Ibu Bernama Suntari (2)

*Kustiah- www.Konde.co

Ibu itu bernama Suntari. Ia perempuan tangguh. 2 kali ditelantarkan suaminya. Suami pertama selingkuh, sedangkan suami keduanya menelantarkan hidupnya.

Suntari kemudian membesarkan sendiri anaknya yang bernama Dara (bukan nama sebenarnya) hingga Dara dewasa.

Tiba-tiba Suntari menghubungiku. Kami bertemu, ia juga mengajak Dara, anaknya.

Sesaat setelah bertemu Suntari, seorang teman tiba-tiba menghubungiku dan mengeluh. Ia memerlukan pengasuh untuk anaknya yang baru berusia dua tahun.

“Aku nyerah bu, aku benar-benar perlu pengasuh,” dia mengirim pesan melalui blackberry messenger (BBM).

Pekerjaannya menjadi jurnalis sering membuatnya pulang larut malam dan terkadang berangkat lebih awal. Ia perlu orang untuk untuk menemani anaknya. Aku tak menolak untuk membantu, tapi juga tak janji akan membantunya dengan segera.

“Ya, kuusahakan. Nanti segera kukabari, buk,” balasku.

Lalu dua hari berikutnya aku teringat ibuku di kampung. Ibukulah yang bisa membantuku untuk urusan begini, batinku. Maklum, di kampung, ibuku biasa jadi tempat mengadu tetanggaku, untuk segala urusan. Termasuk cari kerja.

Lalu segera kutekan nomor telepon ibuku. Namun, tangisan anakku membatalkan rencana untuk menelepon. Lupalah aku hingga teringat lagi dua hari berikutnya.

Saat kutelepon ibuku, benarlah dugaanku. Ibuku langsung memberi nomor telepon setelah menceritakan profil perempuan yang akan bisa menjaga anak temanku itu. Lalu ia kukenalkan ke temanku. Lega.

Aku tenang. Dan tertidur kembali di sisi anakku.Lima menit tertidur, handphone-ku bergetar.

“Aku Suntari mbak, tadi baru saja ditelepon makku di kampung. Disuruh nelpon kamu mbak,” suara perempuan di ujung sana memperkenalkan diri.
Edan, cepat sekali..hahaha, batinku.

Ternyata ibuku memberi nomor teleponku ke ibunya mbak Suntari.

Tak lama. Ashar mbak Suntari telepon, magrib dia datang ke rumahku bersama anaknya, Dara.

Malam itu kuminta mereka menginap. Sun dan anaknya baru dua hari berada di Jakarta.Selama di Jakarta, dia dan anaknya tinggal menumpang di rumah adiknya.

Pertemuanku dan tiga jam bersama mbak Sun dan anaknya tak usah kuceritakan di sini. Karena isinya hanya basa basi. Kami bertemu, bicara, makan, lalu tidur.

Pagi, pada pukul 8 WIB, setelah sarapan kami berangkat. Menuju dua tempat yang akan menjadi sejarah baru bagi mbak Sun dan anaknya. Tempat pertama adalah menemui sang teman yang akan mempekerjakan mbak Sun di Kalibata dan tempat kedua adalah sekolah yang akan menjadi tempat belajarnya Dara satu tahun ke depan, yaitu di Sudimara, Tangerang.

Beberapa kali mbak Sun mengatakan, dia ingin anaknya bisa meneruskan sekolahnya yang terputus. Dan, kebetulan, ada saudara yang memiliki pondok pesantren dan yayasan yang menaungi madrasah tsanawiyah (setara dengan SMP) dan sekolah menengah kejuruan.

Sekolah ini tak mengutip bayaran mahal, karena alasan itulah aku menyarankan Mbak Sun menyekolahkan anaknya di sana.

Suntari kulihat selalu bersemangat. Beberapa kali dia mengingatkan anaknya ‘dengar apa yang dikatakan mbak (maksudnya aku) Da.”

Putus Sekolah

Dara, ternyata tak sekolah lama. Ia bergaul dengan pemuda badung.

Anaknya, Dara, hanya diam menekuk wajah di depanku. Aku nggak enak sebenarnya, yang tiba-tiba diperlakukan seperti seorang ustazdah. Dan sepanjang perjalanan, aku kemudian memilih diam, sibuk dengan BB-ku, menulis berita, mengirim email ke narasumber, dan sesekali menjawab BBM dari bos di kantor dan beberapa teman.

Padahal, sebenarnya dalam hatiku berkelindan seribu rasa. Meraba hati seorang ibu dan anak yang ada di depanku.

Menurut Ibuku, mbak Suntari memang telah meninggalkan pekerjaannya di Jakarta untuk menjemput anaknya di kampung.

Dara, yang baru saja naik kelas 3 SMA, tiba-tiba tak mau sekolah. Ia memutuskan pulang kampung.

Di kampung, ia berpacaran dengan seorang remaja yang tidak bekerja. Tak hanya tak bekerja, kata ibuku menirukan nenek yang mengasuh Dara di kampung, pacarnya anak badung.

“Lalu kenapa sampai harus sekolahnya diputus? semua kan bisa dibicarakan baik-baik?”

Dara ternyata harus putus sekolah. Pacar Dara, masih kata ibuku, orangnya agresif. Setiap hari Dara dan pacarnya runtang-runtung (sering pergi bersama).

Di kampung, Dara juga tidak ada yang mengawasi, karena nenek dan kakeknya sibuk mengurus dua cucunya yang lain yang masih kecil-kecil.

Sang Ibu, Suntari yang baru dua minggu berada di Jakarta, langsung berdebar-debar begitu mendengar kabar dari emak dan bapaknya di kampung bahwa Dara ternyata sudah keluar dari sekolah dan tidak mengatakan apapun kepada Suntari. Hati Suntari remuk-redam. Ia yang bekerja siang dan malam agar Dara bisa makan dan sekolah, teryata seperti tak ada hasilnya.

Keesokan harinya, Mbak Suntari kembali pulang ke kampung. Khusus untuk menjemput Dara. Ia juga meninggalkan pekerjaannya melepas gaji Rp1,5 juta sebulan. Menurutnya, untuk ukuran pekerjaan rumah tangga, gaji yang diterima mbak Suntari tergolong besar.

“Dia sudah menderita dengan kedua pernikahannya. Dan sejak lulus SD hingga saat ini tidak pernah merasakan hidup senang di kampung halaman. Suntari tak ingin anaknya mengulang kisah pahit hidupnya,” kata Ibuku penuh dramatis.

Sejak lulus SD, kira-kira, kata mbak Sun, usianya saat itu 14 tahun, ia sudah ke Jakarta menjadi pekerja rumah tangga.

Kini, aku menjadi saksi atas kejamnya sebuah relasi yang  bernama cinta. Seorang ibu, mbak Suntari yang selalu diam dalam sepi tak pernah kutanyai tentang mengapa anaknya putus sekolah dan tiba-tiba berada di Jakarta. Aku hanya diam, seperti dia, membiarkan semuanya berjalan.

Siang itu, udara panas dan cuaca terik membuat perjalanan kami terasa begitu panjang. (Selesai)

*Kustiah, Mantan jurnalis Detik.com. Kini pengelola www.konde.co dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!