dari metode differential diagnosis yang dipelajari oleh dunia kedokteran di berbagai belahan dunia hingga kini. Dalam rentang tahun 1498-1866, Kitab al-Jadari wal-Hasba telah dicetak ulang di Eropa sebanyak 40 kali, serta telah diterjemahkan ke Bahasa Latin, Inggris, Jerman dan Perancis.
Selain itu, karya Ar-Razi lainnya, Al-Hawi fi Ath-Thibb yang penulisannya diselesaikan oleh muridnya karena Ar-Razi meninggal dunia sebelum menyelesaikan buku ini, diterjemahkan ke Bahasa Latin tahun 1279 dan menjadi salah satu teks rujukan utama pengajaran ilmu kedokteran di Paris tahun 1395. Bagian khusus buku ini yang membahas mengenai farmakologi, menjadi referensi pertama di Eropa setelah masa renaisans. Sementara itu, Risalah fi Amradh al-Athfal wa Al-‘Ianaya Bihim disebut banyak sejarawan sebagai buku pertama yang khusus membahas mengenai ilmu kesehatan anak (pediatrik).
Sebagaimana yang disampaikan oleh WHO bahwa imunisasi adalah kunci pelayanan kesehatan primer, hak asasi manusia yang tak terbantahkan, serta salah satu investasi kesehatan terbaik yang dapat dibeli dengan uang. Vaksin sangat penting untuk pencegahan dan pengendalian wabah penyakit menular. Vaksin mendukung ketahanan kesehatan global serta merupakan alat vital dalam memerangi resistensi antimikroba. Sehingga, Arab Saudi menjadikan hukum vaksin sebagai wajib ketika menimbang antara manfaat dan mudharat yang didapat. Bahkan, imunisasi menjadi syarat untuk mendapatkan akte kelahiran, mendaftar sekolah, hingga pembuatan paspor bagi warga Arab Saudi.
Terkecuali vaksin Campak Rubela (MR) yang sempat menuai polemik karena kesimpangsiuran perihal halal dan haram, vaksin lainnya tidak memiliki kontroversi. Sehingga, alasan penolakan berdasarkan pemahaman agama, menjadi terbantahkan. Terkait dengan vaksin Campak Rubela (MR) tersebut, 112 ulama dan para ahli Muslim, termasuk Sheikh Dr. Mohammad Sayed Tantawi (saat itu merupakan Mufti Agung Mesir dan Imam Besar Al-Azhar) telah berpartisipasi dalam konferensi The Judicially Prohibited and Impure Substances in Foodstuff and Drugs yang diselenggarakan oleh Islamic Organization for Medical Sciences di Kuwait tahun 1995. WHO Kantor Regional untuk Eastern Mediterranean ikut berpartisipasi dalam konferensi tersebut.
Konferensi tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi, yang antara lain menetapkan bahwa, “Transformasi yang berarti pengubahan suatu zat menjadi zat lain yang berbeda sifatnya, mengubah zat yang secara hukum tidak murni atau terdapat dalam lingkungan yang tidak murni, menjadi zat murni, dan mengubah zat yang dilarang menjadi zat yang halal dan diperbolehkan. Dengan demikian gelatin yang terbentuk akibat pengolahan tulang, kulit dan urat hewan yang najis secara hukum adalah suci dan boleh dimakan.”
Transformasi ini dikenal dengan istilah istihalah, yakni bertukarnya zat yang najis dengan sendirinya atau dengan perantara sesuatu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islamiy wa Adillatuhu Juz 1, halaman 250. Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, serta Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, ada kemungkinan bahwa sesuatu dapat menjadi suci karena istihalah, yakni adanya perubahan dalam bentuk senyawa. Proses ini dianggap absah karena Islam menghukumi sesuatu sebagai najis berdasarkan bentuknya. Oleh karena itu, jika bentuknya berubah dan sifat-sifatnya hilang, maka istilah “najis” menjadi tidak relevan lagi.
