Kartini, Kesederhanaan Seorang Perempuan

Kartini (1879-1904) adalah perempuan, yang dengan berbagai cara kemudian melakukan perlawanan. Ia mencintai tradisi, namun ia juga melawan tradisi, ketika tradisi itu tak berpihak pada perempuan dan masyarakat kecil di lingkungan istana tempatnya tinggal, Jepara, Jawa Tengah. Dalam Edisi Khusus Kartini di bulan April 2017, Konde.co akan menuliskan Edisi Kartini selama sepekan, yaitu dari tanggal 16-22 April 2017. Sejumlah pemikiran tentang perempuan akan kami letakkan dalam bingkai Kartini selama sepekan ini. Selamat membaca.

Febriana Sinta. www.konde.co

Jogjakarta, Konde.co –  Sekitar 50 tahun lalu, murid Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jogjakarta dan Jawa Tengah telah mengadakan perayaan untuk memperingati kelahiran R.A. Kartini.

Tidak berbeda dengan peringatan Kartini saat ini, pada jaman itu murid perempuan diharuskan memakai kebaya kartini atau sering disebut kebaya kutu baru , dan memakai kain batik. Rambut pun harus ditata seperti penampilan Ibu Kartini, yaitu memakai konde berukuran besar lengkap dengan tusuk konde. Kelahiran pahlawan perempuan asal Jepara, Jawa Tengah ini juga dirayakan dengan berbagai lomba, namun saat itu hanya murid perempuan saja yang mengikutinya.

Dari tahun ke tahun  ternyata selalu sama, Kartini selalu identik dengan: sanggul dan baju kebaya.

Namun, para siswa perempuan tersebut, yang kini telah tua dan beberapa menjadi ibu, ketika sekolah mengidentikkan Kartini secara salah, mereka kemudian juga belajar perspektif lain, bahwa Kartini adalah perempuan yang gigih berjuang dan belajar, tak hanya sekedar bersanggul dan berkebaya seperti yang mereka kenal kala itu.

Inilah cerita dan pandangan beberapa ibu tentang Kartini dulu:

1.    Theresia Mulyani (63 tahun), Pengusaha Catering

Pertama kali saya ikut peringatan RA Kartini, waktu itu di tahun 1966, saya baru kelas 1 SMP. Waktu itu peringatan di sekolah sangat  sederhana. Lomba yang diadakan hanya menggulung stagen , dan wiru jarik (melipat kain batik). Lomba itu dipilih sesuai dengan keahlian  yang harus dimiliki perempuan saat itu. Saya ingat ajaran salah satu guru adalah tentang kehidupan Kartini yang sederhana namun mampu membuat perbedaan yang besar. Hingga saat ini saya masih ingat ajaran guru tentang Kartini, hiduplah  menjadi perempuan yang sederhana namun dapat membantu orang lain.

2.    Prasetyaningsih ( 57 tahun), guru Sekolah Teknik Mesin (STM).

Dulu SMP saya terletak di sebuah desa di wilayah Klaten, Jawa Tengah. Setiap peringatan Kartini sekolah selalu mengadakan upacara yang dilakukan di tengah sawah kering yang terdapat disekitar sekolah. Hanya perempuan saja yang memakai baju daerah, anak laki – laki menggunakan baju sekolah biasa.  Waktu SMP, saya menang lomba baca puisi yang berjudul R.A. Kartini. Saat belajar membaca puisi, saya baru mengerti tentang siapa Kartini, salah satunya adalah kegigihannya ingin terus belajar.Terus terang jika saat ini saya memilih menjadi guru, salah satunya karena terinspirasi pengalaman saya waktu itu. Saat ini saya sudah 30 tahun menjadi guru, saya hanya ingin membantu anak – anak dengan cara menjadi guru seperti saat ini.  Saya berharap ajaran ajaran Kartini tetap menginspirasi dan tidak hanya menjadi dongeng atau cerita saja.


3.    Hartanti (65 tahun), Pengelola Kost

Peringatan Kartini pertama kali saya ikuti saat kelas 1 SMP sekitar tahun 1964. Waktu itu saya memakai kebaya bekas yang tidak lagi dipakai ibu saya. Selain memakai jarik (kain batik untuk bawahan), sekolah mengharuskan rambut saya untuk digulung seperti rambutnya Kartini. Rasanya sangat berat dan sulit berjalan dengan kain. Saat datang ke sekolah, guru kelas langsung memberikan penilaian untuk kebaya yang saya pakai dan keluwesan berjalan.
Namun saya heran ketika melihat teman-teman laki-laki tidak memakai baju tradisional, mereka diperbolehkan memakai kemeja dan celana pendek.


Saat itu saya berpikir, mengapa yang memakai pakaian tradisional hanyalah perempuan saja ? apakah laki – laki tidak perlu ikut memperingati hari Kartini? . Mengapa harus dibedakan ? Itulah pertanyaan  yang saya rasakan 50 tahun lalu.
 

Akhirnya pertanyaan saya telah terjawab, di awal tahun 1970-an  anak saya yang laki-laki mulai bertanya tentang Kartini setelah sekolah mengharuskan semua murid memakai baju tradisional setiap tanggal 21 April. Namun, tetap saja yang diajarkan hanya itu, bukan tentang ajaran-ajaran Kartini.

4.     Caecilia Sartini (64 tahun), Ibu Rumah Tangga

Dulu ibu saya selalu bercerita tentang perjuangan Ibu Kartini. Hal itu dilakukannya sambil mendadani saya sebelum ikut peringatan Kartini di sekolah. Ibu selalu berkata, “ Ingat ya nduk (sebutan untuk anak perempuan di Jawa)  jangan asal bajunya saja yang sama, tapi juga semangatnya. Kamu harus mandiri, harus mau bantu teman..” itulah pesan yang selalu ibu sampaikan. 


Namun saya merasa saat ini peringatan hari Kartini, kurang adanya edukasi atau komunikasi di keluarga. Anak – anak hanya dibelikan atau sewa baju tradisional yang bagus, tanpa tahu alasan dan sejarahnya. Saya mengkhawatirkan tanggal 21 April akan berganti dari peringatan Kartini menjadi hari berkebaya atau berpakaian tradisional saja.

(Foto : Dokumentasi pribadi)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!