MUI dalam menetapkan fatwa vaksin yang mengandung unsur babi seperti vaksin MR produksi Serum Institute of India menggunakan metode istihlahi, yakni membolehkan berobat dengan sesuatu yang najis atau yang diharamkan di saat kondisi darurat demi menjaga kemaslahatan jiwa. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan Maqashid as-Syar’iah yaitu menjaga jiwa (hifz an-nafs). Sementara Darul Ifta al-Mishriyyah yang menjadi bagian dari konferensi yang disebutkan di atas, lebih sering menggunakan istinbat ta’lili dengan menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu peristiwa yang tidak memiliki dalil yang jelas dalam sumber hukum baik secara qath’i maupun zhanni dan tidak ada konsensus di kalangan ahli hukum Islam yang menetapkan hukumnya. Pendekatan istinbat ta’lili ini sangat dekat dengan gagasan menghilangkan kesulitan dalam agama karena esensi agama adalah kemudahan.
Di akhir bagian ini, penting untuk menyimak apa yang selalu disampaikan oleh Dewi Nur Aisyah, ahli dengan gelar PhD dalam epidemiologi penyakit menular dari University College London terkait vaksin, “Dalam mengambil kaidah ilmiah, kita harus memiliki evidence-based yang kuat, bukan hanya berdasarkan klaim semata. Mengapa kaidah ilmiah itu penting untuk menarik kesimpulan? Karena tanpa saringan kaidah ilmiah (bias, power of study, study design, population characteristics, dan sebagainya), bagaimana kita bisa membedakan mana yang hoaks dan mana kebenaran?
MUI sudah membahas mengenai hukum vaksin sejak beberapa tahun yang lalu. Pun ulama-ulama di Arab Saudi yang memiliki banyak cendekiawan di bidang fikih dan agama. Para ulama ini sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa vaksin boleh diberikan, dan menjadi keharusan jika tujuannya adalah pencegahan wabah.
Jika kita sepakat bahwa ilmu adalah kesimpulan yang ada dalilnya, harusnya kita mendasarkan kesimpulan kita pada data dan fakta yang valid, bukan asumsi yang tidak berdasar dan cenderung salah. Jika kita paham bahwa syariat ada untuk menjaga jiwa, maka kita harus hati-hati dalam membangun kesimpulan. Bukankah ulama-ulama kita telah mengajarkan urgensi metodologi ilmu yang benar dan membangun fatwa-fatwanya berdasarkan metodologi yang rigid tersebut?
Saya ingin mengajak seluruh orang tua agar lebih bijak dalam memilah dan memilih informasi yang didapat. Bertanyalah kepada ahlinya karena kita tidak bisa menjadi ahli hanya dengan belajar dari Universitas Google. Allah berfirman dalam QS. An-Nahl: 43, ‘… Maka, bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui’” Google memang memudahkan kita mendapatkan informasi, tapi tidak serta merta menjadikan kita seorang ahli. Mana mungkin ilmu dan pengetahuan mereka yang belajar bertahun-tahun disamakan dengan mereka yang membaca di Google selama beberapa jam?
Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan
Badan Pusat Statistik merilis “Statistik Kriminal 2023” yang mencakup data mengenai kasus pemerkosaan di Indonesia sepanjang tahun 2022. Dalam laporan ini, jumlah laporan kejadian pemerkosaan meningkat sebesar 23,9% bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, mencapai 1.443 insiden yang dilaporkan oleh seluruh Kepolisian Daerah (Polda) di tanah air. Dari 34 Polda yang ada, Aceh tercatat sebagai provinsi dengan tingkat pemerkosaan tertinggi, yakni sebanyak 135 kasus. Disusul oleh Jawa Barat dengan 114 kasus dan Jawa Timur sebanyak 106 kasus.
Sementara itu, Laporan Pemantauan Penanganan Kekerasan Seksual di Aceh (Jaringan Pemantau Aceh 231 dan Komnas Perempuan, 2024) menghimpun data kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun waktu 2019-2023 dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sebagaimana berikut:
| No. | Bentuk Kekerasan Seksual | Tahun | ||||
| 2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | ||
| 1 | Pemerkosaan | 33 | 23 | 24 | 33 | 27 |
| 2 | Pelecehan Seksual | 20 | 26 | 19 | 22 | 31 |
| 3 | Eksploitasi Seksual | 1 | 1 | 0 | 0 | 0 |
| Total Kasus | 54 | 50 | 43 | 55 | 58 | |
Angka kasus yang lebih tinggi dialami oleh anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki, yang mengalami kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, sebagaimana ditampilkan di tabel berikut:
| No. | Bentuk Kekerasan Seksual | Tahun | ||||
| 2019 | 2020 | 2021 | 2022 | 2023 | ||
| 1 | Pelecehan Seksual | 166 | 157 | 131 | 150 | 164 |
| 2 | Inses | 7 | 4 | 8 | 8 | 2 |
| 3 | Sodomi | 11 | 16 | 4 | 17 | 16 |
| 4 | Eksploitasi Seksual | 1 | 0 | 1 | 0 | 2 |
| 5 | Pemerkosaan | 91 | 87 | 100 | 82 | 139 |
| Total Kasus | 276 | 264 | 244 | 257 | 323 | |
Provinsi Aceh sebagai daerah dengan otonomi khusus telah menerapkan Qanun Jinayat sejak tahun 2015 (Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014) yang mengatur mengenai tindak pidana pelecehan seksual serta perkosaan. Pada tahun 2022, pemerintah mengesahkan UU No. 12 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memberikan terobosan hukum untuk melindungi perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Namun, Laporan dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mengindikasikan bahwa pada tahun 2022, jumlah kasus yang paling banyak diterima dan ditangani oleh pengadilan adalah terkait dengan perkosaan dan pelecehan seksual, yang masih ditangani berdasarkan Qanun Jinayat.
Kompleksitas dalam menangani kasus kekerasan seksual belum menjadi perhatian utama dalam Qanun Jinayat. Secara substansial, bahasa yang digunakan masih memiliki banyak tafsir dan tidak mencakup pengaturan hak korban yang lebih menyeluruh, kecuali restitusi. Aulianda Wafisa dari Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh menyatakan bahwa hukuman berupa denda bagi pelaku kekerasan seksual justru menguntungkan mereka yang memilki sumber daya finansial, sekaligus menjadikan keadilan semakin jauh untuk para korban. Denda yang harus dibayar oleh pelaku disetorkan kepada negara, dan pelaku pun kembali bebas. Di sisi lain, korban harus menghadapi penderitaan mereka seorang diri.
Hal ini semakin diperparah dengan adanya mekanisme pengujian sumpah yang akan dilakukan jika korban tidak bisa menghadirkan bukti awal, yang jelas dapat melemahkan posisi korban. Apabila terdakwa di pengadilan membantah sumpah dari korban dan tidak mengakui kesalahannya, penanganan perkara akan dihentikan dan kasus dianggap selesai. Sementara itu, merupakan sifat dari pelaku kejahatan untuk berusaha membela diri demi menghindari sanksi dan hukuman.
Peraturan mengenai cambuk sebagai salah satu bentuk sanksi yang mungkin dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku juga memunculkan masalah baru dalam penanganan kasus pemerkosaan. Eksekusi cambuk berlangsung relatif lebih cepat. Jika tidak ada masalah kesehatan yang menghalangi terpidana, proses cambuk hanya memerlukan waktu beberapa jam. Pelaku yang kembali ke lingkungannya akan menjadi ancaman bagi korban yang sedang berjuang untuk pulih dari traumanya secara mandiri tanpa ada intervensi khusus dari pemerintah. Eksekusi cambuk juga bisa dihentikan, ditunda atau tidak dilakukan karena alasan kesehatan pelaku. Situasi-situasi ini, sekali lagi, hanya menjauhkan keadilan dari korban.
Sementara itu, UU TPKS telah mengatur berbagai hak bagi individu yang menjadi korban kekerasan seksual, termasuk hak atas penanganan, perlindungan, serta pemulihan yang meliputi rehabilitasi kesehatan, mental dan sosial, penguatan sosial, restitusi, atau kompensasi, serta reintegrasi ke dalam masyarakat. Korban juga memiiki hak untuk memperoleh pemulihan sebelum, selama, dan setelah proses hukum, seperti pendampingan hukum, penguatan psikologis, dan sebagainya.
Mengenai kekerasan seksual yang dialami anak-anak, berdasarkan UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, elemen-elemen dari tindak pidana persetubuhan terhadap anak tidak hanya mencakup kekerasan dan paksaan, tetapi juga diperluas dengan penipuan, serangkaian kebohongan, dan merayu. Oleh karena itu, dalam keadaan apapun, anak akan selalu dianggap sebagai korban dan tidak akan dijadikan sebagai pelaku yang mengalami kriminalisasi.
Ini sejalan dengan prinsip moral universal bahwa sexual consent hanya berlaku pada orang dewasa yang mampu memberikan persetujuan. Persetujuan untuk berhubungan seksual dengan anak tidak dapat dibenarkan karena anak tidak dalam posisi yang dapat memberikan persetujuan jika berkaitan dengan hubungan seksual. Bila kegiatan seksual terjadi pada anak atau individu dengan disabilitas intelegensi yang belum atau tidak bisa memberikan persetujuan, otomatis termasuk ke dalam kekerasan seksual.
Pluralisme hukum di Aceh menunjukkan adanya lebih dari satu sistem hukum yang berkaitan dengan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Temuan Komnas Perempuan dalam Laporan Pemantauan Penanganan Kekerasan Seksual di Aceh mengungkap bahwa selain Qanun Jinayat, Qanun No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat juga digunakan sebagai pedoman. Komnas Perempuan mencatat bahwa penerapan mekanisme adat dalam kasus kekerasan seksual tidak memberikan rasa keadilan dan pemenuhan hak-hak para korban. Penyelesaian perkara lebih berfokus pada upaya menjaga reputasi gampong, mengingat ada anggapan bahwa pemerkosaan adalah sbeuah aib yang dapat menimbulkan malapetaka. Akibatnya, penyelesaian melalui mekanisme adat seringkali menempatkan korban dalam posisi yang lebih rentan, seperti terpaksa menerima kesepakatan masyarakat untuk membayar denda, diusir, atau bahkan dipaksa menikah dengan pelaku.
Membela Perempuan adalah Bagian Integral dari Amanah Kerasulan Muhammad SAW
Hukum dan sistem hak asasi manusia di berbagai belahan dunia masih terpengaruh oleh ideologi patriarki, yang memberi pengakuan pada laki-laki sebagai pihak yang lebih unggul, menguasai, dan menentukan tatacara sosial, ekonomi, budaya, serta politik dari sudut pandang laki-laki. Di sisi lain, perempuan sering dipersepsikan sebagai manusia kelas dua, yang diatur, dikendalikan, bahkan dalam banyak sitausi seolah-olah sah untuk dieksploitasi dan menjadi sasaran kriminal hanya karena mereka memiliki tubuh feminin.
Patriarki juga menciptakan pemisahan antara perempuan dan laki-laki dalam dua kutub yang berbeda; perempuan diharapkan berada di ruang domestik, sedangkan laki-laki bergerak di ruang publik. Pemisahan seperti ini sangat mengurangi hak-hak asasi perempuan serta merampas keadilan dan kesejahteraan sosial masyarakat. Penempatan perempuan dalam ranah domestik merupakan bentuk pembatasan, penyingkiran dan pengucilan terhadap mereka. Dalam banyak kisah perempuan, wilayah domestik ini bahkan menjadi arena tersembunyi di mana kekerasan dan diskriminasi terjadi dengan sangat serius dan luas. CATAHU Komnas Perempuan terus menerus didominasi oleh kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di ranah personal/domestik.
Keterpurukan posisi perempuan dalam konteks negara juga terlihat dalam ranah agama. Para ulama memiliki pandangan yang ambigu terhadap perempuan. Mereka sering berargumen dengan pendekatan apologetik, bahwa agama dihadirkan Tuhan semata-mata untuk menciptakan keadilan, kasih sayang semesta (rahmatan lil alamin) dan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Mereka juga menekankan nilai kesetaraan dan penghormatan terhadap martabat manusia di hadapan Tuhan. Namun, di sisi lain, melalui tafsir patriarkal terhadap teks-teks agama, mereka justru mendiskriminasi serta memberi stigma kepada perempuan sebagai sumber kerusakan sosial. Mitos-mitos destruktif bahwa perempuan adalah sumber fitnah ini tetap hidup karena dianggap sebagai bagian dari ajaran agama.
Dr. Nur Rofiah, seorang aktivis dari Kongres Ulama Perempuan Indonesia, selalu mengingatkan bahwa, “Agama seharusnya melindungi satu sama lain, bukan menjadi alasan untuk melakukan kekerasan. Namun sayangnya, sering kali hal tersebut terbalik; interpretasi agama disalahgunakan untuk memberikan legitimasi terhadap relasi kuasa yang timpang.”
Wacana mengenai kesetaraan gender dalam konteks Islam bukanlah hal yang baru. Ini sudah ada sejak masa kenabian Muhammad SAW yang berlangsung selama 23 tahun. Dalam bukunya Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman (Afkaruna.id, 2020), Dr. Nur Rofiah menjelaskan bahwa misi kerasulan Muhammad SAW menegaskan tiga pokok penting. Pertama, menegaskan hak kemanusiaan perempuan, pada saat masyarakat di jazirah Arab memilih mengubur bayi perempuan hidup-hidup (seperti yang tertulis dalam QS. An-Nahl: 58-59).
Kedua, setiap individu merupakan hamba Allah SWT, dan apabila perempuan dan laki-laki beriman serta melakukan perbuatan baik, keduanya memperoleh penghargaan yang sama, sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Nisa: 124.
Ketiga, setiap individu berfungsi sebagai khalifah di dunia ini (khalifah fil ardh) yang diberi tugas untuk menciptakan kemaslahatan yang sebesar-besarnya di bumi (lihat QS. Al-Baqarah: 30 yang menjelaskan bahwa tanggung jawab sebagai khalifah ini dilaksanakan secara bersama-sama dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan QS. An-Nahl: 90). Allah SWT telah menekankan bahwa keadilan dalam Islam itu diperuntukkan bagi seluruh umat, baik perempuan maupun laki-laki. Oleh karena itu, secara substansial, prinsip-prinsip ajaran Islam mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.
Lebih lanjut, Dr. Nur Rofiah mengungkapkan bahwa pesan mengenai keadilan gender sering kali tidak jelas dalam bangunan pengetahuan Islam karena dipengaruhi oleh konstruksi sosial tertentu. Seringkali, Islam dipersepsikan sebagai tidak adil, dengan sedikit ruang untuk memperhatikan kemanusiaan perempuan, yang berdampak mengerdilkan posisi perempuan dalam relasi kehidupan. Masalah lainnya adalah bahwa interpretasi terhadap Al-Quran sering kali disamakan dengan Al-Quran itu sendiri. Sebenarnya, Al-Quran merupakan wahyu dari Allah yang Maha Adil, sementara interpretasi atas Al-Quran berasal dari manusia yang tidak ada yang sempurna. Oleh sebab itu, penafsiran terhadap Al-Quran bisa jadi adil, tetapi juga bisa sebaliknya.
Dalam banyak kesempatan, Nabi Muhammad SAW selalu berpesan agar kaum perempuan diperlakukan dengan baik, seperti dalam hadis-hadis berikut:
– “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (HR. Baihaqi dan HR. Imam Ahmad bin Hanbal).
– Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)
– Dari Sayyidah Aisyah ra, ia bercerita, suatu hari seorang perempuan dewasa dan dua anak perempuan menemuinya. Mereka mengemis. Aku tidak memiliki apapun selain sebiji kurma. Kuberikan kepadanya. Ia membagi kurma itu kepada dua anak perempuannya. Ia sendiri tidak ikut memakan. Ia kemudian bangkit lalu keluar. Rasulullah SAW masuk menemui kami. Kukabarkan peristiwa barusan. Ia bersabda, “Siapa saja yang diuji dalam pengasuhan anak-anak perempuan, lalu ia perlakukan mereka dengan baik, niscaya mereka akan menjadi perisainya dari api neraka.” (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
– “Sebaik-baik kalian adalah orang yang (paling bisa) diharapkan kebaikannya dan (paling sedikit) keburukannya hingga orang lain merasa aman.” (HR. Tirmidzi)
– “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik sikapnya terhadap keluarga. Dan aku adalah yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.” (HR. Ibnu Majah)
– “Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari No. 6035, HR. Muslim No. 2321, dan HR. Ahmad No. 6505)
Statistik yang disajikan di atas ada terkait dengan perkawinan anak, rendahnya cakupan imunisasi, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan menunjukkan bahwa bahkan satu individu atau satu kasus sudah merupakan jumlah yang berlebihan (one is too many). Dengan demikian, situasi ini seharusnya mencederai rasa kemanusiaan kita dan tidak boleh membiarkan/menolerir satu insiden pun terjadi.
Dalam tulisannya yang berjudul Laki-Laki yang Dilatih ‘Memperkosa’”, Nur Hasyim menjelaskan bahwa jika laki-laki melakukan tindakan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan karena mereka “belajar” dan “dilatih”, maka seharusnya laki-laki juga dapat diajari dan dilatih untuk menolak semua bentuk kekerasan, serta belajar untuk mencintai, mengasihi, dan menjaga kehidupan (doing no harm). Oleh karena itu, training ground yang selama ini merusak dan penuh kekerasan, perlu mengalami transformasi. Lingkungan sosial baru yang mengakui posisi setiap individu tanpa membedakan identitas sosial (seperti jenis kelamin, gender, kemampuan, ras, kelas sosial) harus diciptakan agar setiap orang dipandang sebagai subjek yang utuh dan berharga sebagai manusia. Sebagai subjek, setiap orang harus menerima perlakuan yang setara, hak-hak dasar mereka dihormati, dilindungi dan dipenuhi.
Kedua, dalam struktur sosial baru ini, beragam lembaga sosial di dalamnya (keluarga, sekolah, komunitas, media, dan negara) memiliki peran penting dalam menanamkan nilai dan membangun praktik baru maskulinitas yang mencerminkan nilai kesetaraan serta keadilan. Oleh karena itu, struktur sosial baru ini harus mengacu pada kesetaraan dan keadilan gender, sesuai dengan amanah yang disampaikan oleh Muhammad SAW.
Oleh sebab itu, dukungan terhadap perempuan dan melakukan kebaikan kepada mereka merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, sebab Rasulullah SAW sendiri menjadikan perlindungan terhadap perempuan sebagai bagian integral dari tugas kerasulannya. Dan, perilaku Rasulullah SAW yang demikian itulah yang seharusnya dicontohi, karena beliau adalah teladan bagi umat, seperti yang dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab: 21. Saya berpendapat, ketika teladan ini diterapkan di Aceh, barulah perayaan kenduri maulid layak untuk dirayakan. Dengan demikian, perempuan di Aceh tidak teralienasi dalam praktik agama yang bengis, tetapi dapat merayakan hidupnya dalam lingkungan yang menghargai kemanusiaan perempuan.
Bibliografi
a. Perkawinan Anak
· BPS, Kementrian PPN/Bappenas, UNICEF, dan PUSKAPA UI, Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda, 2020
· Girls not Brides, Indonesia’ Child Marriage Profile, https://www.girlsnotbrides.org/learning-resources/child-marriage-atlas/regions-and-countries/indonesia/
· Hasil Musyawarah Keagamaan KUPI No. 02/MK-KUPI-1/IV/2017 tentang Pernikahan Anak
· Kementrian PPN/Bappenas dan Kementrian PPPA, Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, 2020
· Kementrian PPPA dan PUSKAPA UI, Risalah Kebijakan: Pencegahan Perkawinan Anak untuk Perlindungan Berkelanjutan bagi Anak, Jakarta: UI Publishing, 2023
· Komnas Perempuan, Risalah Kebijakan: Perkawinan Anak, Menutup Aib dan Tertutupnya Hak atas Pendidikan, Ekonomi dan Kesehatan Mental, Reproduksi serta Seksual, 2019
· M. Quraish Shihab, Islam yang Disalahpahami: Menepis Prasangka, Mengikis Kekeliruan, Tangerang Selatan: Lentera Hati, 2018
· Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30-74/PUU-XII/2014
· Putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017
· Yayasan Rumah Kita Bersama, 100 Tahun Perjuangan Cegah Kawin Anak, Infografis
· Yayasan Rumah Kita Bersama, Mengapa Islam Melarang Perkawinan Anak?, 2020
b. Imunisasi
· Abdul Nasser Kaadan, Al-Razi on Smallpox and Measles, https://muslimheritage.com/al-razi-smallpox-measles/
· Ali Ahmed, Kah S. Lee, Allah Bukhsh, Yaser M. Al-Worafi, Md. Moklesur R. Sarker, Long C. Ming, Tahir M. Khan, Outbreak of Vaccine-Preventable Diseases in Muslim Majority Countries, Journal of Infection and Public Health, 2018; 11 (2), DOI: 10.1016/j.jiph.2017.09.007
· Coraima Okfriani dan Evi Martha, Barriers and Facilitators to Improving Routine Vaccination Coverage in East Aceh during the COVID-19 Pandemic: A Qualitative Study, BKM Public Health and Community Medicine, 2023; 39 (5), DOI: 10.22146/bkm.v39i05.7139
· Dewi Nur Aisyah, Wabah Difteri vs. Vaksin: Karena Kesehatan adalah Hak Mereka, Blog, 12 September 2017
· Dewi Nur Aisyah, Vaksin atau Tidak: Menakar Manfaat dan Resiko, Blog, 19 November 2017
· Dewi Nur Aisyah, Menjawab Polemik Vaksin MR, Blog, 25 Agustus 2018
· dr. Tiwi, SpA, MARS dan dr. Piprim B. Yanuarso, SpA, Imunisasi Bayi, Anak, dan ASI (tiga bagian), 21 Maret 2013, https://www.youtube.com/watch?v=99r1PEgs5GQ, https://www.youtube.com/watch?v=NOtPGxOPmGs, dan https://www.youtube.com/watch?v=s87NjhDM9V0
· Iin Nurlinawati dan Mukhlissul Faatih, Immunization Coverage and Associated Factors in Aceh, Indonesia, Global Medical and Health Communication, 2022; 10 (1), DOI: 1 0.29313/gmhc.v10i1.8961
· Lisa Febria, Hukum Penggunaan Vaksin yang Mengandung Unsur Babi (Studi Perbandingan Fatwa MUI dan Fatwa Dar al-Ifta al-Mishriyyah), Skripsi Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin, 2023
· Saintif, Meluruskan Kesalahpahaman Antivaksin: Vaksin itu Penting untuk Tubuh, https://saintif.com/vaksin-antivaksin/
· Tara C. Smith, Vaccine Rejection and Hesitancy: A Review and Call to Action, Open Forum Infect Diseases, 2017; 4(3), DOI: 10.1093/ofid/ofx146
· WHO, Vaccination Information Hub: Evidence-based Information and Resources about Vaccines, https://www.who.int/teams/immunization-vaccines-and-biologicals/diseases/vaccination-information-hub
· WHO Indonesia, Polio Outbreak in Indonesia, https://www.who.int/indonesia/emergencies/polio-outbreak-in-indonesia
c. Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan
· Ervita, S. Psi dan Puji Utami, SH, Memahami Gender dan Kekerasan terhadap Perempuan, Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Center, 2002, diterbitkan untuk program Community-based Crisis Center atas dukungan AusAID
· Faqih Abdul Kodir, Membela Perempuan adalah Amanah Kenabian, https://mubadalah.id/membela-perempuan-adalah-amanah-kenabian/, Artikel 25 Januari 2023
· Jaringan Pemantau Aceh 231 dan Komnas Perempuan, Laporan Pemantauan Penanganan Kekerasan Seksual di Aceh, 2024
· Komnas Perempuan, Perempuan dalam Relasi Agama dan Negara, 2010
· Nur Hasyim, Laki-Laki yang “Dilatih” Memperkosa, https://lakilakibaru.or.id/laki-laki-yang-dilatih-memperkosa/, Artikel 24 September 2024
· Nur Rofiah, Nalar Kritis Muslimah: Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman, Bandung: Afkaruna.id, 2020





